Mohon tunggu...
Rachel Novitasari
Rachel Novitasari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Communication Student

Mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Disebut sebagai "Evil Empire", Berikut Kapitalisme Starbucks

27 Maret 2021   06:17 Diperbarui: 27 Maret 2021   07:05 972
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source: researchgate.net

Pernahkah Anda melihat gambar-gambar yang berisi plesetan sarkastik mengenai brand tertentu?

Yups, gambar yang Anda lihat pada caption artikel ini merupakan salah satunya. Gambar tersebut adalah bentuk dari culture jamming yang mengkritik brand ternama yaitu Starbucks. Berbicara mengenai culture jamming, ternyata terdapat kaitan yang erat antara hal tersebut dengan konsep posmodernisme.

Namun sebelum membahas lebih dalam mengenai culture jamming brand Starbucks, simak dahulu penjelasan singkat mengenai konsep posmodernisme dengan culture jamming.

Mengenal Posmodernisme

Munculnya posmodernisme merupakan reaksi dari modernisme. Jika budaya pada modernisme dianggap sebagai sesuatu yang tinggi dan sakral, maka posmodernisme adalah sebaliknya.

Posmodernisme menciptakan bias mengenai batas-batas antara “high culture” dengan “low culture”. Artinya, perbedaan antara budaya yang umumnya hanya dinikmati oleh kalangan atas (high culture) dengan budaya yang dapat dinikmati oleh semua orang (low culture) sudah buram dan tidak jelas.  

Melalui hal tersebut, budaya cenderung dikomodifikasi untuk dapat dikonsumsi secara massal. Dengan kata lain, mustahil untuk memisahkan kepentingan ekonomi dari ideologi atau budaya.

Pernyataan diatas berkaitan dengan pendapat Jean Baudrillard berdasarkan Edkins & Vaughan-Williams (2009), yang menyatakan bahwa posmodernisme memunculkan budaya “simulacrum”. Simulacrum berbicara tentang manipulasi tanda dalam kehidupan manusia sehari-hari terutama dalam bidang industri dan komersialisasi. Manipulasi inilah yang kemudian memunculkan budaya konsumerisme.

Secara sederhana, posmodernisme memunculkan budaya konsumerisme melalui komodifikasi budaya untuk kepentingan ekonomi. Kemudian, culture jamming hadir sebagai tanggapan akan budaya konsumerisme tersebut.

Memahami Culture Jamming

Berdasarkan Nomai (2008), culture jamming merupakan sebuah gerakan perlawanan terhadap komersialisasi yang menimbulkan budaya konsumerisme dan mencerminkan kapitalisme.  

Gerakan culture jamming ini dilakukan oleh sekelompok orang yang disebut sebagai culture jammer. Culture jammer berusaha untuk membelokkan pesan yang ingin disampaikan iklan agar artikulasi makna dan ideologi dalam iklan juga mempertimbangkan nilai-nilai sosial, budaya, maupun politik.

Upaya untuk membelokkan pesan tersebut dilakukan dengan cara merumuskan kembali unsur-unsur yang terdapat dalam iklan. Iklan yang identik dengan pembawaan citra brand dan visualiasasi logo brand kemudian dibedah oleh culture jammer. Pembedahan tersebut didasari oleh teks pada iklan yang memperkuat makna dan konteks yang memberi makna pada objek iklan (Barker & Jane, 2016).

Secara sederhana, culture jamming merupakan upaya untuk mengubah isi pesan iklan menjadi suatu bentuk kritik melalui karya yang kreatif.

Karya yang kerap digunakan sebagai sarana culture jamming adalah meme. Meme merupakan bentuk imitasi dari unsur-unsur karya yang asli. Misalnya logo, teks, dan slogan yang kemudian diganti dengan bentuk yang hampir serupa, namun memiliki makna yang jauh berbeda.

Untuk memahami lebih dalam mengenai implementasi culture jamming, simak analisis culture jamming berupa meme yang mengkritik Starbucks.

Analisis Culture Jamming Starbucks

Starbucks merupakan gerai kopi ternama yang telah tersebar di berbagai negara. Seluruh gerai Starbucks menawarkan berbagai macam menu baik minuman maupun makanan. Walaupun Starbucks telah membuka banyak cabang, namun Starbucks tetap berupaya meningkatkan mangsa pasarnya dengan membuka gerai tambahan di berbagai wilayah dengan peluang pasar baru.

Seiring dengan perkembangannya, Starbucks menjual produknya lebih mahal dibandingkan dengan gerai kopi lainnya. Hal ini dilakukan sebab Starbucks mengklaim perusahannya sebagai coffee sourcing, tea sourcing, cocoa sourcing yang berkualitas tinggi. Selain itu, Starbucks juga mengkampayekan perusahaannya sebagai farmer support

Melalui hal inilah, Starbucks membentuk iklannya untuk menunjukkan citra bahwa Starbucks merupakan gerai kopi yang eksklusif. Pembentukan citra tersebut dapat dilihat melalui iklan Starbucks. Iklan Starbucks dibintangi oleh orang-orang dengan pakaian formal nan rapi seperti jas yang berperan sebagai konsumen. Selain itu, konteks logo yang ditunjukkan iklan juga disasarkan kepada kalangan atas dengan memperlihatkan dominasi kalangan atas yang membeli produk Starbucks.

Berdasarkan hal ini, culture jammers bereaksi dengan memproduksi meme tentang Starbucks. Mulanya logo Starbucks yaitu seperti ini, lengkap dengan tulisan “Starbucks Coffee

Source: pinterest.se
Source: pinterest.se

Namun culture jammers mengubah teksnya menjadi “Big Bucks Coffee” dan “High Society Coffee”.  

Source: pinterest.com
Source: pinterest.com

Source: pinterst.ca
Source: pinterst.ca

Melalui meme tersebut, culture jammers ingin memperlihatkan bahwa Starbucks tidak memperhatikan nilai-nilai sosial dan budaya. Starbucks hanya berorientasi terhadap nilai-nilai ekonomi yang mencerminkan kepentingan kapitalis.

Ketimbang mengamati dan menikmati kekayaan citarasa kopi yang khas, masyarakat justru diajak untuk menikmati kepuasaan dengan “membeli” simbol. Melalui iklan dan logo Starbucks, masyarakat seolah-olah diarahkan untuk “mengonsumsi” simbol dan tanda milik Starbucks, dalam rangka mendapatkan “pengakuan” sebagai masyarakat yang berasal dari kalangan atas.

Sehingga secara runtut, Starbucks dilihat hanya memperdagangkan simbolnya. Kemudian simbol tersebut dikonsumsi oleh masyarakat dan direproduksi kembali oleh masyakarat secara berkelanjutkan. Dan pada akhirnya tercipta budaya tertentu mengenai brand Starbucks.

Dari sini terlihat bagaimana kopi dikomodifikasikan. Kopi mungkin tidak lagi berfungsi sebagai minuman penghilang kantuk, namun juga sebagai kode simbolik yang digunakan untuk mengkomunikasikan keberadaan kelompok sosial tertentu.

Semoga melalui artikel ini, Anda dapat lebih memahami seputar cultural jamming dan implementasinya pada tanda dan simbol tertentu.

DAFTAR PUSTAKA

Barker, C., & Jane, E. (2016). Cultural studies: theory and practice. (5th ed.). Los Angeles : SAGE Publications.

Edkins, J. & Vaughan-Williams, N. (2009). Critical theorists and international relations. United Kingdom : Routledge.

Nomai, A. J. (2008). Culture jamming : ideological struggle and the possibilities for social change. Austin : University of Texas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun