Mohon tunggu...
R Abdul Azis
R Abdul Azis Mohon Tunggu... penulis lepas

penulis lepas | ghost writer

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Puisi: Buah Kawin Gagasan dan Perasaan

25 Agustus 2025   10:08 Diperbarui: 25 Agustus 2025   10:08 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

kini jika kau mencintaiku

kau harus meminjamkan seluruh hatimu

padaku untuk mencintaimu

sebab anakku mengerang dalam kejang

dan ketulusanku habis dimakan kebingungan


(Inertia -- Dina Oktaviani)


Betapa naif bila saya bilang,'menulis puisi itu gampang'. Namun tak elok kalau pun saya mengatakan menulis puisi itu rumit. Semua tergantung kemauan dan kemampuan seseorang. Seandainya kawan-kawan sekalian punya kemauan, apakah itu cukup? Misalnya begini, 'saya mau menjadi pemain Persib'. Rasanya itu tidak cukup untuk membuat saya bisa merealisasikan keinginan tersebut. Saya memerlukan kemampuan.

Hal tersebut seiring-sejalan dengan menulis, ataupun beberapa aktivitas lain --entahlah saya tidak yakin. Namun setidaknya dua kata kunci tersebut, saya kira, lumayan ampuh. Kawan-kawan sekalian bisa saja mencobanya, atau menyangkal pernyataan barusan. Toh semua keputusan ada di tangan kawan-kawan.

Apakah sudah cukup sampai pada kemauan dan kemampuan? Mari kita mengambil contoh lain.

Dulu, saya pernah bertanya kepada seorang penyair. Bagaimana sih menulis puisi bagus? Jawabnya sederhana, 'kamu harus suka dulu dengan puisi'. Ambigu, pikir saya kala itu. Namun setelah dipikir berkali-kali --tentu saja pada saat itu-- saya pikir jawaban itu menarik buat disimak. Jadi apa saya harus 'suka' dengan puisi, baru setelah itu bisa 'memilikinya'?

Mungkin, seperti seorang yang menjalin kasih. Mulanya suka, lalu jatuh cinta, lantas saling percaya, dan tersakiti (baca: bahagia) pada akhirnya. Lihat, bagaimana proses itu bekerja

:

Saya menyukai seorang perempuan. Saya memerhatikan perilakunya, kebiasannya, dan segala hal yang bisa saya perhatikan. Kemudian saya merasa cocok, lantas mengutarakan perasaan saya. Cinta, begitulah, apakah kamu berani mengalaminya? Anggap saja saya telah mencintai seseorang, tanpa mementingkan seseorang itu mencintai saya atau belum atau tidak. Pada saat itu ketulusan dan kejujuran bekerja. Percayalah, seseorang yang kamu cintai dengan ketulusan dan kejujuran akan merasakan hal ajaib. Selanjutnya, kita cukup sama-sama tahu.

Begitu juga menulis puisi. Seseorang harus menyukai dulu, baru bisa menulisnya. Perlu diperhatikan lagi, suka saja tidak cukup. Seseorang itu perlu 'menikmati' prosesnya: Mulai dari membaca puisi yang mudah dimengerti sampai yang sulit sekali pun. Ibaratnya begini, kalau kita menyukai seseorang karena penampilannya saja, tanpa tahu kebiasaan baik dan buruknya, tanpa tahu latar belakangnya seperti apa, percayalah, perasaanmu akan mudah lembap.

Saya kira dari analogi tersebut sudah cukup tercermin bagaimana caranya menulis puisi.

Terpaksa

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun