Sore itu, langit berwarna jingga pucat. Dari jendela kamarnya, Sala memandangi daun-daun yang gugur perlahan dari pohon mangga di belakang rumah. Ada sesuatu dari cara daun itu jatuh—pelan, ragu, seolah mencari arah sebelum menyentuh tanah—yang membuatnya merasa terwakili.
Sudah tiga minggu Sala tidak datang ke latihan teater. Setiap kali ia ingin berangkat, ada suara di kepalanya yang bilang “buat apa, mereka nggak bakal nyari kamu.” Lalu tubuhnya membeku, dan rencana itu hilang begitu saja.
Sala bukan tidak peduli. Ia hanya terlalu takut terlihat salah. Takut disalahpahami. Takut kalau keberadaannya justru mengganggu.
Ia terbiasa menyimpan semuanya sendiri, sampai akhirnya tak tahu bagaimana caranya bicara lagi.
Suara ketukan di pagar memecah lamunannya. Dari jendela, ia melihat Raza berdiri sambil membawa dua gelas kopi dingin. “Aku tebak kamu belum makan siang,” katanya begitu Sala keluar.
Sala setengah tersenyum. “Kamu hobi banget jadi pengantar kopi ya.”
“Mending gitu daripada jadi pengantar kabar buruk,” balas Raza santai. Mereka duduk di bangku kayu dekat taman, membiarkan angin sore lewat tanpa banyak bicara.
Beberapa menit berlalu dalam diam sebelum Raza mulai bicara, “Latihan tadi rame. Hani sempat nanyain kamu.”
Sala menghindari tatapan itu. “Aku cuma… nggak yakin mereka masih nyaman kalau aku balik.”
“Kenapa harus mikir gitu?”
Sala menunduk, suaranya kecil, “Aku takut mereka salah paham. Kadang aku ngomong sesuatu, orang malah mikirnya aneh. Jadi ya... mending diam.”
Raza menghela napas, menatap daun yang jatuh di kakinya. “Kamu sadar nggak, daun juga nggak pernah nanya angin bakal bawa dia ke mana. Tapi dia tetap jatuh. Karena itu satu-satunya cara buat tahu di mana dia akan berhenti.”
Sala terdiam. Kata-kata itu menancap tanpa paksa, seperti angin yang tiba-tiba masuk lewat celah dada yang lama tertutup. Ia memandangi daun yang jatuh di sebelahnya—ringan, tapi berani.
“Mungkin aku cuma belum siap jatuh,” gumamnya pelan.
“Ya,” Raza menatapnya lembut. “Tapi kamu juga nggak bisa selamanya menggantung.”
Hening kembali, tapi kali ini bukan hening yang canggung. Ada sesuatu di udara—sejenis keberanian kecil yang mulai tumbuh. Sala tahu ketakutannya belum hilang, tapi ia juga tahu bahwa diam terlalu lama justru membuatnya makin jauh dari dirinya sendiri.
Menjelang senja, Sala berdiri. “Besok aku coba datang latihan,” katanya.
Raza tersenyum tipis. “Nggak usah coba. Datang aja.”
Sala menatap ke arah langit yang mulai gelap. Daun-daun masih jatuh satu per satu, tapi kini ia melihatnya berbeda. Mungkin memang tidak ada arah yang pasti. Tapi selama masih berani jatuh, ia akan selalu punya tempat untuk menemukan dirinya lagi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI