Mohon tunggu...
Qomaruddin
Qomaruddin Mohon Tunggu... Copywriter yang tertarik pada isu pendidikan dan pemberdayaan masyarakat | Humas Al Irsyad Purwokerto | Redaktur Suara Al Irsyad

Menulis kata, merangkai aksi, dan menumbuhkan harapan untuk dunia yang lebih baik

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Mendidik Generasi Penjaga Rimba: Coexistence Dimulai dari Ruang Kelas

18 September 2025   14:09 Diperbarui: 18 September 2025   14:09 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gajah sedang menyeberang sungai (Sumber: freepik.com/kamchatka)

Anak-anak zaman sekarang lebih mengenal singa Afrika dari film kartun ketimbang harimau sumatera yang hidup di negeri sendiri. Mereka hafal nama panda dari Tiongkok, tapi belum tentu tahu bahwa di Kalimantan masih ada orangutan yang berjuang mempertahankan hutan terakhirnya.

Ironisnya, satwa-satwa karismatik Indonesia---gajah, orangutan, harimau, badak---kian terdesak habitatnya, kian rentan diburu, dan jumlahnya terus menurun. Pertanyaan yang menggantung di udara: Jika mereka benar-benar punah, apa yang akan kita ceritakan pada anak cucu nanti?

Kata coexistence bukan sekadar jargon, melainkan sebuah pilihan hidup: bagaimana manusia bisa berbagi ruang dengan satwa liar tanpa saling merugikan. Namun, harmoni itu tidak mungkin tercapai jika kita hanya mengandalkan teknologi atau patroli hutan. Yang paling menentukan adalah kesadaran manusia---dan kesadaran itu harus ditanamkan sejak muda. Generasi muda hari ini adalah calon pembuat kebijakan, pemimpin komunitas, bahkan orang tua yang kelak akan mewariskan nilai pada anak-anak mereka. Jika mereka tumbuh dengan kepedulian terhadap satwa, kita punya peluang lebih besar untuk menjaga keberlangsungan hidup mereka.

Bagaimana caranya mendidik anak-anak agar tumbuh sebagai penjaga rimba dan satwa? Misalnya, di beberapa sekolah ada guru yang mengajak murid menanam pohon di halaman sekolah atau berkunjung ke pusat konservasi sebagai bagian dari pembelajaran. Ada beberapa jalan sederhana tapi bermakna:

  1. Edukasi di sekolah dan rumah. Materi tentang satwa endemik bisa hadir bukan hanya di buku IPA, tapi juga lewat cerita, dongeng lokal, atau proyek seni. Anak-anak bisa membuat poster tentang harimau sumatera atau menulis cerita imajinatif tentang jalak bali.

  2. Pengalaman lapangan. Anak-anak perlu merasakan langsung bertemu dengan alam. Kegiatan seperti eco-camp, kunjungan ke pusat konservasi, atau menanam pohon bersama bisa lebih membekas daripada sekadar teori di kelas.

  3. Komunitas anak muda. Klub pecinta alam, komunitas fotografi satwa, hingga kelompok literasi lingkungan bisa menjadi wadah bagi mereka untuk menyalurkan minat sekaligus belajar menjaga satwa.

  4. Pemanfaatan teknologi. Generasi Z dan Alpha akrab dengan media sosial dan gim. Bayangkan jika kampanye penyelamatan satwa dibungkus dengan konten kreatif di TikTok, atau dibuat aplikasi gim edukatif tentang menjaga hutan---pesannya akan jauh lebih cepat sampai.

Coexistence adalah pendidikan nilai dan kesadaran, bukan sekadar soal tidak merusak habitat satwa. Lebih dari itu, coexistence berarti mendidik generasi muda agar melihat satwa bukan sebagai ancaman atau komoditas, melainkan sebagai sesama penghuni bumi yang punya hak hidup.

Jika anak-anak kita tumbuh dengan cinta pada satwa, mereka akan menjadi garda terdepan penyelamatan alam. Dan siapa tahu, dari ruang-ruang kelas sederhana hari ini, lahir generasi baru yang kelak dikenal sebagai penyelamat satwa karismatik Indonesia. Karena pada akhirnya, melindungi satwa sama artinya dengan melindungi masa depan kita sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun