Kita tentu sudah akrab dengan berbagai pernyataan pejabat yang viral. Ada yang membuat masyarakat geleng-geleng kepala, ada pula yang menimbulkan pro-kontra karena dianggap tidak nyambung dengan realitas rakyat. Public speaking yang seharusnya menjadi sarana komunikasi publik, justru berubah menjadi ruang blunder atau sekadar lipsync dari teks promosi.
Padahal, rakyat jelas bukan golongan yang mudah begitu saja dibuai narasi. Kata-kata bisa saja indah, tetapi kalau tidak ada tindak lanjut, ia akan kehilangan makna. Yang ditunggu rakyat bukan hanya janji, melainkan bukti.
Dari Lipsync hingga Seni Berdebat Kosong
Fenomena yang makin sering muncul adalah pejabat tampil hanya sebagai pembaca naskah. Kalimat yang keluar dari mulutnya bukan hasil olah pikir pribadi, melainkan produk bagian promosi atau tim pencitraan. Akibatnya, yang terdengar adalah kata-kata kaku, tanpa nyawa, tanpa pemahaman mendalam. Begitu ada pertanyaan di luar teks, langsung kelabakan.
Di sisi lain, ada juga pejabat yang terlalu gemar berdebat. Bukan untuk menjelaskan kebijakan, melainkan untuk mencari kemenangan argumen. Kata-kata dipelintir demi terlihat hebat, meskipun gagasannya tidak tepat. Publik akhirnya tidak mendapatkan pencerahan, hanya pertunjukan adu retorika yang melelahkan.
Public Speaking = Nota Kesepahaman dengan Rakyat
Public speaking pejabat bukanlah sekadar seni berkata-kata. Ia adalah nota kesepahaman terbuka dengan rakyat. Setiap kalimat yang diucapkan pejabat adalah kontrak moral yang kelak akan ditagih.
Kalau pejabat mengatakan "kami akan memperbaiki kualitas guru", maka rakyat menunggu realisasi nyata, bukan sekadar slogan. Kalau menyebut "harga kebutuhan pokok akan stabil", maka publik akan menagih ketika harga melonjak.
Ucapan pejabat tidak bisa dianggap sekadar pidato seremonial. Begitu keluar dari mulut seorang pejabat, ucapan itu otomatis menjadi janji negara. Dan janji itu punya konsekuensi besar: kalau ditepati, lahirlah kepercayaan. Kalau diingkari, runtuhlah kredibilitas.
Ketika public speaking diperlakukan sebagai lipsync atau arena debat kosong, risikonya fatal:
-
Hilangnya kepercayaan publik. Sekali rakyat merasa dibohongi, sulit untuk mengembalikan rasa percaya.
- Baca juga: Api di Jalanan, Luka di Hati Bangsa
Kebosanan dan sinisme. Rakyat akan semakin apatis, karena setiap ucapan dianggap sekadar gimik politik.
Blunder beruntun. Pejabat yang tidak paham substansi akan rentan salah bicara, dan setiap salah bicara punya efek domino di era media sosial.