Selain itu, peraturan menteri ini juga mengatur pula soal pengawasan BPOM (Badan Pengendalian Obat dan Makanan) terhadap pencantuman informasi pada pangan olahan terkait kandungan gula, garam dan lemak ini. Dan, kewenangan memberikan sanksi administratif terhadap pelanggaran peraturan tersebut berupa peringatan tertulis, larangan edar, pencabutan surat pendaftaran/izin edar hingga pencabutan sertifikat produksi (Pasal 9 (1)). Bahkan, kewenangan sama juga diberikan kepada dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota terhadap pelanggaran pelaku pangan siap saji (Pasal 9 (2)).Â
Faktanya memang ketentuan soal informasi kandungan telah dilaksanakan sebagian besar produsen. Namun, pelaksanaan ketentuan soal pesan kesehatan terbilang minim. Bahkan, praktis tidak ditemui dalam kemasan makanan dan minuman olahan. Hal lebih fatal terjadi pada pangan siap saji dimana nyaris tidak ada informasi kandungan maupun pesan kesehatan baik pada leaflet, brosur dan buku menu. Â
Karenanya, BPOM maupun dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota diharapkan lebih pro aktif melakukan pengawasan dan penertiban secara rutin dan berkelanjutan, khususnya di kawasan kampus dan sekolah. Pembentukan tim atau satgas khusus lintas instansi yang bertugas melakukan pengawasan dan penertiban selama kurun waktu tertentu juga layak untuk dipertimbangkan. Upaya pemberian sanksi sebagai refleksi penegakkan peraturan menteri ini juga menjadi kemestian sebagai efek jera. Terlebih, telah genap 1 (satu) dasawarsa tenggat waktu penyesuaian terlampaui.Â
Masyarakat juga dituntut pro aktif melakukan pengawasan dengan melaporkan produk pangan olahan maupun siap saji yang melanggar aturan menteri tersebut. Tentunya, BPOM, dinas kesehatan provinsi maupun kabupaten/kota seyogyanya memfasilitasi kanal guna menampung dan menindaklanjuti pengaduan masyarakat.
Selanjutnya, Permenkes No. 67 Tahun 2015 yang sebagian besar isinya berada pada Permenkes No. 30 Tahun 2013 juga dinilai perlu untuk dilakukan revisi, khususnya terkait ketentuan Pasal 5 (2) yang menyatakan peraturan menteri hanya berlaku bagi usaha waralaba dengan gerai/outlet minimal 250.Â
Menurut hemat penulis, ketentuan tersebut akan mempersempit ruang pengawasan dan penertiban kepada sebanyak mungkin gerai waralaba pangan siap saji. Realitas terkini justru menunjukkan kecenderungan sangat banyaknya waralaba kelas kecil, menengah dan besar baru dengan jumlah gerai/outlet tak sampai 250-an. Padahal, pangan siap saji yang dijajakan, dari rasanya saja terindikasi memiliki kandungan gula, garam atau lemak yang tinggi.Â
Edukasi dan Literasi Kesehatan di Kalangan Generasi Muda
Upaya edukasi dan peningkatan literasi dapat dilakukan perguruan tinggi, khususnya yang memiliki prodi terkait kesehatan dengan melibatkan para mahasiswa dengan bekal pengetahuan yang memadai. Para mahasiswa tersebut khusus menyasar kampus dan sekolah secara rutin dan berkelanjutan. Pasalnya, justru mahasiswa dan pelajarlah yang menjadi target pasar dan konsumen terbanyak.Â
Edukasi dan peningkatan literasi juga dapat dilakukan dengan membuat podcast-podcast, TV Streaming dan semisalnya yang khusus menyasar generasi muda. Selain itu, dengan memanfaatkan berbagai platform media sosial yang banyak dipakai generasi muda semisal: instragram, tiktok, facebook dan lainnya. Penyebarluasan pesan --dalam bentuk flyer- juga dapat dilakukan via WhatsApp (WA) Broadcast, bahkan WA Blast yang memungkinkan pesan terkirim ke sebanyak mungkin pengguna ponsel.Â
Literasi juga dapat dilakukan dengan penyebarluasan poster, leaflet dan brosur berisi informasi terkait 'GGL' baik jenis, ambang batas konumsi, serta dampaknya. Media-media informasi tersebut bisa pula dipasang atau dibagikan di lokasi strategis, seperti: majalah dinding kampus/sekolah, papan informasi warga, ruang tunggu terminal dan stasiun, mal-mal dan lainnya.
Promosi dan Penguatan Gerakan Generasi Muda Pelopor Pola Hidup SehatÂ