Mohon tunggu...
Qiey Romdani
Qiey Romdani Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis dan Penulis Freelancer

Penulis Freelancer dan Penikmat Sunyi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Doa Anak Saleh dan Monyet Kelaparan

13 Desember 2018   22:15 Diperbarui: 13 Desember 2018   23:21 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di sebuah desa terpencil di kabupaten Sumenep. Ada seorang petani sederhana dengan kekayaan yang kurang sempurna. Marhasan, namanya. Warga memanggilnya dengan sebutan Pak Asan. Selain petani, dia sering sholat jamaah di masjid terdekat tanpa sedikit pun alpa. Maklum, dia alumni pesantren kecil di kecamatan Gapura. 

Tentu, bukan wajar lagi untuk menjaga citra kesantrian dan nama baik pesantren mesti menjadi tauladan bagi masyarakatnya. Bahkan, dia selalu hadir di awal waktu sholat. Jika di masjid muazin berhalang maka dialah yang menggantikan sementara, lalu membaca syair arab untuk menunggu imam datang. Semua itu dia laksanakan dengan senang hati, sebab tugas santri sebenarnya memang seperti itu.

            Dia mempunya lahan kecil untuk beratani. Meski demikian, dia bertahan meski para tetangganya sudah memiliki lahan berhektar-hentar. Dia sadar bahwa segala sesuatu sudah direncakan oleh Tuhan. Keinginan memiliki tanah juga terbersit dalam otaknya, tapi dengan cara apa? Uang saja belum punya! Akhirnya, dia mengelolah tanahnya sendiri dengan hasil tak seberapa, meski keperluan keluarganya kurang mewadahi. Terpaksa dia bekerja sampingan untuk menafkahi istri dan anaknya.

            Di keluarganya, dia dikaruniai seorang anak lelaki, tapi selalu membanggakan diri. Sementara istrinya selalu berkeinginan bersolek di depan para ibu-ibu. Keluarganya selalu saja bertengkar, jika keperluan istri dan anaknya tak terpenuhi. Malah, istri mendukung anaknya untuk tampil gaul di depan teman-temanya dengan cara membelikan sepeda motor ninja. Pak Asan sadar bahwa kewajiban seorang suami untuk memenuhi kebutuhan itu semua. Suatu yang tabu, penceraian di desa dilatarbelakangi ekonomi suami rendah. Sebab, ekonomi adalah jalan keromantisan dalam berkeluarga.

            "Sabar dulu, Buk. Bapak pasti usahakan." Pak Asan menyemangati istrinya untuk bersabar. Meski dia tahu bahwa sulit baginya bertahan terus-menerus.

            "Sabar-sabar dari dulu! Tapi gak ada buktinya," bentak Marsiyah, istri pak Asan. Lalu memalingkan dari tatapannya.

            "Bapak akan cari usaha...."

            "Usaha apa? Lahan pertanian kita!" potong Marsiyah dengan wajah penuh kesal.

            "Aku kecewa punya orang tua seperti Bapak. Malu Pak di depan teman," ujar Fajri anak tunggal pak Asan dari dalam kamarnya.

            Betapa terpukulnya hati bapak Asan saat itu. Anakn stunggal sudah berani menghujam perkataan cacian pada ayahnya sendiri. Tapi, dia sabar dan sadar atas kelemahan diri dengan mengusap dadanya.

            "Itu! anak kita berani mengatakan di depan Bapak. Apalagi aku, di depan ibu-ibu desa sangat malu dicaci karena tidak tampil megah."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun