Pada 14 Mei 2025, publik Indonesia dikejutkan dengan terbongkarnya grup Facebook bernama 'Fantasi Sedarah' yang memuat konten pornografi inses atau keluarga sendiri, termasuk eksploitasi terhadap anak di bawah umur. Grup yang aktif sejak Agustus 2024 dengan lebih dari 32.000 anggota ini akhirnya diblokir pada 15 Mei 2025 setelah mendapat kecaman luas dari masyarakat dan perhatian serius dari aparat penegak hukum.
Penyelidikan oleh Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri dan Direktorat Siber Polda Metro Jaya mengungkap enam tersangka yang berperan sebagai admin dan anggota aktif grup tersebut. Mereka ditangkap di beberapa wilayah di Jawa dan Sumatra antara 17 hingga 20 Mei 2025. Barang bukti yang disita mencakup ratusan gambar dan video bermuatan pornografi anak.
Salah satu tersangka, MR, diketahui sebagai pembuat grup Fantasi Sedarah dengan motif kepuasan pribadi. Tersangka lainnya, DK, menjual konten pornografi anak kepada anggota grup dengan harga Rp50.000 untuk 20 konten. Korban dalam kasus ini termasuk anak-anak di bawah umur, seperti ipar dan keponakan salah satu tersangka. Para pelaku dijerat dengan pasal berlapis terkait Undang-Undang ITE, Pornografi, Perlindungan Anak, dan Kekerasan Seksual, dengan ancaman hukuman hingga 15 tahun penjara.
Kekuasaan Digital dan Pengaruhnya
Kasus ini menunjukkan bagaimana kekuasaan bisa beroperasi di dunia digital. Andrew Heywood dalam bukunya Political Theory: An Introduction (2004) menjelaskan bahwa kekuasaan tidak hanya dimiliki oleh negara atau lembaga resmi, tetapi juga oleh individu atau kelompok yang mampu memengaruhi perilaku orang lain, baik melalui paksaan maupun tidak. Dalam hal ini, admin dan anggota aktif grup 'Fantasi Sedarah' memanfaatkan media digital sebagai alat untuk menyebarkan konten yang melanggar norma sosial dan hukum. Mereka menggunakan media sosial untuk membangun komunitas yang mendukung perilaku menyimpang, memperlihatkan bagaimana kekuasaan di ranah digital dapat disalahgunakan.
Michel Foucault juga menjelaskan bahwa kekuasaan bukan hanya soal memerintah, tetapi juga aktif membentuk cara kita berpikir dan bertindak melalui wacana dan teknologi dalam kehidupan sehari-hari. Grup ini bukan sekadar kumpulan orang, melainkan menjadi alat kekuasaan yang memengaruhi identitas, keinginan, dan bahkan sikap para anggotanya. Keberadaan grup ini memperlihatkan bagaimana kekuasaan di dunia digital bisa berubah menjadi sistem tersembunyi yang menyimpang dari nilai-nilai etika dan membahayakan keselamatan kelompok yang rentan, terutama anak-anak.
Peran Negara dan Masyarakat
Negara, melalui Polri dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) segera mengambil tindakan dengan memblokir grup tersebut dan menangkap pelakunya. Selain itu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mengecam keras keberadaan grup ini karena dianggap melegitimasi kekerasan seksual berbasis inses dan mengeksploitasi anak sebagai objek seksual. KemenPPPA pun berkoordinasi dengan Polri, Kominfo, dan dinas perlindungan anak di daerah untuk memastikan korban, baik yang sudah teridentifikasi maupun yang belum, mendapatkan pendampingan psikologis, bantuan hukum, dan perlindungan lanjutan.