Salah satu masalah utama dunia saat ini adalah perubahan iklim. Indonesia memiliki peran strategis dalam mencapai Sustainable Development Goals (SDGs) 13: Climate Action karena merupakan salah satu negara yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim. Namun, apakah kebijakan dan implementasi nasional telah memenuhi syarat untuk mengurangi ancaman ini?Â
Krisis Iklim: Ancaman Nyata untuk IndonesiaÂ
Karena sifatnya yang kepulauan, Indonesia menghadapi berbagai ancaman perubahan iklim, mulai dari kenaikan permukaan laut hingga bencana alam seperti banjir, kekeringan, dan kebakaran hutan. Sebuah laporan dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menunjukkan bahwa bencana ini semakin parah karena suhu yang meningkat di seluruh dunia. Dalam poin ringkasannya, IPCC juga menjelaskan bahwa sebagian besar kenaikan suhu itu disebabkan oleh perilaku manusia. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan bahwa lebih dari 3.000 bencana terjadi di seluruh negeri pada tahun 2023, sebagian besar karena perubahan iklim.Â
"Pada 2023, kita mencatat 5.400 kejadian bencana. Sebagian besar, hampir 98 persen, adalah bencana yang terkait dengan iklim," ujar Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi, BNPB, Abdul Muhari di Jakarta, Rabu (16/10/2024). Dikutip dari Kompas.com dengan judul "BNPB: Tahun 2023, 98 Persen Bencana di Indonesia Terkait Iklim".
Dampak ini tidak hanya mengancam lingkungan, tetapi juga menghambat pembangunan berkelanjutan. Misalnya, banjir yang sering melanda Jakarta menyebabkan kerugian ekonomi hingga triliunan rupiah dan mengganggu kesejahteraan masyarakat.Â
Kebijakan Indonesia untuk SDGs 13Â
Indonesia telah merespons tantangan ini dengan berbagai kebijakan, seperti penetapan Nationally Determined Contributions (NDCs) untuk mengurangi emisi karbon sebesar 31,89% pada 2030 dengan dukungan internasional. Selain itu, pemerintah juga meluncurkan program Indonesia's Low Carbon Development Initiative (LCDI) untuk mendorong pembangunan ramah lingkungan.Â
Namun, fakta di lapangan seringkali bertentangan dengan tindakan ini. Salah satu faktor utama yang menyebabkan deforestasi adalah terus-menerus membuka lahan untuk industri sawit dan tambang. Antara tahun 2002 dan 2020, Indonesia kehilangan 9,75 juta hektar hutan primer, menurut Global Forest Watch. Ironisnya, emisi dari sektor ini justru menjadi salah satu penyumbang terbesar karbon dioksida.Â
Menggerakkan Perubahan: Kolaborasi Semua PihakÂ
Pemerintah tidak dapat bekerja sendiri untuk mencapai SDGs 13. Pentingnya peran masyarakat, terutama generasi muda, dalam menciptakan perubahan. Kampanye lingkungan seperti penggunaan transportasi rendah emisi dan mengurangi sampah plastik menunjukkan tingkat kesadaran masyarakat yang signifikan.Â
Di sisi lain, sektor swasta juga harus bertanggung jawab lebih banyak. Inovasi yang ramah lingkungan, penggunaan energi terbarukan, dan transparansi jejak karbon adalah hal-hal yang dapat dilakukan. Misalnya, perusahaan besar seperti PT PLN telah mulai menggunakan energi bersih dalam proyek mereka, tetapi masih ada ruang untuk perbaikan.Â
Kesimpulan: Perubahan Dimulai dari KesadaranÂ
Penanganan perubahan iklim bukan sekadar komitmen di atas kertas, tetapi membutuhkan aksi nyata dan kolaborasi lintas sektor. Kebijakan progresif, pengawasan ketat terhadap pelaksanaannya, dan partisipasi aktif masyarakat adalah kunci untuk mewujudkan SDGs 13 di Indonesia.Â
Sebagai warga negara, kita juga dapat melakukan kontribusi kecil, seperti menghemat listrik, menanam pohon, atau mendukung produk lokal yang ramah lingkungan. Kita dapat menjadikan Indonesia sebagai teladan dalam memerangi perubahan iklim jika kita bekerja sama.Â
_______________________________
Putri Agnijar sebagai mahasiswa program studi Pendidikan Masyarakat Universitas Pendidikan Indonesia
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI