Dalam praktiknya, Doughnut Economy menuntut transformasi dalam berbagai sektor, termasuk:Â Â
- Model produksi dan konsumsi: Beralih ke pola yang berkelanjutan dan sirkular. Â
- Struktur bisnis: Mengedepankan nilai sosial dan lingkungan, bukan hanya keuntungan. Â
- Kebijakan publik: Menyusun regulasi yang mendukung keadilan ekonomi dan perlindungan lingkungan.
Di tingkat global, konsep ini mulai diadopsi oleh beberapa kota besar seperti Amsterdam, yang pada tahun 2020 secara resmi mengadopsi Doughnut Economy sebagai kerangka pembangunan pasca-COVID-19. Pendekatan ini dianggap lebih relevan dengan tantangan abad ke-21, yang menuntut solusi integratif terhadap krisis sosial dan ekologi secara bersamaan.
Bagi Indonesia, memahami prinsip-prinsip dasar Doughnut Economy adalah langkah awal penting untuk mengadaptasikan konsep ini dalam strategi pembangunan nasional. Mengingat besarnya tantangan sosial dan lingkungan yang dihadapi, model ini dapat menjadi panduan dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
Indonesia sebagai negara berkembang dengan sumber daya alam yang melimpah berada dalam posisi strategis namun juga rentan dalam menghadapi tantangan global saat ini. Krisis iklim, degradasi lingkungan, ketimpangan sosial, dan ketidakpastian ekonomi menjadi isu-isu yang semakin mendesak untuk diatasi. Dalam konteks ini, implementasi prinsip-prinsip Doughnut Economy menjadi sangat penting untuk memastikan bahwa pembangunan nasional berjalan dalam koridor keberlanjutan dan keadilan sosial.
1. Krisis Ekologis yang Semakin Meningkat
Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat kehilangan hutan tropis tertinggi di dunia. Data dari Global Forest Watch (2024) menunjukkan bahwa dalam satu dekade terakhir, Indonesia kehilangan lebih dari 9 juta hektar tutupan hutan, yang berkontribusi besar terhadap emisi karbon global. Selain itu, kerusakan terumbu karang, pencemaran laut, dan menurunnya kualitas udara di kota-kota besar seperti Jakarta memperlihatkan betapa gentingnya krisis ekologis yang dihadapi. Jika tidak segera diatasi, kerusakan ini tidak hanya akan memperparah perubahan iklim, tetapi juga mengancam sumber mata pencaharian jutaan masyarakat Indonesia yang bergantung pada alam.
2. Ketimpangan Sosial yang Masih Tinggi
Meskipun Indonesia mencatat pertumbuhan ekonomi yang stabil dalam beberapa tahun terakhir, ketimpangan sosial tetap menjadi masalah serius. Menurut laporan Bank Dunia (2024), rasio gini Indonesia masih berada di angka 0,38, mencerminkan distribusi pendapatan yang tidak merata. Banyak komunitas di daerah tertinggal yang belum menikmati hasil pembangunan, terutama dalam hal akses terhadap pendidikan, layanan kesehatan, air bersih, dan infrastruktur dasar. Kondisi ini menunjukkan kegagalan model pertumbuhan ekonomi konvensional dalam mencapai kesejahteraan yang inklusif.