Dalam beberapa dekade terakhir, dunia dihadapkan pada tantangan besar berupa krisis iklim dan ketimpangan sosial yang semakin akut. Pertumbuhan ekonomi yang selama ini dijadikan ukuran utama keberhasilan pembangunan ternyata membawa dampak serius terhadap keberlanjutan ekosistem bumi. Fenomena perubahan iklim, kerusakan lingkungan, serta ketidakadilan distribusi kekayaan menjadi konsekuensi nyata dari model ekonomi konvensional yang berorientasi pada pertumbuhan tak terbatas. Di tengah urgensi untuk mencari alternatif, konsep Doughnut Economy yang diperkenalkan oleh ekonom Kate Raworth (2017) menawarkan kerangka baru untuk memahami kesejahteraan manusia dalam batasan ekologis planet.
Doughnut Economy memvisualisasikan ruang aman dan adil bagi umat manusia sebagai area di antara dua batas: dasar sosial yang harus dipenuhi untuk menjamin kesejahteraan, dan batas ekologis yang tidak boleh dilanggar untuk menjaga kelestarian lingkungan. Model ini menekankan perlunya pembangunan ekonomi yang tidak hanya mengejar pertumbuhan produk domestik bruto (PDB), tetapi juga mengutamakan keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan. Dengan demikian, Doughnut Economy menjadi sangat relevan dalam merespons tantangan global saat ini, terutama di negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Indonesia, sebagai negara dengan keanekaragaman hayati yang tinggi dan populasi yang besar, menghadapi dilema serius antara mendorong pertumbuhan ekonomi dan menjaga kelestarian lingkungan. Di satu sisi, kebutuhan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat masih menjadi prioritas, namun di sisi lain, tekanan terhadap sumber daya alam dan ekosistem terus meningkat. Laporan dari Global Forest Watch (2024) mencatat bahwa Indonesia masih kehilangan jutaan hektar hutan tropis setiap tahun, sementara data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan ketimpangan ekonomi yang signifikan antara daerah perkotaan dan pedesaan.
Kondisi ini menunjukkan bahwa pendekatan pembangunan yang berkelanjutan tidak lagi menjadi pilihan, melainkan kebutuhan mendesak. Penerapan prinsip-prinsip Doughnut Economy menawarkan jalan keluar dengan menyeimbangkan kebutuhan manusia dan batasan ekologis. Namun, implementasi konsep ini di Indonesia tentu tidak lepas dari berbagai tantangan, mulai dari hambatan struktural, budaya, hingga teknologis. Di tengah situasi ini, penting untuk menelaah lebih dalam mengenai bagaimana Doughnut Economy dapat diadaptasi dalam konteks Indonesia, apa saja tantangan yang harus dihadapi, serta harapan dan peluang yang dapat diraih untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
Doughnut Economy merupakan kerangka berpikir alternatif dalam teori pembangunan ekonomi yang diperkenalkan oleh ekonom asal Inggris, Kate Raworth, dalam bukunya Doughnut Economics: Seven Ways to Think Like a 21st Century Economist (2017). Model ini berupaya mendobrak paradigma ekonomi tradisional yang selama ini hanya berfokus pada pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) tanpa memperhatikan keberlanjutan ekologis dan keadilan sosial.
Secara visual, konsep ini digambarkan seperti sebuah donat (doughnut), yang terdiri dari dua batasan utama:Â Â
1. Dasar Sosial (Social Foundation):Â Â
  Merupakan lapisan dalam dari doughnut yang mencakup kebutuhan minimum manusia, seperti akses terhadap pangan, air bersih, pendidikan, kesehatan, perumahan layak, serta keadilan sosial. Tidak terpenuhinya kebutuhan dasar ini menyebabkan kekurangan dan kesenjangan sosial.
2. Batas Ekologis (Ecological Ceiling):Â Â
  Merupakan lapisan luar dari doughnut yang menunjukkan batas-batas lingkungan yang tidak boleh dilampaui, berdasarkan konsep planetary boundaries yang dikembangkan oleh Rockstrm et al. (2009). Pelanggaran batas ini akan menyebabkan kerusakan serius terhadap bumi, seperti perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan pencemaran udara serta air.
Ruang di antara dasar sosial dan batas ekologis inilah yang disebut sebagai zona aman dan adil bagi umat manusia, di mana kebutuhan semua orang dapat terpenuhi tanpa mengorbankan kesehatan planet ini. Model ini mengubah tujuan utama ekonomi dari sekadar bertumbuh menjadi berkembang (thriving), dengan mempertimbangkan keseimbangan antara manusia dan bumi.
Dalam praktiknya, Doughnut Economy menuntut transformasi dalam berbagai sektor, termasuk:Â Â
- Model produksi dan konsumsi: Beralih ke pola yang berkelanjutan dan sirkular. Â
- Struktur bisnis: Mengedepankan nilai sosial dan lingkungan, bukan hanya keuntungan. Â
- Kebijakan publik: Menyusun regulasi yang mendukung keadilan ekonomi dan perlindungan lingkungan.
Di tingkat global, konsep ini mulai diadopsi oleh beberapa kota besar seperti Amsterdam, yang pada tahun 2020 secara resmi mengadopsi Doughnut Economy sebagai kerangka pembangunan pasca-COVID-19. Pendekatan ini dianggap lebih relevan dengan tantangan abad ke-21, yang menuntut solusi integratif terhadap krisis sosial dan ekologi secara bersamaan.
Bagi Indonesia, memahami prinsip-prinsip dasar Doughnut Economy adalah langkah awal penting untuk mengadaptasikan konsep ini dalam strategi pembangunan nasional. Mengingat besarnya tantangan sosial dan lingkungan yang dihadapi, model ini dapat menjadi panduan dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
Indonesia sebagai negara berkembang dengan sumber daya alam yang melimpah berada dalam posisi strategis namun juga rentan dalam menghadapi tantangan global saat ini. Krisis iklim, degradasi lingkungan, ketimpangan sosial, dan ketidakpastian ekonomi menjadi isu-isu yang semakin mendesak untuk diatasi. Dalam konteks ini, implementasi prinsip-prinsip Doughnut Economy menjadi sangat penting untuk memastikan bahwa pembangunan nasional berjalan dalam koridor keberlanjutan dan keadilan sosial.
1. Krisis Ekologis yang Semakin Meningkat
Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat kehilangan hutan tropis tertinggi di dunia. Data dari Global Forest Watch (2024) menunjukkan bahwa dalam satu dekade terakhir, Indonesia kehilangan lebih dari 9 juta hektar tutupan hutan, yang berkontribusi besar terhadap emisi karbon global. Selain itu, kerusakan terumbu karang, pencemaran laut, dan menurunnya kualitas udara di kota-kota besar seperti Jakarta memperlihatkan betapa gentingnya krisis ekologis yang dihadapi. Jika tidak segera diatasi, kerusakan ini tidak hanya akan memperparah perubahan iklim, tetapi juga mengancam sumber mata pencaharian jutaan masyarakat Indonesia yang bergantung pada alam.
2. Ketimpangan Sosial yang Masih Tinggi
Meskipun Indonesia mencatat pertumbuhan ekonomi yang stabil dalam beberapa tahun terakhir, ketimpangan sosial tetap menjadi masalah serius. Menurut laporan Bank Dunia (2024), rasio gini Indonesia masih berada di angka 0,38, mencerminkan distribusi pendapatan yang tidak merata. Banyak komunitas di daerah tertinggal yang belum menikmati hasil pembangunan, terutama dalam hal akses terhadap pendidikan, layanan kesehatan, air bersih, dan infrastruktur dasar. Kondisi ini menunjukkan kegagalan model pertumbuhan ekonomi konvensional dalam mencapai kesejahteraan yang inklusif.
3. Kebutuhan Akan Model Pembangunan yang Lebih Adaptif
Dengan dinamika global yang semakin kompleks, model pembangunan berbasis pertumbuhan ekonomi linear tidak lagi memadai. Doughnut Economy menawarkan alternatif yang lebih adaptif dengan mengintegrasikan tujuan sosial dan lingkungan ke dalam kebijakan ekonomi. Dalam kerangka ini, pertumbuhan ekonomi bukan lagi tujuan akhir, melainkan sarana untuk mencapai kesejahteraan manusia dalam batasan ekologis. Model ini sejalan dengan komitmen Indonesia terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) 2030 dan Kesepakatan Paris tentang perubahan iklim.
4. Momentum untuk Berubah
Saat ini, Indonesia memiliki momentum untuk melakukan transformasi besar menuju pembangunan berkelanjutan. Pandemi COVID-19 telah memperlihatkan betapa rapuhnya sistem ekonomi global, namun juga membuka peluang untuk merancang kembali kebijakan ekonomi yang lebih resilien dan adil. Berbagai inisiatif lokal seperti pengembangan energi terbarukan, urban farming, dan ekonomi sirkular mulai bermunculan di berbagai daerah. Dukungan terhadap prinsip Doughnut Economy dapat mempercepat dan memperluas dampak positif dari inisiatif-inisiatif ini.
Meskipun konsep Doughnut Economy menawarkan kerangka pembangunan yang lebih adil dan berkelanjutan, penerapannya di Indonesia dihadapkan pada berbagai tantangan yang kompleks. Hambatan-hambatan ini tidak hanya berasal dari aspek struktural dan kebijakan, tetapi juga dari budaya masyarakat, dinamika industri, dan kesiapan teknologi. Tanpa mengidentifikasi dan mengatasi tantangan-tantangan ini, adopsi Doughnut Economy di Indonesia akan sulit mencapai hasil yang optimal.
1. Hambatan Struktural dan Kebijakan
Salah satu tantangan utama adalah struktur ekonomi dan regulasi yang masih kuat berorientasi pada pertumbuhan ekonomi linear berbasis eksploitasi sumber daya alam. Banyak kebijakan pemerintah yang masih mendukung sektor-sektor ekstraktif seperti pertambangan dan perkebunan monokultur, yang justru memperbesar jejak ekologis negara. Selain itu, fragmentasi kebijakan antar sektor dan antar level pemerintahan seringkali menyebabkan ketidaksinkronan dalam upaya mencapai pembangunan berkelanjutan. Implementasi Doughnut Economy membutuhkan kerangka regulasi yang integratif, lintas sektor, dan berbasis pada prinsip kehati-hatian ekologis serta keadilan sosial.
2. Hambatan Budaya dan Pola Pikir
Budaya konsumtif yang mengakar kuat di masyarakat Indonesia, terutama di kalangan kelas menengah ke atas, menjadi tantangan tersendiri. Model konsumsi berbasis kepemilikan dan status sosial mendorong eksploitasi sumber daya secara berlebihan dan memperparah tekanan terhadap lingkungan. Di sisi lain, kesadaran akan pentingnya gaya hidup berkelanjutan, seperti konsumsi produk lokal, daur ulang, dan pengurangan jejak karbon, masih rendah. Transformasi menuju Doughnut Economy memerlukan perubahan budaya yang mendalam, termasuk pendidikan publik yang berkelanjutan untuk membangun kesadaran ekologis sejak usia dini.
3. Resistansi dari Industri Konvensional
Sektor-sektor industri konvensional yang selama ini mendapatkan keuntungan besar dari model ekonomi berbasis ekstraksi dan pertumbuhan eksponensial cenderung menunjukkan resistansi terhadap perubahan. Banyak perusahaan besar yang enggan mengadopsi praktik bisnis berkelanjutan karena dianggap menambah biaya produksi atau mengurangi margin keuntungan. Selain itu, minimnya insentif ekonomi untuk adopsi teknologi hijau dan inovasi berkelanjutan menjadi faktor penghambat utama. Penerapan Doughnut Economy membutuhkan upaya kolaboratif antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil untuk menciptakan ekosistem insentif yang mendorong transformasi industri.
4. Keterbatasan Teknologi dan Infrastruktur
Implementasi Doughnut Economy di Indonesia juga terkendala oleh keterbatasan dalam penguasaan teknologi ramah lingkungan serta infrastruktur pendukung. Pengembangan energi terbarukan, sistem produksi sirkular, dan teknologi pertanian berkelanjutan masih tergolong baru dan belum tersebar merata di seluruh wilayah. Ketimpangan dalam akses terhadap teknologi ini memperbesar jurang antara daerah maju dan daerah tertinggal, serta memperlambat proses transisi menuju model ekonomi yang lebih hijau dan adil.
5. Keterbatasan Data dan Indikator Pengukuran
Penerapan Doughnut Economy memerlukan sistem pemantauan dan evaluasi berbasis data yang akurat untuk mengukur batas sosial dan ekologis. Namun, di Indonesia, masih terdapat banyak kendala dalam hal ketersediaan, akurasi, dan keterbukaan data, terutama data lingkungan dan kesejahteraan sosial. Tanpa indikator yang jelas, sulit untuk menilai sejauh mana pembangunan sudah berada dalam "zona aman dan adil" yang diharapkan.Â
Meskipun tantangan penerapan Doughnut Economy di Indonesia cukup besar, berbagai inisiatif dan praktik berbasis prinsip keberlanjutan sudah mulai bermunculan di berbagai daerah. Inisiatif-inisiatif ini menunjukkan bahwa transformasi ke arah ekonomi yang lebih adil dan ramah lingkungan bukan hanya mungkin, tetapi juga sudah berlangsung, meskipun dalam skala terbatas. Mempelajari dan memperluas contoh-contoh ini dapat menjadi kunci mempercepat adopsi konsep Doughnut Economy secara nasional.
1. Inisiatif Pemerintah Daerah
Beberapa pemerintah daerah di Indonesia telah mulai mengintegrasikan prinsip keberlanjutan dalam rencana pembangunan mereka. Misalnya, Kota Bandung dan Surabaya mengembangkan program kota hijau yang fokus pada pengelolaan ruang terbuka hijau, transportasi ramah lingkungan, dan pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Di tingkat nasional, kebijakan pengembangan "Kota Cerdas Berkelanjutan" yang diinisiasi oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika mengadopsi prinsip efisiensi sumber daya dan kesejahteraan sosial, meskipun penerapannya masih perlu diperkuat dengan standar keberlanjutan yang lebih ketat.
2. Gerakan Ekonomi Sirkular
Beberapa perusahaan rintisan (startup) dan organisasi non-pemerintah mulai mendorong model ekonomi sirkular, yaitu sistem ekonomi yang berfokus pada pengurangan limbah dan pemanfaatan kembali sumber daya. Contohnya, Waste4Change adalah perusahaan sosial yang mengelola sampah berbasis prinsip reduce-reuse-recycle (3R) dan telah bekerja sama dengan berbagai komunitas untuk menciptakan ekosistem pengelolaan sampah berkelanjutan. Inisiatif ini sejalan dengan tujuan Doughnut Economy dalam menjaga batas ekologis sambil memastikan tercapainya dasar sosial.
3. Program Urban Farming dan Pertanian Berkelanjutan
Dalam sektor pertanian, urban farming di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta mulai populer sebagai respon terhadap kebutuhan pangan lokal yang ramah lingkungan. Urban farming tidak hanya membantu mengurangi jejak karbon dari rantai pasokan pangan, tetapi juga memperkuat kemandirian komunitas lokal. Di tingkat pedesaan, program seperti *Desa Mandiri Energi* dan *Desa Wisata Berkelanjutan* yang didukung oleh kementerian terkait menunjukkan bagaimana konsep pembangunan berbasis komunitas dapat mendukung prinsip Doughnut Economy.
4. Edukasi dan Kesadaran Publik
Beberapa organisasi masyarakat sipil seperti WALHI, Greenpeace Indonesia, dan Yayasan Kehati aktif mengkampanyekan pentingnya gaya hidup berkelanjutan. Kampanye ini mencakup isu-isu seperti konservasi alam, konsumsi bertanggung jawab, dan advokasi terhadap kebijakan perlindungan lingkungan. Peningkatan kesadaran publik ini menjadi fondasi penting untuk mendorong perubahan budaya yang mendukung penerapan Doughnut Economy.
5. Kolaborasi Multisektor
Beberapa kolaborasi lintas sektor juga mulai terbentuk, melibatkan pemerintah, sektor swasta, akademisi, dan masyarakat sipil untuk mendorong praktik bisnis dan pembangunan yang lebih berkelanjutan. Misalnya, inisiatif Low Carbon Development Indonesia (LCDI) yang diinisiasi oleh Bappenas berupaya mengintegrasikan prinsip ekonomi rendah karbon ke dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional. Program ini menunjukkan potensi adopsi kerangka Doughnut Economy pada skala kebijakan nasional jika dikelola secara konsisten.Â
Memandang masa depan, penerapan prinsip-prinsip Doughnut Economy di Indonesia menawarkan harapan untuk membangun sistem ekonomi yang tidak hanya tumbuh, tetapi juga berkembang dalam arti yang lebih luas --- meliputi kesejahteraan sosial dan keberlanjutan ekologis. Dengan tantangan global yang semakin kompleks, dari perubahan iklim hingga ketimpangan sosial yang mendalam, transisi ke model pembangunan berbasis Doughnut Economy menjadi semakin relevan dan mendesak.
1. Integrasi dalam Kebijakan Nasional
Harapan utama ke depan adalah bahwa konsep Doughnut Economy dapat diadopsi secara eksplisit dalam perencanaan pembangunan nasional dan daerah. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) perlu memasukkan prinsip keseimbangan antara kebutuhan sosial dan batasan ekologis sebagai fondasi utama kebijakan. Ini termasuk mengembangkan indikator-indikator baru yang lebih komprehensif daripada hanya bergantung pada pertumbuhan PDB sebagai ukuran keberhasilan pembangunan.
2. Transformasi Pendidikan dan Kesadaran Generasi Muda
Generasi muda memiliki peran sentral dalam mendorong transformasi menuju Doughnut Economy. Pendidikan formal dan nonformal perlu menanamkan nilai keberlanjutan, keadilan sosial, dan etika lingkungan sejak dini. Kurikulum yang mendorong pola pikir kritis terhadap model pembangunan konvensional serta mengajarkan keterampilan untuk hidup berkelanjutan akan menciptakan generasi pemimpin masa depan yang siap untuk menghadapi tantangan global dengan solusi yang inovatif dan berkeadilan.
3. Dukungan terhadap Inovasi dan Teknologi Hijau
Masa depan Doughnut Economy di Indonesia juga sangat bergantung pada kemampuan untuk mengembangkan dan menyebarluaskan teknologi ramah lingkungan. Pemerintah, akademisi, dan sektor swasta perlu bersinergi dalam mendorong inovasi di bidang energi terbarukan, pertanian berkelanjutan, transportasi hijau, dan pengelolaan limbah berbasis sirkular. Insentif fiskal, kemudahan akses pendanaan, serta regulasi yang pro-inovasi akan menjadi kunci untuk mempercepat adopsi teknologi hijau.
4. Penguatan Kolaborasi Multisektor
Mengatasi kompleksitas tantangan pembangunan berkelanjutan tidak mungkin dilakukan oleh satu aktor saja. Ke depan, diperlukan penguatan kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, masyarakat sipil, akademisi, dan komunitas lokal untuk menciptakan ekosistem pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan. Model public-private-people partnerships (4P) menjadi pendekatan yang efektif untuk mewujudkan visi Doughnut Economy.
5. Adaptasi Lokal terhadap Prinsip Global
Meskipun Doughnut Economy menawarkan kerangka global, penerapannya di Indonesia harus mempertimbangkan keragaman lokal, baik dari sisi budaya, sosial, maupun ekologi. Setiap daerah perlu mengembangkan model Doughnut Economy lokal yang sesuai dengan konteks spesifik mereka, sehingga prinsip dasar tetap terjaga, namun fleksibel dalam penerapan di lapangan. Pendekatan ini akan memperkuat rasa kepemilikan masyarakat terhadap proses transformasi dan meningkatkan efektivitas implementasi.
Dengan komitmen yang kuat, inovasi yang berkelanjutan, dan kolaborasi yang luas, Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi pelopor dalam penerapan Doughnut Economy di kawasan Asia Tenggara. Visi pembangunan yang menempatkan kesejahteraan manusia dan keberlanjutan planet sebagai inti dari semua kebijakan dan tindakan bukan hanya menjadi idealisme semata, tetapi bisa menjadi realitas nyata di masa depan.Â
Dalam menghadapi tantangan global yang semakin kompleks dan multidimensional, seperti krisis iklim, ketimpangan sosial, dan ancaman keberlanjutan sumber daya alam, Indonesia membutuhkan paradigma pembangunan baru yang lebih adaptif, inklusif, dan berkelanjutan. Konsep Doughnut Economy yang mengintegrasikan kesejahteraan sosial dengan batasan ekologis menawarkan kerangka berpikir yang sistematis untuk menjawab kebutuhan tersebut.
Melalui pembahasan ini, telah tergambar bahwa Indonesia memiliki urgensi yang sangat tinggi untuk mengadopsi prinsip-prinsip Doughnut Economy. Tantangan yang ada, mulai dari hambatan struktural, budaya konsumtif, resistansi industri, hingga keterbatasan data dan teknologi, memang nyata dan kompleks. Namun, berbagai inisiatif positif yang telah berkembang --- dari kebijakan pemerintah daerah, ekonomi sirkular, urban farming, hingga kampanye kesadaran publik --- menunjukkan bahwa fondasi perubahan sudah mulai terbentuk.
Ke depan, keberhasilan transisi menuju Doughnut Economy di Indonesia sangat bergantung pada komitmen bersama semua pihak: pemerintah, sektor swasta, akademisi, masyarakat sipil, dan komunitas lokal. Transformasi ini tidak hanya soal mengubah kebijakan, tetapi juga mengubah pola pikir, perilaku konsumsi, model bisnis, serta pendekatan pendidikan dan inovasi. Penguatan kolaborasi multisektor, adaptasi lokal terhadap prinsip global, serta dukungan terhadap inovasi hijau menjadi prasyarat utama untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan.
Jika dilakukan dengan konsisten dan strategis, Indonesia tidak hanya akan berhasil menjaga keberlanjutan sumber daya alamnya, tetapi juga menciptakan masyarakat yang lebih adil, sejahtera, dan resilien. Dengan demikian, implementasi Doughnut Economy bukan hanya sebuah pilihan, melainkan sebuah keharusan untuk memastikan masa depan Indonesia yang lebih baik, dalam keseimbangan antara manusia dan bumi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI