Oleh: Purwanti & Lilis Suryani
Mahasiswa Magister Pedagogik, Universitas Lancang Kuning
Dua puluh dua tahun lalu, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 lahir sebagai pondasi hukum pendidikan nasional. Ia hadir membawa semangat Pancasila dan konstitusi, serta menjawab kebutuhan pendidikan saat itu. Namun kini, realitas telah berubah drastis. Revolusi teknologi, transformasi sosial, dan krisis pemerataan mutu pendidikan menjadi tantangan besar yang tak bisa diselesaikan dengan aturan lama.
Sebagai jawaban, pemerintah menyusun Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) 2023, yang menggabungkan tiga undang-undang menjadi satu. Tapi pertanyaannya: apakah ini benar-benar langkah maju? Atau justru menyisakan banyak masalah baru?
Reformasi atau Sekadar Penghapusan?
Salah satu yang paling disorot dari RUU ini adalah dihapusnya pasal tentang tunjangan profesi guru. Ini menimbulkan keresahan luas di kalangan pendidik. Padahal, guru adalah pilar utama dalam pendidikan. Bukankah mestinya mereka diberi jaminan kesejahteraan dan penguatan peran?
UU 2003 memang dianggap kaku, tetapi ia berdiri tegak di atas landasan ideologis yang kuat. Di sana pendidikan dimaknai sebagai proses pembudayaan dan pemberdayaan manusia seutuhnya. RUU terbaru ini memang lebih praktis, namun berisiko mengurangi kedalaman nilai yang selama ini menjadi roh pendidikan Indonesia.
Kurikulum Fleksibel: Inklusif atau Elitis?
RUU Sisdiknas 2023 menawarkan konsep kurikulum yang fleksibel dan terbuka terhadap teknologi. Sekilas, ini terdengar ideal. Namun, pertanyaannya: apakah seluruh sekolah di Indonesia sudah siap?
Faktanya, banyak sekolah di daerah 3T masih kesulitan menghadirkan jaringan internet, sumber daya manusia yang memadai, hingga fasilitas belajar dasar. Maka, ketika kurikulum semakin kompleks dan digital, sekolah-sekolah ini justru makin tertinggal. Tanpa kebijakan afirmatif dan dukungan nyata, fleksibilitas ini akan menjadi hak istimewa segelintir sekolah di kota-kota besar saja.
Ketimpangan Tak Berubah, Solusi Tak Terlihat
RUU ini belum menjawab persoalan-persoalan lama yang menghantui dunia pendidikan. Ketimpangan antarwilayah masih menganga. Rekrutmen guru ASN dan PPPK belum berbasis kebutuhan lokal, bahkan kerap menimbulkan penempatan yang tidak sesuai.