Informasi yang tidak bermanfaat bagi masyarakat akan ditolak. Setelah itu, informasi ini diperiksa kebenarannya. Informasi yang hanya berdasarkan gosip atau rumor tidak akan diberitakan.
Seiring dengan semakin murahnya perangkat komunikasi digital, maka terjadi pergeseran peran gatekeeper ini. Saat ini media massa konvensional tidak memegang monopoli sebagai produsen kabar. Di era digital ini, orang yang memiliki gawai dan sambungan internet dapat menjadi produsen berita.Â
Sayangnya, netizen atau warga dunia maya ini banyak yang tidak memiliki ketrampilan jurnalistik. Mereka mudah sekali menyebarkan informasi yang masih berupa desas-desus. Mereka juga belum memiliki ketrampilan dalam mencerna kabar yang diterima. Daya kritis dalam menyikapi informasi belum banyak dikuasai netizen.Â
Dengan kondisi yang demikian, netizen rentan menjadi sasaran serangan agitasi atau hasutan dengan menyaru berita yang sahih. Padahal tidak. Pada pola komunikasi lama, informasi agitatif pasti sudah dibuang di tempat sampah redaksi. Namun dalam era digital ini, peran redaksi sebagai gatekeeper melemah karena di luar sana bersliweran informas yang tidak dapat dikendalikan media massa konvensional.
Dalam struktur masyarakat Indonesia yang masih paternalistik, peran pemuka agama masih signifikan dalam pembentukan sikap dan pendapat umatnya. Hal ini seiring dengan teori two step of communication yang dilontarkan oleh Paul Lazarsfeld, Bernard Berelson, and Hazel Gaude.Â
Dalam penelitiannya, mereka mendapati bahwa masyarakat cenderung mengacu kepada pemuka pendapat atau opinion leader dalam pengambilan keputusan. Contohnya dalam pemilihan umum, masyarakat akan mengikuti pilihan yang diputuskan oleh pemuka pendapat .
Dalam hal ini, peran pemuka pendapat itu dipegang oleh pemuka agama. Banyaknya informasi yang mudah didapatkan oleh masyarakat, justru dapat membuat mereka menjadi bingung dalam menetukan sikap. Karena itu mereka membutuhkan arahan dari pemuka pendapat. Peran gatekeeper yang semula berada di pundak redaksi, sekarang sebagian beralih ke pundak para pemimpin agama.
Di sinilah pentingnya pemuka agama menjadi "gaul". Mereka harus senantiasa melakukan update dan updgrade sesuai dengan perkembangan teknologi informasi terkini. Hendaknya mereka tidak gaptek alias gagap teknologi. Pada awalnya mungkin mereka agak gelagapan dalam menguasai penggunaan gawai canggih itu, namun hal itu jangan mematahkan semangat untuk belajar hal baru.
Pada grup FKUB yang diceritakan di atas, seringkali muncul kejadian-kejadian konyol karena pemuka agama yang sudah sepuh (lansia) itu sedang belajar menggunakan smartphone. Suatu kali ada anggota grup yang mengirimkan video ke grup. Ada seorang pendeta yang mengeluh tidak dapat memutar video itu. Lalu anggota yang lain berusaha memberi solusi.