Pertama, Paradigma "Pembina" vs. "Mitra". Diksi yang digunakan secara konsisten adalah "pembinaan", "peningkatan kapasitas", dan "penguatan". Pekerja sosial disamakan dengan "pilar-pilar sosial lainnya" seperti kader dan relawan, yang posisinya adalah sebagai objek yang perlu "dibina" oleh kementerian. Paradigma ini melanggengkan relasi kuasa yang tidak setara, menempatkan kami sebagai pelaksana teknis, bukan sebagai mitra strategis dalam perumusan kebijakan dari hulu.
Kedua, Kekaburan Identitas Profesi. Renstra gagal membedakan secara tegas antara "Pekerja Sosial"---sebagai sebuah profesi yang dilindungi UU dengan standar pendidikan dan lisensi yang jelas---dengan "Jabatan Fungsional Pekerja Sosial" yang merupakan posisi dalam birokrasi ASN. Kekaburan ini adalah "dosa asal" yang melegitimasi praktik di mana jabatan fungsional strategis ini dapat diisi oleh individu tanpa kualifikasi yang diminta UU Peksos. Bagaimana mungkin kualitas layanan akan terjamin jika tulang punggungnya rapuh?
Ketiga, Pengabaian Total terhadap Organisasi Profesi (IPSPI). Inilah poin yang paling mengecewakan. Dalam keseluruhan dokumen Renstra, nama Independen Pekerja Sosial Profesional Indonesia (IPSPI)---organisasi yang ditetapkan oleh konvensi profesi pada tahun 2024 sebagai organisasi pekerja sosial sebagaimana dimaksud dalam UU, dan telah menjadi anggota Federasi Internasional Pekerja Sosial (IFSW) sejak 2011---tidak disebutkan satu kali pun.
Bagaimana bisa sebuah rencana strategis tentang penguatan profesi sama sekali tidak menyebut wadah tunggal profesi tersebut? Padahal, UU No. 14/2019 memberikan mandat krusial kepada Organisasi Profesi dalam hal uji kompetensi, sertifikasi, hingga penegakan kode etik. Ini adalah sinyal yang sangat jelas: kemitraan strategis dengan organisasi profesi belum menjadi agenda utama Kementerian Sosial.
Keempat, Legislasi Mandul Tanpa Petunjuk Teknis. Renstra berencana menerbitkan beberapa Peraturan Menteri (Permensos) baru, namun luput menyebutkan urgensi penyusunan Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) dan Petunjuk Teknis (Juknis) untuk UU Pekerja Sosial yang notabene diampu sendiri oleh Kemensos. Tanpa panduan operasional, UU Peksos hanyalah macan kertas yang tidak bisa dieksekusi. Kebingungan tentang "siapa melakukan apa dengan sumber daya apa" akan terus berlanjut.
Efek Domino: Saat Tulang Punggung Rapuh
Pengabaian struktural ini bukan sekadar masalah administratif. Ia mengancam masa depan ekosistem profesi pekerjaan sosial dan berpotensi menciptakan sebuah lingkaran setan:
Kredensial Profesional Tidak Bernilai: Ketika Kemensos sebagai regulator utama tidak mewajibkan kredensial profesional (seperti Surat Tanda Registrasi/STR) dalam rekrutmen dan standar layanan, maka nilai tawar lisensi profesional akan jatuh.
Erosi Sistem Pendidikan : Tanpa adanya demand (permintaan) yang kuat untuk pekerja sosial profesional berlisensi, maka sisi supply (perguruan tinggi) akan melemah. Program studi Kesejahteraan Sosial/Pekerjaan Sosial akan kehilangan peminat dan relevansi, melanjutkan tren yang sudah bergulir, yaitu dipaksa satu per satu gulung tikar.
Stagnasi Infrastruktur Profesi : Amanat UU untuk mendirikan Program Pendidikan Profesi Pekerja Sosial dan Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) yang mandiri akan berjalan di tempat tanpa investasi dan kemitraan yang serius dari pemerintah.
Panggilan Kemitraan: Resep Mengobati 'Osteoporosis' Profesi