Kementerian Sosial Republik Indonesia (Kemensos) baru saja merilis dokumen Rencana Strategis (Renstra) 2025-2029. Bagi publik, ini adalah peta jalan pembangunan kesejahteraan sosial bangsa.Â
Namun, bagi kami para pekerja sosial profesional, dokumen ini adalah cermin yang merefleksikan bagaimana negara memandang profesi kami---profesi yang oleh Undang-Undang No. 14 Tahun 2019 secara tegas diamanatkan sebagai "tulang punggung" penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
Setelah menelaah dokumen ini, kami di Ikatan Pekerja Sosial Profesional Indonesia (IPSPI) menemukan sebuah paradoks besar. Di satu sisi, ada secercah harapan. Di sisi lain, tersimpan pengabaian struktural yang mengkhawatirkan. Dengan segala niat baiknya, Renstra ini tampak masih gagap dalam menerjemahkan amanat undang-undang untuk memposisikan pekerja sosial sebagai mitra strategis.
Jika pekerja sosial adalah tulang punggung, maka kita sedang menyaksikan gejala spinal osteoporosis---sebuah pelemahan sistemik pada profesi yang justru membuat seluruh bangunan kesejahteraan sosial menjadi rapuh dan rentan runtuh.
Secercah Harapan yang Tak Boleh Membutakan
Kita perlu bersikap adil. Renstra 2025-2029 menunjukkan beberapa kemajuan. Dokumen ini secara eksplisit mencantumkan "Penguatan Sumber Daya Manusia Kesejahteraan Sosial" sebagai salah satu prioritas.Â
Beberapa langkah konkret yang direncanakan, seperti percepatan penerapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) Pekerja Sosial dan pembukaan jalur karier melalui skema Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), adalah angin segar.
Langkah ini menunjukkan kesadaran akan pentingnya standardisasi kompetensi dan peningkatan kesejahteraan praktisi di garda terdepan. Kami mengapresiasi niat baik ini sebagai fondasi awal. Namun, membangun sebuah profesi yang kokoh tidak cukup hanya dengan memperbaiki perkakasnya; kita perlu membangun rumahnya. Dan di sinilah letak kekhawatiran kami.
Akar Masalah Struktural: Retak yang Diabaikan
Di balik sinyal positif tersebut, Renstra ini gagal menyentuh, bahkan mengidentifikasi, isu-isu fundamental yang selama ini menjadi biang keladi pelemahan profesi. UU No. 14/2019 tentang Pekerja Sosial hadir sebagai lex specialis untuk memastikan penanganan masalah sosial dilakukan secara profesional, terencana, dan berkelanjutan.Â
Dengan tolok ukur inilah, kita melihat beberapa retakan serius dalam Renstra Kemensos.
Pertama, Paradigma "Pembina" vs. "Mitra". Diksi yang digunakan secara konsisten adalah "pembinaan", "peningkatan kapasitas", dan "penguatan". Pekerja sosial disamakan dengan "pilar-pilar sosial lainnya" seperti kader dan relawan, yang posisinya adalah sebagai objek yang perlu "dibina" oleh kementerian. Paradigma ini melanggengkan relasi kuasa yang tidak setara, menempatkan kami sebagai pelaksana teknis, bukan sebagai mitra strategis dalam perumusan kebijakan dari hulu.
Kedua, Kekaburan Identitas Profesi. Renstra gagal membedakan secara tegas antara "Pekerja Sosial"---sebagai sebuah profesi yang dilindungi UU dengan standar pendidikan dan lisensi yang jelas---dengan "Jabatan Fungsional Pekerja Sosial" yang merupakan posisi dalam birokrasi ASN. Kekaburan ini adalah "dosa asal" yang melegitimasi praktik di mana jabatan fungsional strategis ini dapat diisi oleh individu tanpa kualifikasi yang diminta UU Peksos. Bagaimana mungkin kualitas layanan akan terjamin jika tulang punggungnya rapuh?
Ketiga, Pengabaian Total terhadap Organisasi Profesi (IPSPI). Inilah poin yang paling mengecewakan. Dalam keseluruhan dokumen Renstra, nama Independen Pekerja Sosial Profesional Indonesia (IPSPI)---organisasi yang ditetapkan oleh konvensi profesi pada tahun 2024 sebagai organisasi pekerja sosial sebagaimana dimaksud dalam UU, dan telah menjadi anggota Federasi Internasional Pekerja Sosial (IFSW) sejak 2011---tidak disebutkan satu kali pun.
Bagaimana bisa sebuah rencana strategis tentang penguatan profesi sama sekali tidak menyebut wadah tunggal profesi tersebut? Padahal, UU No. 14/2019 memberikan mandat krusial kepada Organisasi Profesi dalam hal uji kompetensi, sertifikasi, hingga penegakan kode etik. Ini adalah sinyal yang sangat jelas: kemitraan strategis dengan organisasi profesi belum menjadi agenda utama Kementerian Sosial.
Keempat, Legislasi Mandul Tanpa Petunjuk Teknis. Renstra berencana menerbitkan beberapa Peraturan Menteri (Permensos) baru, namun luput menyebutkan urgensi penyusunan Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) dan Petunjuk Teknis (Juknis) untuk UU Pekerja Sosial yang notabene diampu sendiri oleh Kemensos. Tanpa panduan operasional, UU Peksos hanyalah macan kertas yang tidak bisa dieksekusi. Kebingungan tentang "siapa melakukan apa dengan sumber daya apa" akan terus berlanjut.
Efek Domino: Saat Tulang Punggung Rapuh
Pengabaian struktural ini bukan sekadar masalah administratif. Ia mengancam masa depan ekosistem profesi pekerjaan sosial dan berpotensi menciptakan sebuah lingkaran setan:
Kredensial Profesional Tidak Bernilai: Ketika Kemensos sebagai regulator utama tidak mewajibkan kredensial profesional (seperti Surat Tanda Registrasi/STR) dalam rekrutmen dan standar layanan, maka nilai tawar lisensi profesional akan jatuh.
Erosi Sistem Pendidikan : Tanpa adanya demand (permintaan) yang kuat untuk pekerja sosial profesional berlisensi, maka sisi supply (perguruan tinggi) akan melemah. Program studi Kesejahteraan Sosial/Pekerjaan Sosial akan kehilangan peminat dan relevansi, melanjutkan tren yang sudah bergulir, yaitu dipaksa satu per satu gulung tikar.
Stagnasi Infrastruktur Profesi : Amanat UU untuk mendirikan Program Pendidikan Profesi Pekerja Sosial dan Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) yang mandiri akan berjalan di tempat tanpa investasi dan kemitraan yang serius dari pemerintah.
Panggilan Kemitraan: Resep Mengobati 'Osteoporosis' Profesi
Renstra ini belum final dalam implementasinya. Atas nama ribuan pekerja sosial profesional di seluruh Indonesia, kami dari IPSPI secara terbuka menawarkan, lagi, Â kemitraan strategis kepada Kementerian Sosial. Kami, setelah berkali-kali mencoba, kembali mengetuk pintu untuk duduk bersama dan merumuskan Peta Jalan Perbaikan yang berfokus pada:
Mengubah Paradigma: Bergeser dari "membina" menjadi "bermitra setara" dengan IPSPI.
Menyempurnakan Regulasi:Â Memprioritaskan penyusunan Juklak/Juknis UU Peksos yang operasional.
Membangun Kemitraan Formal: Melibatkan IPSPI secara sistematis sejak perumusan kebijakan.
Menciptakan Demand Profesional: Menerapkan kebijakan yang mewajibkan kredensial STR dan SIP sebagai prasyarat dalam seluruh layanan dan jabatan pekerjaan sosial.
Berinvestasi pada Infrastruktur Profesi: Mengalokasikan sumber daya yang terencana untuk mendukung percepatan pendirian PPPS dan penguatan LSP.
Sebagai penutup, mari kita bahas bersama beberapa pertanyaan ini:
Kita semua ingin mewujudkan kesejahteraan sosial yang adil. Tapi, siapa pahlawan di lapangan yang akan mewujudkannya? Apa kita cukup berharap pada niat baik tanpa mendukung mereka?
Bayangkan membangun gedung pencakar langit, tapi semennya dicampur terlalu banyak pasir. Kira-kira bakal kuat? Jika kita meremehkan profesionalisme pekerja sosial, bukankah kita sedang membangun mimpi di atas fondasi yang rapuh?
Visi besar untuk rakyat itu mulia. Tapi apa gunanya jika tulang punggungnya dibiarkan keropos? Pada akhirnya, siapa yang akan dirugikan?
Kemitraan sejati atau basa-basi? Lima tahun ke depan akan menjawabnya. Bagaimana menurut Anda? Mari diskusikan di kolom komentar.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI