Mohon tunggu...
Operariorum
Operariorum Mohon Tunggu... Buruh - Marhaenism

Operariorum Marhaenism, merupakan Tulisan-tulisan mengenai ditindasnya orang Minoritas didalam realitas dan pola-pola diskriminasi yang dilakukan oleh pemilik otoriter, korporat dan kapitalissecara semenang-menang dan tidak adanya keadilan bagi kaum maniver mikro.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kongnisi Pidana dalam Legitimasi

27 Februari 2021   12:58 Diperbarui: 27 Februari 2021   13:00 449
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Perbarengan merupakan problem yang memiliki relasi dengan pemberian pidana. Beberapa perbuatan pidana yang dilakukan harus diadili pada waktu yang bersamaan atau secara bertahap. 

Bentuk perbarengan jangan dijadikan satu atau dicampur. Tidak pentimg perbuatan-perbuatan pidana itu diajuka ke pengadilan pada waktu yang sama atau bertahap (Pasal 71 KUHP). Residif memiliki mna yang sama engan perbarengan.

Ada beberapa perbuatan yang dalam kehidupan dianggap sehari-hari dipandang sama maknanya sebagai satu kesatuan, tetapi termasuk didalam perbuatan pidana. Contoh kasusnya di indoensia mengendarai itu berada dijalan sebelah kanan, dibelanda bekendara disebelah kanan dan karna kealpaan/kelalain dapat mengakibatkan orang lain tewas.

  • Stelsel yang bertalian dengan penerapan pidana dalam kasus perbarengan;

  • Terdapat tiga stelsel dengan penerapan pidana da;am kasus perbarengannya yakni;
  • Stelsel absoropsi, yakni ketentuan pidana yang harus dijalankan. Hal ini berkaitan dengan hukuman berat yang diterapkan, sedangkan ketentuan-ketentuan lain tidak terlalu di pentingkan.
  • Stelsel kumulasi, yakni untuk setiap perbuatan pidana dapat dijatuhkan pidana secara tersendiri. Namun, semua pidana tersebut diterjemahkan dan dioleh menjadi satu pidana.
  • Stelsel kumulasi terbatas, yakni stelsel dikumulasikan dengan pembatasan, yakni semua pidana yang dijumlahkan tidak boleh mencapai batas maksimal ancaman pidana yang paling berat dengan suatu persentase tertentu.

Contoh dari kasus perbarengan yakni perbuatan berlanjut adalah penggelapan oleh seorang pemegang buku. Perbuatan tersebut diakibatkan oleh suatu keputusan kehendak pemegang buku itu yang secara teratur menggambil sejumlah uang tertentu dari tempat uang majikannya. Posisi khusus dari "perbuatan berlanjut" hany menyangkut bidang pemberian pidana. Terhadap perbuatan berlanjut tidaklah tepat khusus yang bertalian dengan ne bis in idem.

Yang dibicarakan diatas menyangkut sebagai berikut;

Perbarengan peraturan-------stelsel absorpsi

Parbarengan perbuatan ------- Stelsel kumulasi

(tidak menyangkut perbuatan yang berlanjut)

Untuk kejahatan ; bersifat terbatas

Untuk pelanggaran bersifat : tidak terbatas

  • Perbuatan (feit) dalam ketentuan perbarengan dan dalam "ne bis in idem"
  • Ne bis idem, yakni apa yang dimaksudkan dengan perbuatan yang sama ?. dalam kenyataan kita akan dikonfrontasikan dengan dua permasalahan berbeda, yaitu;

  • Apabila dalam pandangan yuridis ada beberapa perbuatan.
  • Hukum pidana materii baru memiliki makna dalam hukum acara pidana.

Oleh sebab itu, ketentusn-ketentuan hukum acara pidana zalimnya memiliki arti yang krusial untuk menafsirkan isi hukum pidana materiil. Dalam hukum acar pidana, yang dipersoalkan tidak selalu kejadian yang sebenarnya (nyata) tetapi terutama yang bertaliandengan kejadian yang secara yuridis sudah terjadi, yaitu perbuatan yang dituduhkan.

  • Satu atau lebih dari satu perbuatan

Harus selalu diadakannya bekerja dengan tertib namun pekerjaan, pengguntingan patut untuk dilakukan sedemikain rupa sehingga konteks bertalian dengan kenyaatan tidak diusahakan. Harus disadari pula, nbagaimana dipisahkan suatu bagian dari kenyataan, maka harus ditekankan sedikit reduks. Kenyataan yang dilihat sejak semula diteropongi dengan kaca mata yudiris. Dalam pekerjaan "pengguntingan dari kenyataan hanya dapat diambil yang secara yuridis adalah relevan dan yang tidak sesuai ditinggalkan. Disini perlu adanya sifat kehati-hatian dalam "reduksi yuridis" kenyaatn tidak boleh diperkosa.

  • Perkembangan-perkembangan baru

terdapat perkembangan baru yang krisial dalam konstantasi dalam peradilan eberkaitan dengan pengertian perbuatan (feit). Pertama-tama pengertian dengan perbabuatan dalam sektor perbarengan dalam sektor ne bis in idem diputus ini berkaitan dengan joyriding-arrest yang terkenal. Kini terbuka jalan untuk suatu perkembangan yang bermanfaat. Ajaran didalam perbarengan, problema dari pemberian pidana dengan sendirinya menentukan syarat-syarat lain dari ne bis idem yang hany bertalian dengan perhatian pidana (yakni sepanjang hendak mencegah pemidanaan rangkap) tetapiuntuk bagian yang terpenting berkaitan dengan pencehanan (penuntutan) rangkap.

Kasus gandengan Truk (HR 6-12-1960)

Duduk perkara

Terdakwa membiarkan alat gandengan sebuah gandengan truk yang lintas di jalan tanpa peneragan yang cukup di malam hari dan tanda-tanda yang laizim. Penuntut umum menuntut berdasarkan pasal 494 ayat (1) KUHP. Penuntut umum tidak menyebutkan beberapa unsure yanglulintas. Pengadilan kanton dan Rb. Menjatuhkan pipidana atas dasarPasal 494 ayat (1) KUHP.

Sarana Kasasi :

Pasa; 494 ayatt (1) KUHP seharusnya tidak diterapkan karena ketentuan ini dapat dipandang sebagai ketentuan pidana umum dalam arti pasal 63 ayat (2) KUHP sebuahngan dengan pasal 25 WvW dan 13 Juncto 84 WVR.

Hoge Raad :

Membuat undang-undang dalam WvW dengan peraturan pelaksanaan (WVR), yang mengatur lalu lintas di jalan dan menghentikan kendaraan di jalann umum, telah membuat beberapa peraturan yang harus dipandang sebagai peraturan khusus dari ketentuan dalam pasal 494 ayat (1) KUHP, yang mengatur cara menempatkan kendaraan di jalan pada umumnya. Oleh karena itu, sarana, sejauh pembelaan bahwa Rb melanggar pasal 63 ayat (2) KUHP karena meskipun ada ketentuan pidana khusus menerapkan yang umum, adalah berdasarkan apa yang telah dibuktikan tidak dapat dipidana. Putusam ; dari tuntutan hukum.

Catatan ;

  • Putusan itu dari putusan spesialis "yuridis" atau sistematis
  • Disini HR menerobos ajaran kekuasaan secara diam-diam dari dakwaan karena meskipun memperhatikan pasal 494 KUHP, menganggap ketentuan-ketentuan WVR dapat diterapkan.

harunya disebut untuk memidanakan menurut undang-undang lau



  • PERCOBAAN DAN PENYERTAAN

Perlu dapat diadakan delik berupa percobaan dan penyertaan. Mengingat perkembangan yuridispudensi, syarat-syarat dapat dipidana delik ditetapkan sebagai berikut;

  • Suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia
  • Dipenuhi rumusan delik (syarat pasal 1 ayat (1) KUHP)
  • Bersifat melawan hukum; dan
  • Dilakukan karna kesalahan (sifat tercela)

Pada dasarnya, seseorang dipidana hanya karna bersalah melakukan perbuatan pidana kalau dia memnuhi semua unsure dari rumusan delik 2, kecuali jika ada alasan penghapusan pidana baik yang terdapat didalam undang-undang (umum ataupun khusus) maupun yang terdapat di luar (Putusan Penjaja Susu Pada Tahun 1916 Dan Putusan Dokter Hewan Pada Tahun 1933). Kalau itu merupakan alasan pembenar, hapusan syarat poin 3, namun jika itu kesalahan pemaaf, syarata poin empat tidak terpenuhi. Semua itu berarti pembatasan dapat dipidananya suatu delik meskipun perbuatan tersebut memenuhi syarat semua unsure delik, pembuatannya tidak sesuai dengan pidana.

Meskipun demikian peraturan mengenai percobaan pernyataan tetap merupakan "gundukan-gundukan" (ganjalan) dalam kaitannya dengan asas legalitas. Berikut ini akan ditinjau kedua bentukan ini.

  • Percobaan
  • Syarat-syarat

Dalam lpasal 53 KUHP ditetapkan :

"mencoba melakukan kejahatan dipidana jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainnya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri"

Menetapkan dapat dipidananya percobaan bukanlah suatu hal dengan sendirinya. Dapat dipikirkan adanya kodifikasi tanpa ini. Namun, jika pembuat undang-undang hendak memidana percobaan, krusial untuk menetapkan dengan syarat-syarat apa suatau percobaan dapat dipidana. Alasanya karena tanpa ini, jumlah perbuatan pidana (Pasal 1 KUHP) akan diperluas akan diperluas tanap batas.

Pasal 53 KUHP tidak menyebutkan itu, tetapi hanya menetapkan dalam keadaan apa percobaan dapat dipidana, yaitu, kalau memenuhi syarat-syarat ;

  • Harus ada niat dari perilaku;
  • Harus ada permulaan pelaksaan; dan
  • Pengunduran diri yang tidak suka rela.

Jadi dapat dipahami bahwa pemberian nama untuk percobaan oleh pompe, yaitu bentuk dari perwujudan dari perbuatan pidana sebab deliknya timbul, menampakan diri , tetapi dalam bentuk yang belum selesai.

  • Niat
  • Dipersoalkan apakah niat untuk melakukan kejahatan memiliki kedudukan yang sama pada percobaan sebagaimana kedudukan kesengajaan pada delik dolus yang selesai. Dalam yurispudensi niat sering disamakan dengan (kesengajaan (lihat utusan HR 6 Februari 1951)
  • Permulaan pelaksanaan
  • Batas antara perbuatan perisiapan yang belum dapat dipidana dan perbuatan pelaksanaan yang sudah dapat dipidana, baru ditentukan abstrak dalam pasal 53 KUHP, namun doktrian dan prakteklah yang harus menariknya secara konkrit.

  • Ajaran yang subjektif lebih menafsirkan istilah "permulaan pelaksanaan" dalahm pasal 53 KUHP sebagai permulaan pelaksanaan dari niat sehingga bertolak dari sikap batin yang berbahaya dari perbuatan dan menamakan perbuatan pelaksanan sebagai setiap perubahatan yang menunjukan bahwa pembuatan secara psikis sanggup melakukannya.

  • Van dijk (guru besar do amsterda, 1922-1927 mengatakan bahwa;
  • "ada perbuatan pelaksanaan kalu pembuatnnya dihadapkan dengan waktu dan tempat akan dilakukan kejahatan, membuktikan dirinya sanggup melakukan perbuatan yang dipererlukan untuk menyelesaikannya"

  • Ajaran yang objektif menafsirkan istilah "permulaan pelaksanan" dalampasal 53 KUHP lebih sebagai permulaan pelaksanaan dari kejahatan sehingga bertolak dari berhaayannya perbuatan bagi tertib hukum menamakan perbutan pelaksaan sebagai setiap perbuatan yang membahyakakan kepentingan hukum.

Skema Perbuatan Persiapan (a) Perbuatan Pelaksanaan (b) Penyelesaian Delik

Sudah jelas dalam bagian ini batas (a) akan bergeser ke kiri kalau ajaran yang dipakai lebih bersifat subjektif dan ke kanan kalau ajaran yang hendak diterapkan lebih bersifat objektif. Banyak perbuatan dapat di- pikirkan yang memang sudah dapat dianggap sebagai pernyataan dari niat jahat, tetapi belum merupakan perwujudan dari rumusan delik. Ajaran objektif belum menamakan perbuatan demikian sebagai perbuatan pe- laksanaan, sedangkan menurut ajaran subjektif sudah dinamakan sebagai perbuatan pelaksanaan.

Contoh:

A membeli karcis kereta api ke Amsterdam,untuk membunuh B di kota tersebut. Pembelian karcis masih berada jauh di luar lingkungan kejahatan yang direncanakan (pembunuhan berencana), tetapi jelas ada hubungan dengan niat jahat dari A.

Baik ajaran objektif maupun subjektif telah dikembangkan lebih laniut oleh para penulis untuk mendapatkan kriteria yang lebih konkret yang dapat digunakan dalam praktik. Dampak apakah sesungguhnya yang ditimbulkan oleh kedua ajaran terhadap fungsi hukum pidana? Dipandang dari satu sudut dari Pasal 1 KUHP bahwa orang harus dilindungi terhadap kesewenang-wenangan negara melalui peringatan yang dirumuskan secermat mungkin sebelumnya oleh pembuat undang-undang (fungsi melindungi), yang akhirnya pilihan jatuh pada ajaran objektif.

Bukankah ajaran ini menuju ke penafsiran terbatas (restriktif) yang selaras dengan jiwa asas legalitas yang berfungsi melindungi individu? Ini mengenai hubungan erat antara bunyi undang-undang di satu pihak dan pe buatan konkret di pihak lain. Dipandang dari segi lain, Pasal 1 KUHP lebih menekankan pada kewenangan negara untuk bertindak represif terhadap perbuatan melawan hukum (fungsi instrumental) sehingga membatasi kebebasan orang. Dengan demikian, ajaran subjektiflah yang diutamakan. Pendekatan ini adalah hasil dari pertimbangan politik kriminal yang bertujuan untuk menekan secara maksimal maksud-maksud jahat yang terarah ke dalam wilayah undang-undang pidana.

Sudah dengan sendirinya seorang pembela/penasihat hukum akan memilih cara pendekatan yang pertama, sedangkan penuntut umum lebih menyukai pendekatan yang ke-dua. Sementara itu, kedua ajaran tersebut mempunyai batas-batas. Terhadap ajaran subjektif dapat dikemukakan bahwa penekanan yang terlampau berat terhadap niat mengandung bahaya akan memasuki apa yang dinamakan gesinnungsstrafrecht, yang menganggap niat semata-mata sudah dapat dipidana.

Keberatan terhadap ajaran objektif adalah bahwa hanya dapat ditentukan apakah suatu perbuatan termasuk dalam rumusan delik kalau rumusan itu sendir merumuskan perbuatan secara tajam. Pada umumnya, hal ini terdapat pada delik-delik yang dirumuskan secara formal (delik-delik yang melarang perbuatan tertentu). Jika perbuatan yang disebutkan secara khusus itu sudah mulai dilakukan (misalnya, "meng- ambil" pada pencurian pada Pasal 362 KUHP), dapat disimpulkan adanya permulaan pelaksanaan. Namun, akan timbul kesulitan pada delik-delik dengan rumusan materiil (delik-delik yang dilarang timbulnya akibat), misal- nya, perbuatan pembunuhan (Pasal 338 KUHP) ialah "merampas nyawa". Orang dapat dengan sengaja dan dengan segala cara yang ada dalam fantasinya melalui berbagai macam perbuatan sehingga sampai pada akibat matinya orang lain. Rumusan delik pembunuhan terpenuhi oleh semua perbuatan tadi. Sebaliknya, dapat terjadi juga bahwa seseorang yang dengan keras dan berulang-ulang memukulkan martil ke kepala orang lain, tetapi tidak menimbulkan kematian. Dalam hal ini, Pasal 338 KUHP tidak berlaku karena akibat yang dilarangnya tidak timbul.

Singkatnya, pada delik-delik materiil rumusannya kurang tegas dalam penetapan perbuatan yang dilarang sehingga tidak secara cepat dapat ditentukan apakah sudah ada permulaan pemenuhan rumusan atau tidak. Hanya rumusan delik materiil yang mensyaratkan sarana tertentu ntuk mencapai akibat merupakan kekecualian. Dalam hat ini, undang undang memberikan lebih banyak pegangan. Sebagai contoh, penipuan yang terdapat daiam Pasal 378 KUHP yang berbunyi ;

"Barang siapa dengan maksud menguntungkan diri sendirt atau orang lain melawan hukum dengan memakai nama paisu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat atau rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang karena penipuan diancam dengan pidana...."

Percobaan dan Penyertaan untuk mencapai akibat merupakan kekecualian. Dalam hal ini, undang- undang memberikan lebih banyak pegangan. Sebagai contoh, penipuan yang terdapat dalam Pasal 378 KUHP yang berbunyi: "Barang siapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain melawan hukum dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat atau rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang karena penipuan diancam dengan pidana

Kalau K mendatangi rumah H dan bertentangan dengan kebenaran me- ngenalkan diri sebagai pengumpul dana untuk Palang Merah, dia tanpa menghiraukan apakah H sudah akan memberikan uang-hanya karena memakai martabat palsu sudah mulai mewujudkan rumusan delik.

Jadi, pada delik yang dirumuskan secara materiil ajaran objektif menghadapi lebih banyak kesulitan. Pendapat Simons memberikan pemecahan dalam arti subjektif. Dia mengatakan:

"Ada permulaan pelaksanaan kalau pembuat melakukan perbuatan dan delik.menjadi selesai tanpa perbuatannya lebih lanjut.

' Waktu terbentuknya KUHP kita, Menteri Modderman dengan tegas me- nyerahkan pilihan antara ajaran objektif dan subjektif kepada ilmu pengetahuan dan peradilan karena menurut beliau, keduanya lebih sanggup mencari jalan yang tepat daripada pembuat undang-undang. Memang yurisprudensi sedikit demi sedikit sempat membangun jalur kebijakan untuk menghadapi kebhinnekaan situasi dalam praktik yang tidak dapat diatur secara tuntas oleh ketentuan hukum yang abstrak. Jadi, sangat penting untuk mengetahui pertumbuhan jalur kebijakan dari Hoge Raad.

Pada tahun 1934 Hoge Raad mengeluarkan Putusan Pembakaran di Kota Eindhoven.

Duduk Perkara A dan B bersepakat untuk membakar rumah dengan persetujuan pemilik- nya yang sedang bepergian, dengan maksud untuk membagi pembayaran asuransi yang akan diperoleh di antara mereka bertiga. Mereka membuat sumbu panjang dari pakaian bekas, mencelupkannya ke dalam bensin dan menaruhnya di seluruh rumah. Ujung sumbu diikat dengan "pistol gas" dalam dapur. Picu dari pistol diikat dengan tali yang melalui jendela dapur ditarik melewati tembok luar sehingga semua peralatan itu danat dipergunakan dari luar rumah. Setelah menjadikan rumah "siap bakar mereka pergi dengan maksud kembali pada waktu malam untuk menarik tali tadi. Bau bensin mengganggu hidung orang-orang lewat dan terjadilah kerumunan orang di sekitar rumah itu. Mudah dipahami bahwa waktu para calon penarik tadi kembali dan melihat kerumunan itu, mereka takut dan mengambil langkah seribu.

Persoalannya ialah apakah di sini hanya ada perbuatan persiapan atau kah juga ada perbuatan pelaksanaan yang bukan karena kehendak pe. lakupelakunya (takut karena kerumunan orang yang mencium bensin) tadi mengakibatkan delik pembakaran menjadi tidak selesai? Sebenarnya, persoalannya adalah apakah tidak dapat dipidana karena belum ada permulaan pelaksanaan sebagaimana Pasal 53 KUHP atau dapat dipidana berdasarkan Pasal 53 KUHP? Hoge Raad memutuskan yang pertama berdasarkan penalaran bahwa niat dari pembuat telah ter- nyata dari adanya permulaan, asalkan telah dilakukan perbuatan yang: Tidak hanya merupakan keharusan untuk pembakaran yang dimaksudkan; Tidak dapat ditujukan pada perbuatan lain; Berhubungan langsung dengan kejahatan yang dituju. b) (Sifat-sifat mana juga ada pada banyak perbuatan persiapan). c) Tetapi yang menurut pengalaman memang dapat menimbulkan kebakaran tanpa perbuatan lebih lanjut dari pelaku. d) Kecuali sekiranya terjadi sesuatu yang tidak terduga, seperti: pistol macet; sumbu yang tercelup bensin tidak menyala; api yang tidak merambat sekalipun pistol sudah bekerja; tangan yang akan menarik, tetapi ditepiskan

alam yurisprudensi lama, HR menggunakan (a) sebagai kriteriuum obiel tif tetapi dalam arrest ini, sambil membela diri dalam (b), menambah kan kriterium kedua dalam bentuk rumusan Simons, yaitu (c). Dalam (d) HB memberikan beberapa contoh yang menurut pendapatnya termasuk daerah pelaksanaan. Karena dalam kasus tersebut termaksud, baik lo) maupun (d) tidak terpenuhi, maka tidak ada percobaan yang dapat dipidana.

Memori penjelasan (seperti diketahui), menyerahkan penentuan batas praktik sehingga HR dimungkinkan untuk mencari pemecahan dengan mempertimbangkan semua kekhususan suatu perkara dan menentukan titik singgung dalam rumusan delik. Ajaran Simons khusus tertuju pada delik materiil sehingga tidak mengherankan kalau HR dalam putusan ini, yang mengenai Pasal 187 KUHP, memutuskan senada itu. Dipertanyakan apakah HR masih berpendirian sama seperti pada tahun 1934? Sulitnya menjawab pertanyaan demikian karena kita bergantung pada perkara-perkara yang terjadi dalam praktik dan yang mencapai tingkat kasasi.

Akan tetapi, ada satu perkara yang hampir sama, yaitu apa yang dinama- kan Putusan Pipa Gas (HR 21 Mei 1951).

: Raad tersebut di atas, dalam tahun 1924, yaitu "tidak dipidana kalau" sudah mengarah ke problematik ini).

  • Percobaan Tidak Mampu Percobaan tidak mampu diartikan sebagai percobaan yang betapapun lanjutnya tidak akan dapat menyelesaikan kejahatan karena sarananya atau tujuannya tidak mampu. Ketidakmampuan sarana atau tujuan di- bedakan antara yang mutlak dan yang nisbi. Tidak mampu mutlak adalah sarana atau tujuan yang dalam keadaan apa pun tidak dapat mendatangkan hasil yang dikehendaki. Tidak mampu nisbi adalah sarana atau tujuan pada umumnya dapat mendatangkan hasil yang dikehendaki, tetapi dalam keadaan tertentu tidak demikian.

  • Jadi, ada empat kemungkinan a, b, c, dan d. Contoh dari

  • a: percobaan peracunan dengan bubukan yang oleh pe- lakunya dikira warangan (racun), tetapi ternyata gula.

  • Contoh dari b: Percobaan pengguguran kandungan dengan warangan (racun) yang ternyata tidak ada kehamilan. Contoh dari
  • c: percobaan peracunan dengan warangan (racun) yang dosisnya terlampau kecil. Contoh dari d: mencoba mencuri dari peti uang yang ternyata kosong.

Dapat dipahami bahwa pertentangan antara ajaran objektif dan subjek- tif meruncing dalam masalah percobaan tidak mampu. Ajaran subjektif tidak membutuhkan pembedaan antara tidak mampu nisbi dan mutlak. Semua bentuk percobaan tidak mampu, baik itu nisbi (c dan d) maupun mutlak (a dan b) dapat dipidana menurut ajaran subjektif. Dalam teori ini percobaan yang dapat dipidana berdasarkan sikap batin jahat dari pembuat dan ini adalah identik dalam kedua hal tersebut. Sebaliknya, teori objektif menginginkan hanya percobaan yang tidak mampu mutlak vang tidak dapat dipidana sebab percobaan ini dalam keadaan apa pun tidak menimbulkan bahaya objektif bagi tertib hukum. Lain halnya dengan percobaan yang tidak mampu nisbi.

Sarana atau tujuan yang dipilih pada umumya tidak mengesampingkan diselesaikan- nya kejahatan yang dituju, tetapi dalam keadaan konkret kemungkinan hasilnya berkurang dan karena inilah dianggap menimbulkan bahaya bagi tertib hukum dan dapat dipidana. Dalam Putusan Uang Sen Tembaga (HR 7-5-1906), HR dalam hal demikian mengikuti ajaran objektif. Berdasarkan keterangan saksi ahli, hakim menerima adanya sarana yang tidak mampu mutlak dalam perkara berikut. Berminggu-minggu se- orang wanita merendam beberapa keping uang sen tembaga dalam air mendidih dengan maksud untuk membuat teh dengan air larutan itu bagi suaminya. Para saksi ahli berpendapat bahwa air larutan tembaga itu tidak mungkin mematikan orang. Hoge Raad berpendapat, sesuai ajaran objektif, bahwa percobaan dengan alat yang tidak mampu mutlak tidak dapat dipidana.

3. "Mangel am Tatbestand" dan Delik Putatif Mirip sekali dengan percobaan yang tidak mampu mutlak adalah yang dinamakan mangel am tatbestand. Ini tidak mengenai perbuatan yang karena sarana atau tujuan yang dipilih tidak mungkin menyelesaikan ke. jahatan, tetapi tentang perbuatan yang tidak mungkin mewujudkan rumusan. delik karena tidak adanya unsur esensial dari rumusan ini. Sebagai contoh, mengambil barang yang pada saat itu sudah menjadi milik pembuat sendiri tidak mungkin menjadi pencurian karena rumusan mensyaratkan bahwa barang yang diambil "seluruhnya atau sebagian milik orang lain".

Di luar pengetahuannya mungkin pembuat sudah menjadi pemilik barang karena pewarisan sesaat sebelum dia "mencurinya". Keanehan dari mangel am tatbestand adalah hasil yang dikehendaki pembuat terwujud di luar dirinya. Hal yang sama berlaku juga untuk seseorang yang menembak orang mati yang dikiranya masih hidup. Pada tahun 1897 Hoge Raad menetapkan bahwa pengguguran dalam Pasal 348 KUHP hanya dapat dipidana apabila kandungan hidup pada waktu perbuatan pengguguran dilakukan. Jika tidak, tidak ada pengguguran sama sekali.

Juga, tidak ada percobaan karena perbuatan telah selesai. Akan tetapi, hubungannya itu dengan percobaan dapat dimengerti karena dalam kedua hal, di luar kehendaknya, si pembuat berada di luar pemenuhan seluruhnya dari rumusan delik. Namun, dalam hal percobaan tujuan yang hendak dicapai tidak terjadi, pada mangel am tatbestand tujuan tersebut telah tercapai. Berkaitan dengan mangel am tatbestand adalah delik putatif. Adapun delik putatif dapat disebut demikian kalau apa yang telah dilakukan ternyata sama sekali tidak dilarang oleh undang-undang, yang berlawanan dengan perkiraan pembuat waktu dia berbuat. Dapat dipikirkan bahwa dua orang asing dewasa melakukan hubungan homo di Belanda dan mereka mengira telah melakukan perbuatan pidana. Kesesatan tentang norma yang bersangkutan atau tentang dapat dipidananya pelanggaran inilah yang mirip dengan percobaan, yaitu percobaan yang tidak pernah akan menimbulkan hasil yang dapat dipidana karena tidak adanya larang-

B. TAMBAHAN: AJARAN OBJEKTIF DIPERLUNAK; PUTUSAN CITO

Dewasa ini yurisprudensi HR memperlihatkan ajaran objektif yang diperlunak. Sebagai contoh, Putusan Cito (Oktober 1978) mengenai dua orang bersenjata dan bertopeng dengan membawa tas menuju ke Biro Penyiaran Cito dengan maksud melakukan perampokan. Mereka membunyikan bel, tetapi pintu tidak dibuka. Pada saat itu mereka ditangkap polisi. Apaah di sini sudah ada perbuatan pelaksanaan atau baru perbuatan per- nelaksanaan karena "menurut bentuk perwujudannya dari luar harus dinandang sebagai diarahkan untuk menyelesaikan kejahatan". Jadi, dalam bal ini terjadilah percobaan yang dapat dipidana, yaitu dari kejahatan Pasal 365 KUHP, pencurian dengan kekerasan.

Memang tidak dapat diingkari bahwa perbuatan-perbuatan dua orang tersebut hanya dapat me- rupakan permulaan perampokan bersenjata, sedangkan karena perilakusiapan? HR menimbang bahwa perbuatan tersebut merupakan perbuatan nya bersama-sama satu unsur perumusan delik telah terpenuhi. Mengingat kriterium ini, bagaimanakah kesimpulannya jika kedua orang tadi tidak bersenjata, tidak bertopeng, dan tidak membawa tas membunyi kan bel dengan niat untuk melakukan pencurian? Menurut van Veen yang memberikan catatan di bawah Putusan Cito tersebut, pada delik yang di- kualifikasi lebih banyak terdapat perbuatan pelaksanaan daripada delik pokoknya. Delik yang dikualifikasi didahului oleh bayangannya. Demikian menurut van Veen. Dengan perkataan lain, bersenjata, bertopeng, dan membunyikan bel adalah mulai melaksanakan pencurian dengan kekeras an, tetapi tidak bersenjata, tidak bertopeng, dan mengebel bukan permulaan pelaksanaan dari pencurian biasa.

Menurut bentuk perwujudannya dari luar, demikian belum tentu tertuju pada penyelesaian kejahatan. Sementara itu, dalam praktik mungkin timbul persoalan. Kalau polisi me- nerima laporan akan dilakukan kejahatan besar, kapankah dia harus bertindak? Menunggu sampai sungguh-sungguh mulai dilakukan pelaksanaan? Mungkin sudah terlambat dan korban telah berjatuhan. Akan tetapi, kalau dia bertindak terlampau dini, para pembuat mungkin dibebaskan sebab mereka baru berada dalam tahap persiapan.

Telah diketahui bahwa perbuatan persiapan menimbulkan percobaan yang dapat dipidana. Namun, kadang-kadang perbuatan persiapan dapat dipidana sebagai delik mandiri. Sebagai contoh, terdapat dalam Pasal 250 KUHP, yaitu: "Membuat atau mempunyai persediaan bahan atau benda yang diketahui bahwa itu digunakan untuk meniru, memalsu, atau mengurangkan nilai mata uang. Juga, dalam Algemene Politie Verordening (APV)-Peraturan Umum Ke- polisian, perbuatan persiapan kadang-kadang ditentukan dapat dipidana. Misalnya, Pasal 53 APV Amsterdam berbunyi:

1. Tanpa mengurangi apa yang ditetapkan dalam Pasal 489, Pasal 493, Pasal 532 KUHP dilarang untuk di jalan umum atau di bangunan yang terbuka untuk umum mengganggu ke- tertiban dengan cara apa pun, menggangu orang, atau ber- kelahi;

2. Dilarang membawa benda atau bahan yang dimaksudkan untuk mengganggu ketertiban di tempat tersebut dalam ayat (1).

C. PEMBUJUKAN GAGAL (PASAL 163 BIS KUHP)

Redaksi dan ruang lingkup ruang tersebut: Pasal itu menyebutkan mencoba menggerakkan orang lain supaya melakukan "kejahatan". Tidak menyebutkan supaya melakukan perbuatan pidana. Dengan demikian, orang yang mencoba menggerakkan orang lain supaya melakukan pelanggaran tidak terkena Pasal 163 bis KUHP. Pembuat dapat dipidana menurut pasal tersebut

1. kalau perbuatannya tidak mengakibatkan kejahatan atau percoba- an yang dapat dipidana. Apabila ini terjadi, terdapatlah salah satu bentuk penyertaan dari Pasal 55 KUHP.

2. Undang-undang menggunakan istilah tidak mengakibatkan. Ini berarti bahwa orang yang dengan sarana tersebut dengan Pasal 55 KUHP telah mencoba menggerakkan orang lain supaya me- lakukan kejahatan, dapat dipidana apabila ia telah berbuat segala sesuatu yang diperlukan dan selama kejahatan atau percobaan yang dapat dipidana tidak terjadi.

Ini tidak berarti bahwa sudah sejak semula harus dapat ditentukan bahwa kejahatan atau per- cobaannya tidak akan terjadi sebab tidak ada ketentuan demikian. Pendapat-pendapat tentang ini berbeda sampai HR mengeluarkan Putusan Racun Potas (HR 15 Juni 1965) yang di dalamnya Hoge Raad menetapkan bahwa orang yang mencoba menggerakkan harus menumbuhkan niat untuk melakukan kejahatan pada orang lain sehingga mengeluarkan percobaan melakukan pembantuan dari jangkauan Pasal 163 bis KUHP. Hoge Raad menunjuk ke memori penjelasan yang berbunyi:

Hoge Raad menganggap kedua hal ini sebagai mencoba meng- gerakkan dalam persyaratan: "Yang dilarang dalam pasal tersebut, yaitu mencoba meng- gerakkan orang lain supaya melakukan kejahatan. Di satu pihak, tidak mensyaratkan orang itu benar-benar tergerak, tetapi di pihak lain tidak kehilangan sifat dipidananya kalau akibatnya (yaitu tergeraknya) terjadi sebab mencobanya me- mang berakhir, tetapi tidak terhapus. Pasal 163 bis KUHP jelas menentukan kapan dapat dipidananya mencoba meng- gerakkan berakhir, yaitu kalau kejahatan atau percobaan yang dapat dipidana sudah terjadi, dalam hal mana dapat dipidana- nya perbuatan yang telah dilakukan ditampung oleh ketentuan pidana lainnya" (lihat HR 8-2-1932 dalam Putusan Gudang Umbi Bunga).

Perbandingan antara Pasal 163 bis KUHP dan Pasal 53 KUHP adalah bahwa kedua pasal hanya mengenal percobaan melakukan kejahatan. Dalam Pasal 53 KUHP perbuatan harus mencapai tahap tertentu. Bukan- kah dikatakan permulaan pelaksanaan? Istilah mencoba menggerakkan dalam Pasal 163 KUHP tidak dijelaskan. Oleh karena itu, pembuat dapat dipidana juga jika orang yang dicoba digerakkan (pembuat materiil) tidak bergerak atau terbujuk. Dalam Pasal 53 KUHP tidak adanya pengunduran sukarela menjadi unsur dari perbuatan dan ini berarti bahwa jaksa harus menyebutkannya dalam surat tuduhan dan membuktikan. Dalam Pasal 163 bis KUHP adanya pengunduran sukarela dirumuskan dalam ayat (2) sebagai alasan penghapus pidana. Jadi, jaksa tidak perlu menyebutkannya dalam tuduhan. Namun, dalam pertimbangannya untuk menuntut atau tidak, jaksa akan menimbang apakah terdakwa berhak atas alasan penghapus pidana tersebut?

D. YURISPRUDENSI

KASUS PEMBAKARAN DI KOTA EINDHOVEN HR 19-3-1934 Menurut Pasal 53 KUHP,

untuk dapat dipidana percobaan disyaratkan bahwa niat pembuat melakukan kejahatan ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan. Dalam hal pembakaran ini, disyaratkan adanya perbuat- an yang menurut pengalaman tanpa perbuatan lebih lanjut dari pembuat sudah menimbulkan kebakaran. Duduk Perkara Para terdakwa telah membuat rencana yang canggih untuk membakar se- buah rumah di Jalan Ampere Eindhoven. Para penghuni rumah sepakat, Pada hari itu juga pembuat utama dengan pembantunya menaruh pakaian bekas yang sudah direndam bensin secara rapat berjajar sehingga memberikan bantuan dengan keluar rumah pada hari yang ditentukan. merupakan semacam sumbu di semua kamar, tangga, dan gang dalam rumah tersebut. Dalam dapur sepucuk pistol gas diikat pada kompor gas. Picunya diikat tali panjang yang melalui jendela dapur ditarik sampai tergantung di tembok luar. Dengan menarik tali dari luar rumah, maka akan timbul kebakaran karena percikan api dari pistol tersebut.

gantung di tembok luar. Dengan menarik tali dari luar rumah, maka akan timbul kebakaran karena pistol tersebut.

Mereka dibebaskan oleh Pengadilan Negeri Den Boch karena yang dituduhkan bukan perbuatan pelaksanan, melainkan hanya perbuatan persiapan. Selain itu, dianggap mungkin ada pengunduran sukarela. Jaksa naik banding dan Pengadilan Tinggi di Den Haag menjatuhkan pidana empat tahun terhadap terdakwa utama dan pembantunya dipidana enam bulan penjara.

Hoge Raad:

Bantahan bahwa perbuatan yang terbukti baru merupakan perbuatan persiapan dan belum perbuatan pelaksanaan adalah beralasan, Menurut Pasal 53 KUHP, untuk dapat dipidana percobaan melakukan kejahatan disvaratkan bahwa niat dari pembuat ternyata dari permulaan pelaksanaan, yaitu permulaan pelaksanaan dari kejahatan, yang dalam hal ini berupa pembakaran. Telah dimulainya pembakaran itu jadi telah dil perbuatan yang tidak hanya seperti dipertimbangkan oleh pengadilan kan

Perbuatan-perbuatan yang terbukti tidak memenuhi syarat perbuatan pelaksanaan. Benar pembuat telah menyiapkan segala sesuatu untuk membakar rumah, tetapi perbuatan yang dipandang sebagai perbuatan pelaksanaan dari pembakaran, perbuatan yang tanpa kejadian tak terduga misalnya, macetnya pistol gas, tidak menyalanya pakaian bekas yang dicelup bensin, tidak menjalarnya api, dan sebagainya atau tanpa perbuatan dari orang lain-seperti ditepisnya tangan yang hendak menarik ujung tali dan sebagainya dapat menimbulkan kebakaran, tidak tercakup dalam pembuktian dan juga tidak terdapat dalam alat-alat pembuktian. Pengadilan tinggi memang menyatakan terbukti bahwa pelaksanaan kejahatan tidak terjadi hanya karena suatu keadaan yang tidak bergantung pada kehendak terdakwa. Maksud jahatnya terhalang sebelum api dinyalakan olehnya dan khususnya pengadilan tinggi menganggap bahwa kehadiran kerumunan orang tersebut menghalangi terdakwa untuk menarik tali, bahkan menghalangi munculnya terdakwa di tempat itu: Akan tetapi, justru hal-hal inilah yang membuktikan tidak adanya perbuatan yang berada cukup dekat dengan penyelesaian kejahatan untuk dapat dianggap sebagai perbuatan pelaksanaan.

KASUS MARTIL

HR 29-5-1951

Kalau orang berniat menghilangkan nyawa orang lain dalam dua tahap, terdapat permulaan pelaksanaan dalam arti Pasal 53 KUHP kalau tahap pertama telah dimulai. Duduk Perkara Setelah rencana-rencana terdahulu tidak berhasil, seorang wanita yang telah menikah bersepakat dengan pacarnya untuk menghilangkan nyawa suaminya dengan cara berikut. Si pacar diberi kunci untuk memasuki rumah pada malam hari, kemudian masuk kamar tidur dan memukul pingsan si suami, lalu menyeretnya ke dapur untuk diracuni dengan gas sampai mati. Si paar melakukan perannya menurut skenario, tetapi sisuami agak bergoyang dalam tidurnya ketika kepalanya hendak dimarti sehingga palu besi ini tidak tepat mengenai sasarannya. Si suami terbangun dan mengadakan perlawanan. Si pacar masih menghadiahkan beberapa pukulan lagi, tetapi akhirnya lari. Sama seperti pengadilan negeri, pengadilan tinggi pun memidana terdakwa karena percobaan pembunuhan berencana dengan pidana penjara selama 10 tahun.

Pembela terpidana mengajukan sarana-sarna kasasi sebagai berikut:

1. Dari alat-alat bukti tidak dapat disimpulkan bahwa kejahatan yang diniatkan tidak selesai semata-mata karena keadaan yang tidak bergantung pada kehendak terpidana. Selain itu, hambatan-hambatan pribadi juga menghalangi terpidana untuk menyelesaikan perbuatannya.

2. Perbuatan-perbuatan yang terbukti secara tidak benar dikualifikasikan sebagai "percobaan pembunuhan berencana" karena memukul dengan martil belum dapat dianggap sebagai perbuatan pelaksanaan dari pembunuhan yang diniatkan.

Hoge Raad:

1. Mengingat jalannya kejadian tidak ada sesuatu yang menunjukkan bahwa tanpa melesetnya pukulan pertama, terbangunnya korban dan-meskipun dipukul berkali-kali oleh terdakwa-perlawanan keras si korban, maka terdakwa menghentikan pelaksanaannya lebih lanjut dari niatnya dan dari kejahatan. Tidak ada sesuatu yang menghalangi pengadilan untuk menarik kesimpulan dari alat-alat bukti bahwa tidak selesainya pelaksanaan lebih lanjut, hnya akibat dari keadaan yang terbukti dan yang tidak bergantung pada kehendak terdakwa.

2. Kalau seseorang dengan pertimbangan yang masak dan secara tenang berniat memukul pingsan orang lain dan kemudian membunuhnya dengan peracunan gas, terdapatlah permulaan pelaksa- naan kalau dia dengan sengaja membawa sebuah martil dan me mukulkannya dengan keras ke kepala orang lain tadi yang sedang tidur. Dengan perbuatan itu, dia mulai melaksanakan tahap per- tama dari rencana untuk merampas nyawa yang hendak dia wujudkan dalam dua tahap.

Tahap pertama berisi penyerangan yang sedemikian keras dan langsung terhadap keadaan normai dari korban sehingga dalam keadaan tanpa kehendak dan tanpa daya pasti menjadikan korban keracunan hanya dengan membuka saluran gas. Komentar: Yang penting adalah kehendak dan sikap batin yang nyata dari perbuatan. Perbuatan menjadi manifestasi riil, perwujudan yang sesungguhnya dari kehendak yang jahat. Kehendak jahat yang mengejawantah dalam tertib hukum memerlukan pidana. Juga, kalau ini disetujui, garis antara permulaan pelaksanaan yang dapat dipidana dan persiapan yang tidak dapat dipidana, tetap sulit ditentukan. Dapat dipahami bahwa di sini sering kali hanya dimungkinkan putusan in concreto. Mungkin inilah arti dari rumus yang sering digunakan oleh Hoge Raad sehubungan dengan memori penjelasan "hubungan yang sedemikian langsung sehingga dapat dikatakan ada permulaan pelaksanaan". Rumusan ini sedikit berbau "bahasa dukun", kalau bukan kesaksian kelemahan (testimonium paupertatis) karena beralasan untuk bertanya hubungan itu harus seberapa eratnya? Kepastian bahwa terdakwa sungguh akan menyelesaikan hanya diperoleh hakim jika percobaan itu adalah apa yang dinamakan percobaan selesai, yaitu kalau pembuat sudah melakukan semua yang diharapkan dari seorang pembuat. Ada permulaan pelaksanaan kalau perbuatan menurut penampilan di luar ditujukan untuk menyelesaikan kejahatan. Niat pembuat dapat ikut menentukan arah itu. Undang-undang hanya mensyaratkan bahwa niat ternyata dari permulaan pelaksanaan, tidak terbukti. Yurisprudensi lama menetapkan syarat terlampau berat yang berkaitan dengan kemungkinan bahwa pembuat akan membatalkan rencananya kalau dihadapkan pada kenyataan sehingga mengabaikan kenyataan dari bekerjanya perbuatan yang telah ia lakukan dalam masyarakat hukum. Ingat Putusan Pembakaran di Kota Eindhoven yang kurang disukai itu (dari BVA Roling; catatan di bawah putusan).

KASUS GUDANG UMBI BUNGA

HR 8-2-1932 Juga, kalau pembujukan telah berhasil sedemikian rupa sehingga lain tergerak untuk melakukan kejahatan, Pasal 163 bis KUHP berlaku kalau tidak diikuti oleh kejahatan atau percobaan yang dapat dipidana. Duduk Perkara Seorang petani umbi bunga menjanjikan uang seribu gulden kepada kawannya jika dia bersedia membakar gudangnya. Kawannya itu menyetujui, tetapi ditangkap polisi sebelum waktu pembakaran yang disepakati. Petani dituntut berdasarkan Pasal 55 ayat (1) KUHP, yakni dengan meng- gunakan salah satu sarana tersebut dalam sub ke-2 mencoba menggerak- kan orang lain untuk malakukan kejahatan yang tidak diikuti oleh kejahatan itu atau percobaan yang dapat dipidana. Dalam hal ini, kejahatan adalah pembakaran dengan sengaja yang menimbulkan bahaya umum bagi rumah tetangga sebelah gudang tersebut (Pasal 187 judul dan sub ke-1 KUHP). Dalam tingkat banding, pengadilan tinggi menganggap tuduhan terbukti Serta dapat dipidana dan menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa. Dalam tingkat kasasi, terdakwa, antara lain, mengemukakan bahwa peng- adilan tinggi salah menafsirkan Pasal 163 bis KUHP dengan menganggap Pasal itu juga berlaku kalau pembujukannya berhasil dan yang dibujuk tergerak, padahal pasal itu dengan tegas menyebutkan mencoba menggerak Jadi, hanya mengenai hal-hal di mana seseorang mencoba menimbulkan niat jahat pada orang lain, tetapi tanpa hasil. Pasal itu tidak berlaku dalam hal ini sebab di sini pembujuk berhasil menimbulkan niat jahat pada yang dibujuk.

Hoge Raad: Pendapat pengadilan tinggi adalah benar bahwa Pasal 163 bis KUHP juga berlaku jika pembujukan berhasil menggerakkan yang dibujuk untuk melakukan kejahatan, asal saja tidak diikuti oleh kejahatannya atau percobaan yang dapat dipidana. Di satu pihak, ketentuan itu tidak mensyaratkan bahwa orang lain benar-benar tergerak, tetapi di pihak lain mencoba menggerakkan orang lain supaya melakukan kejahatan tidak kehilangan sifat melawan hukumnya jika orang lain itu tergerak. Karena tergeraknya orang itu, percobaannya berakhir, tidak terhapus. Jadi, Pasal 163 bis KUHP jelas menentukan di mana akhirnya dari dapat dipidananya mencoba menggerakkan, yaitu diikutinya oleh kejahatan atau percobaan yang dapat dipidana. Dalam hal ini dapat dipidananya perbuatan yang telah dilakukan diatur oleh pasal-pasal lain, yaitu oleh Pasal 55 dan seterusnya KUHP (alternatif). Komentar: Pasal 163 bis KUHP berisi hal-hal yang menarik. Akan tetapi, perkara ini di mana Hoge Raad untuk pertama kali dimintai pendapatnya mengenai ketentuan tersebut, adalah sepee saja. Pasal tersebut justru disiapkan untuk mengkriminalisasikan, tidak hanya pembujukan yang gagal, tetapi juga pembujukan yang tanpa akibat (dari M.P. Vrij).

KASUS RACUN POTAS (ZURINGZOUT-ARREST) HR 15-6-1965

"Mencoba menggerakkan" dalam Pasal 163 bis KUHP harus diartikan sebagai membujuk supaya orang lain berniat melakukan kejahatan. Duduk Perkara Dua warga Kota Arnhem, seorang pria dan seorang wanita sedang dilanda asmara. Si pria berkeyakinan bahwa untuk kebahagiaan mereka berua istrinya juga perlu disingkirkan. Untuk karya itu, ia minta partisipasi dari putra pacarnya. Si putra menolak meskipun ditawari sejumlah uang vang menggiurkan oleh calon ayah tirinya. Kemudian, ia meminta bantuan pacarnya untuk membeli raun. Si pacar pulang dari pasar sambil membawa satu dus bergambar tengkorak yang berisi racun potas dalam tas belanjaannya. Pembunuhan berencana itu tidak dilangsungkan sehingga belum ada percobaan yang dapat dipidana. Untuk dapat menuntut si pacar karena bantuannya yang tidak patut digunakan Pasal 163 bis KUHP. Pengadilan negeri dan pengadilan tinggi di Belanda membebaskan dia karena menganggap tuduhan yang berisi bahwa terdakwa dengan sengaja menimbulkan niat jahat pada si wanita untuk melakukan kejahatan, tidak terbukti.

Jaksa tinggi naik kasasi. Dia bertanya kepada Hoge Raad, apa- kah mencoba menggerakkan dalam Pasal 163 bis KUHP harus diartikan sempit dan hanya meliputi membujuk secara murni, seperti pendapat pengadilan tinggi atau juga berarti melangkah lebih lanjut, yaitu mengarahkan dalam saluran konkret suatu rencana yang sudah ada pada pembuat, tetapi yang akhirnya tidak dilaksanakan? Meskipun rencana untuk membunuh istrinya sudah ada pada si pria, tetapi terdakwa memberikan kemungkinan untuk merealisasikan kejahatan yang direncanakan. Karena Pasal 163 bis KUHP tidak termasuk dalam bab tentang penyertaan melakukan perbuatan pidana, tetapi dalam bab tentang kejahatan terhadap ketertiban umum, agaknya pembuat undang-undang sengaja tidak menggunakan kata membujuk sehingga dipertanyakan apakah "mencoba menggerakkan" harus memenuhi persyaratan yang sama seperti "membujuk". Hoge Raad: Pertanyaan yang harus dijawab adalah apakah "mencoba menggerakkan" dalam Pasal 163 bis KUHP juga bisa terjadi kalau orang yang dicoba digerakkan sudah mempunyai niat untuk melakukan kejahatan itu atau apakah mencoba menggerakkan hanya bisa dilakukan terhadap orang yang velum mempunyai niat itu. Niat pada orang ini baru ditimbulkan oleh pemdat tersebut sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 163 bis KUHP, telapi tidak diikuti oleh kejahatan atau percobaan yang dapat dipidana. memori penjelasan menyebutkan "membujuk orang untuk melakukan ke jahatan, padahal orang itu semula belum mempunyai niat untuk berbuat itu adalah demikian seriusnya sehingga hakim pidana tidak boleh tinggal diam". Dikatakan juga tentang "sifat patut dipidana dari perbuatan rayuan". Memori jawaban menggunakan istilah "kejahatan yang dibujukkan". Peristilahan tersebut menunjukkan bahwa "mencoba menggerakkan" dalam Pasal 163 bis KUHP berarti menggerakkan seseorang yang karena sarana tersebut dalam pasal itu menjadi tergerak dan tidak berarti lain daripada itu. Oleh karena itu, mencoba menggerakkan harus diartikan sebagai membujuk supaya niat untuk melakukan kejahatan timbul pada orang lain dan kesengajaan dari pembuat tersebut dalam Pasal 163 bis KUHP harus teruju pada itu.

Dalam Putusan Gudang Umbi Bunga, Hoge Raad menetapkan bahwa pada pembujukan tanpa akibat, mencoba menggerakkan telah selesai. Pihak ketiga yang mencoba memungkinkan atau memudahkan pelaksanaan dari niat tidak lagi mencoba menggerak- kan dalam arti Pasal 163 bis KUHP. Interpretasi ini tidak bertentangan de- ngan nalar. "Pembantuan gagal" patut dipidana, tetapi pembujukan gagal atau pembujukan tanpa akibat lebih patut untuk dipidana. Masih tersisa pertanyaan, apakah orang lain itu memang sudah mempunyai niat atau hanya suatu keinginan yang mengarah ke kejahatan. Dalam putusan ini (dari W. Pompe, catatan di bawah putusan). niat, ternyata dari percobaan yang lebih dahulu untuk menyuap si putra

F. CONTOH KASUS

1. Perkara I Ko Heise adalah pemilik pabrik tekstil. Karena persaingan yang tidak ter- duga dari luar negeri, pabrik mengalami kemunduran. Pada suatu hari Ko berbincang-bincang dengan Ad, adiknya, yang mengetahui tentang keadaan yang rawan dari pabrik itu. Ad bertanya apakah Ko mau keluar dari kesulitan. Setelah Ko mengiyakan itu, Ad berkata, "Seyogianya minta bantuan si jago merah." Ad juga mempunyai kenalan yang dengan imbalan mau membakar pabrik itu. Beberapa hari.kemudian kedua saudara itu bertemu lagi dan Ad bercerita bahwa dia sudah menemukan calon "tukang bakar" yang hendak mengadakan penelitian lapangan terlebih dahulu. Ini dilakukan seminggu kemudian. Beberapa hari setelah survei dari "tukang bakar" alias Velpon selesai, Ad memin...

delam proyek pembakaran dan f.10.000 untuk dia sendiri. Beberapa hari kemudian, Ko memenuhi semua permintaan adiknya. Pada hari operasi Dak Neties, membeberkan rencana mereka dan meminta beberapa jerigen berisi bensin dengan pembayaran. Pak Netjes menolak karena tidak ingin namanya trcemar. Kemudian, Velpon dan Pritt berusaha sendiri. Akhirnya, dengan membawa jerigen bensin mereka sampai di pabrik. Velpon membuka pintu belakang dengan kunci yang dia terima dari Ad. Sesuai rencana operasi, Pritt menggelar gulungan tekstil dan menjajarkan kotak- kotak tekstil dengan bensin. "Heran bin ajaib", ketika saat besar tiba, ternyata kedua oknum tersebut tidak membawa korek api. Keduanya mengira bahwa yang lain akan membawanya. Waktu untuk memperbaiki ke- kurangan...

Dia menyiapkan sarana penjagaan. Pada tanggal 10 Desember, yaitu hari ulang tahun ibunya, dia selalu setia mengunjungi rumah orang tuanya dan meninggalkan rumahnya dalam keadaan kosong. Pada hari yang berSejarah itu, dia minta bantuan seorang angota polisi, P. van Wingerden, untuk berjaga malam di rumahnya karena ada kemungkinan besar akan teljadi pencurian. Benar juga, Ketika Barend berada di rumah orang tuanya dan sedang mengucapkan selamat kepada ibunya, datanglah ke raman Barend seorang tamu tanpa diundang, Vledder namanya, melalui pintu belakang yang tidak terkunci. Vledder mengira bahwa rumah itu kosong, tetapi begitu ia memasuki kamar tidur langsung disambut van Wingerden. Ternyata, Vledder belum mengambil apa-apa.

3. Perkara III

Dua orang berniat mencuri sepeda. Yang satu menutupi roda belakang, yang lain mengambil sebuah tang dari sakunya untuk memotong kunci rantai pada sepeda itu. Pemotongan belum terjadi karena polisi datang dan menangkap mereka.

KEPELAKUAN DAN PENYERTAAN

  • PENYERTAAN

Sifat ini yang pada hakikatnya melanggar Pasal 1 ayat (1) KUHP terdapat, baik pada percobaan maupun pada penyertaan. Oleh sebab itu, baik percobaan maupun penyertaan oleh Pompe dipandang sebagai "bentuk-bentuk pe- nampilan" perbuatan pidana tersebut. Namun, perbedaan di antara kedua- nya terletak dalam hal-hal yang berikut: Orang dapat berbicara tentang percobaan apabila seseorang ter- henti dalam melakukan suatu kejahatan. Meskipun demikian, Pasal 53 KUHP menentukan dalam keadaan-keadaan tersebut, ia tetap dapat dijatuhi pidana. Dengan kata lain, Pasal 53 KUHP menge- apa yang telah dilakukannya itu sebagai perbuatan pidana yang berdiri sendiri, semacam bentuk penampilan kejahatan yang dimaksud. Dari sini dapat disimpulkan bahwa Pasal 53 KUHP per- tama-tama memperluas jumlah perbuatan pidana. sahkan Orang dapat berbicara tentang penyertaan: 1. Apabila selain pembuat suatu perbuatan pidana lengkap, ada lagi yang ikut bermain. Yang terakhir ini terlibat dalam ter- jadinya perbuatan pidana sedemikian intensifnya serta telah menduduki tempat yang sedemikian penting dalam rangkai- an sebab akibat yang menuju delik tersebut sehingga dia dipidana sebagai pembuat atau pembantu meskipun

dia sendiri hanya melaksanakan sebagian dari perumusan delik. Apabila beberapa orang dalam kaitan tertentu, di mana yang satu dengan yang lain telah sampai pada pelaksanaan satu perumusan delik yang lengkap, sedangkan masing-masing dari mereka itu kurang atau lebih hanya melaksanakan sebagian dari delik tersebut. Dalam hal yang terakhir itu, kita memang 2. hanya berurusan dengan mereka yang terlibat secara sep diri-sendiri dan dengan pelaksanaan sebagian-sebagian saja dari isi delik yang bersangkutan. Akan tetapi, bagaimanapun juga, sekali delik itu terlaksana (sekalipun ada beberapa orang yang masing-masing telah memberikan sumbangannya), secara objektif kita dihadapkan paling sedikit pada satu delik yang sudah terlaksana, Ini berarti bahwa dalam hal penyertaan lain dari yang telah kita lihat pada percobaan-terutama bukan perbuatan pidanalah yang mengalami perluasan, melainkan jumlah orang yang dapat dipidana. Satu perbuatan pidana yang sudah terlaksana (misalnya, pencurian) dapat mengakibatkan penuntut umum mengajukan lebih dari satu dakwaan terhadap beberapa orang. Sebagai contoh: Terhadap si A berdasarkan Pasal 362 KUHP dan ter- hadap si B (pembantu ikut serta atau pembantu pem- buat) Pasal 362 jo. Pasal 55 KUHP atau Pasal 56 KUHP atau Terhadap si A dan si B (para pembantu ikut serta) Pasal 362 jo. Pasal 55 KUHP.

  • PERIHAL PEMBUAT DAN PEMBANTU

Berdasarkan Pasal 55 KUHP dipidana sebagai para pembuat suatu per- buatan pidana (yaitu kejahatan dan pelanggaran): 1. mereka yang melakukan perbuatan pidana; 2. mereka yang menyuruh melakukan perbuatan pidana;. mereka yang turut serta melakukan perbuatan 3. 4. mereka yang membujuk supaya melakukan perbuatan pidana. jahatan (jadi, bukan pelanggaran): Pasal 56 KUHP menetapkan sebagai pembantu pelaku pada suatu ke- 1. Mereka yang dengan sengaja memberikan bantuan pada waktu ke- jahatan dilakukan dan Mereka yang dengan sengaja memberikan kesempatan, sarana 2. atau keterangan untuk melakukan kejahatan. mana perbuatan si pembantu pembuat mendahului perbuatan si pembuat. Dapat juga dikatakan seperti ini, "butir 1 mencakup pembantuan pada; butir 2 mencakup pembantuan supaya (untuk, tof), keduanya bersama-sama menjadi pembantuan dalam. Apabila Pasal 55 KUHP berbicara tentang para pembuat, sedangkan Pasal 56 KUHP semata-mata berbicara tentang pembantu pembuat. Lebih- lebih karena dalam Pasal 57 KUHP disebutkan bahwa pidana maksi- mum kejahatan itu dikurangi sepertiganya bagi si pembantu pembuat se- hingga orang harus percaya bahwa si pembuat undang-undang secara tegas hendak memisahkan si pembantu pembuat dari si pembuat sendiri. Spesimina genus pembuat ialah: Artinya, secara lengkap memenuhi semua unsur delik,

(jadi, "me- 1. Melakukan lakukan" itu suatu bentuk tunggal dari pengertian "berbuat" yang aduk digunakan sebagai identik).. jauh lebih luas artinya dan yang dalam bahasa lisan secara campur 2. Menyuruh Melakukan Artinya, menggerakkan orang lain, yang (dengan alasan apa pun). udak dapat dikenai pidana melakukan suatu perbuatan pidana. 3. Turut (serta) Melakukan Artinya, bersepakat dengan orang lain membuat rencana untuk melakukan suatu perbuatan pidana dan secara bersama-sama melak- sanakannya (kerja sama). 4. Membujuk Artinya, dengan bantuan salah satu upaya dari yang secara limilatif disebut dalam Pasal 55 ayat (2) KUHP, yang biasa disebut sarana-sarana pembujukan, membujuk orang lain yang memang dapat dipidana karena itu, untuk melakukan suatu perbuatan pidana. Di samping keempat macam pembuat yang disebut dalam Pasal 55 KUHP ini, berdiri pembantu pembuat dalam Pasal 56 KUHP. Kedua kategori itu adalah pembuat dan pembantu membentuk penyertaan. Di sini harus di- kecualikan hal "melakukan", satu-satunya bentuk pembuat yang tidak ter- masuk penyertaan. Si pembantu pembuat memang peserta, tetapi bukan pembuat. Secara ilmu pasti dapat dirumuskan bahwa penyertaan pembuat (kecuali hal melakukan) + pembantu. Pertimbangan bahwa pembantu pembuat itu bukan pembuat dalam suatu perbuatan pidana, yaitu bahwa peranannya jauh lebih santun dibanding-

Oleh karena itu, pembantu itu secara singkat dapat didefinisikan sebagai kalau diminta, memberikan bantuan kepada atau dalam suatu bentuk tertentu yang ditetapkan oleh undang-undang, supaya orang lain dapat berbuat kejahatan. Dalam hal ini, si pembantu pembuat berdiri sendiri, yaitu semua peserta lainnya. Jadi, yang tersebut pada nomor 2, 3, dan 4 telah mengambil prakarsa sendiri.

PENIPUAN TENTANG MENGIMPOR BARANG

Tindak pidana ini oleh pasal 392 KUHP dirumuskan sebagai: memasukkan ke dalam wilayah Indonesia dengan tidak ternyata akan mengeluarkan lagi, atau menjual, menawarkan, menyerahkan, membagikan menyediakan untuk dijual atau dibagikan, barang yang diketahuinya atau patut dapat disangkanya, bahwa pada barang itu atau pada bungkusannya dilekatkan nama atau cap palsu atau nama atau cap perusahaan lain Penipuan tentang mengimpor barang daripada yang sebenarnya. Tindak pidana ini tampak diancam dengan hukuman agak ringan voiu banya dengan maksimum hukuman penjara empat bulan dua minggu atau denda enam ratus rupiah. Dalam hal ada recidive, maksimum hukuman ini oleh ayat 2 dinaikkan menjadi hukuman penjara sembilan bulan. Pasal 393bis KUHP memuat suatu tindak pidana yang dilakukan oleh seorang pengacara dalam suatu perkara perdata tertentu, yaitu perkara perceraian perkawinan (echtscheiding) atau pembebasan suami dan istri dari kewajiban tinggal bersama (scheiding van tafel en bed), atau perkara

PENIPUAN OLEH SEORANG PENGACARA

pernyataan pailit. Tindak pidana ini berupa suatu perbuatan tertentu dalam perkara tersebut, yaitu memuat dalam surat gugatnya suatu alamat tempat tinggal dari tergugat atau yang dimintakan pailit, sedang ia tahu atau patut dapat mengira bahwa alamat itu tidak benar. Maksimum hukuman adalah hu- kuman penjara satu tahun. Oleh ayat 2 diancam dengan hukuman yang sama seorang suami atau istri sebagai penggugat atau seorang piutang dari orang yang dimintakan pailit, apabila mereka memberikan bahan-bahan palsu kepada pengacaranya tentang alamat. Pasal ini dengan Staatsblad 1949-258 oleh Pemerintah Federal Belanda diubah sedemikian rupa bahwa yang dikenai hukuman tidak hanya pengacara seorang penggugat atau seorang piutang, tetapi penggugat atau si berpiutang itu sendiri yang memasukkan alamat palsu itu ke dalam surat gugat atau surat permohonan pailit.

C. PEMBUJUKAN (UITLOKKING)

Si pembujuk (4) berusaha mendapat jalan masuk pada orang lain bagi rencana-rencananya sendiri supaya orang lain ini melakukan suatu perbuatan pidana. Dalam hal ini, si pembujuk menggunakan salah satu sarana-sarana pembujukan (yaitu pemberian-pemberian, janji-janji, penyalahgunaan kekuasaan, kekerasan, ancaman, tipu daya, kesempatan, sarana-sarana, atau keterangan-keterangan).

Memang, mungkin sekali bahwa suatu "delik kualitas" seperti itu terjadi oleh bujukan seseorang di mana dirinya sendiri tidak memiliki kualitas yang diperlukan. Sebagai contoh, seorang bukan pejabat, misalnya, istri seorang pejabat membujuk supaya suaminya melakukan delik jabatan dalam Pasal 415 KUHP (penggelapan oleh seorang pejabat). Unsur pe- jabat tersebut oleh si istri sendiri tak mungkin dipenuhi, tetapi ia dapat dipidana sebagai pembujuk delik yang bersangkutan. Gejala ini (unsur-unsur yang dipertanggungjawabkan kepada orang lain, selain dia yang telah memenuhinya), juga dapat dirumuskan sebagai penyebaran unsur-unsur atas beberapa orang pembuat. "Dalam menggunakan aturan-aturan pidana, keadaan-keadaan pribadi seseorang yang menghapuskan, mengurangi, atau menambah pengenaan pidana, hanya diperhitungkan terhadap pembuat atau pembantu yang bersangkutan itu sendiri. HR mendasarkan hal seperti itu atas suatu penalaran a contrario dari isi Pasal 58 KUHP, yang berbunyi: Argumen penting lain juga adalah terdapat dalam Pasal 343 KUHP vang menentukan bahwa kejahatan-kejahatan yang dirumuskan dalam Pasal 341 dan Pasal 342 KUHP dianggap seperti pembunuhan atau pembunuh berencana untuk orang lain yang turut serta melakukannya.

Pasal 341 KUHP: "Seorang ibu yang karena(takut akan ketahuan melahirkan anak pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian dengan seng membunuh anak sendiri dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun." merampas nyawa anaknya, diancam karena Pasal 342 KUHP: "Seorang ibu yang untuk melaksanakan niat yang ditentukan karena akan takut ketahuan bahwa ia akan melahirkan anak pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian dengan merampas nyawa anaknya, diancam karena membunuh anak sendiri dengan rencana dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun." Pasal 343 KUHP bertitik tolak dari kemungkinan bahwa seseorang ikut mengambil bagian dalam salah satu dari kejahatan-kejahatan tersebut, tanpa menjadi ibu sendiri, lalu bermaksud meniadakan konsekuensi-konsekuensi yang menguntungkan bagi orang yang ikut meng- ambil bagian di dalamnya. Hal itu dapat dimengerti karena perihal pembujukan dan pembantu memang dinyatakan secara tegas pada Pasal 55 KUHP, yaitu "dengan sengaja membujuk". Akan tetapi, menurut pendapat umum, untuk bentuk- bentuk penyertaan lainnya secara implisit, selalu dipersyaratkan suatu yang jika tidak ada, secara hukum pidana orang itu tidak mungkin enjadi peserta. Selain itu, kesengajaan tersebut tidak hanya mencakup pengajaan sendiri karena dalam setiap peserta dianggap ada kejiwaan.

Gejala tersebarnya unsur-unsur yang pada dasarnya baru mempunyai peranan dalam hal penyertaan yang dapat dipidana, tidak mungkin mencakup juga unsur-unsur batin yang dari dirinya sendiri justru merupakan persyaratan hakiki untuk penyertaan bagi setiap pelaku, baik pelakunya sendiri maupun peserta, mempunyai sikap pribadi kejiwaan sendiri yang oleh karena itu tidak cocok untuk disebarkan. Sikap kejiwaan tersebut mengakibatkan dia saja yang dapat dikenakan pidana, bukan orang lain.

D. MENYURUH MELAKUKAN (DOEN PLEGEN)

Tidak dapat dipidananya itu mungkin timbul dari, ketidakmampuan bertanggung jawab sebagaimana Pasal 44 KUHP atau dari ketiadaan kesengajaan yang dipersyaratkan untuk si perantara. Ciri menyuruh melakukan asli, yakni mem- pergunakan orang lain (yang tidak mampu bertanggung jawab atau yang tidak tahu) seakan-akan sebagai alat tak berkehendak di tangannya sen- diri untuk mencapai tujuan-tujuan jahat. Dalam putusan Terp (HR 19-12-1910 W.) Hoge Raad memutuskan bahwa dalam kasus pelaksana sendiri tidak dikenakan pidana karena tidak memiliki kualitas yang dipersyaratkan untuk delik itu-umpamanya menjadi pegawai, pemilik, dan sebagainya tetapi tetap dimungkinkan adanya menyuruh melakukan, apa pun tujuan pembuat dalam delik tersebut. Di Leeuweradeel berdasarkan peraturan lokal, seorang pemilik atau pemakai "terp" dilarang untuk menggali terp tersebut. Dalam kasus ini si pemilik tanah menyuruh orang lain untuk menggali. Pelaksana-pelaksana ini jadi tidak memiliki kualitas yang dipersyaratkan dalam perumusan delik vang bersangkutan, yaitu kualitas menjadi pemilik atau pemakai, tetapi di lain pihak mereka sama sekali bukan "alat tak berkehendak". Walaupun

RANGKUMAN ISI (BUKU HUKUM PIDANA) OLEH (Prof. Dr.D.Schaffmeister, Prof. Dr. N. Keijzein, danMr. E.PH. Sutorius)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun