Masalah kita bukan di kaki pemain, tapi di kepala para pengelola.
Kita menganggap sepak bola sama seperti proyek infrastruktur: cepat jadi, cepat diresmikan, cepat masuk berita. Padahal sepak bola itu kerja lintas generasi.
Lihat Jepang. Mereka butuh lebih dari 30 tahun membangun sistem setelah kegagalan Olimpiade 1968. Mereka kirim pelatih ke Eropa, bentuk akademi, ubah kurikulum pendidikan olahraga, baru pada 1998 bisa tampil di Piala Dunia untuk pertama kalinya. Sekarang, mereka bukan cuma peserta --- mereka kompetitor sejati.
Kita sering lupa, Jepang dulu juga pernah seperti kita: kalah melulu, diejek tetangga, tidak punya stadion bagus. Tapi mereka tidak cari jalan pintas. Tidak pakai pola pikir rujak. Mereka menanam dari nol.
Sepak Bola Kita Masih Sibuk dengan Drama
Lihat liga kita. Masih sering ribut soal jadwal, lisensi stadion, suporter rusuh, gaji pemain terlambat. Padahal di balik itu ada ribuan anak muda yang bermimpi jadi pemain profesional tapi tak tahu jalannya ke mana.
Media sosial pun ikut memperkeruh. Setiap kali pelatih nasional kalah satu pertandingan, langsung banjir komentar: "Ganti pelatih!" atau "Kenapa mainin dia, bukan yang itu?"
Padahal pelatih bukan tukang sihir. Ia tidak bisa mengubah tim jadi kuat hanya dengan strategi di papan tulis. Ia butuh fondasi pemain yang matang dari bawah.
Kalau pondasinya rapuh, sehebat apa pun pelatihnya, hasilnya tetap goyah.
Kita seolah lupa bahwa kemenangan tidak dibangun di stadion, tapi di lapangan latihan yang sepi.
Sepak Bola Sebagai Cermin Bangsa
Sepak bola, dalam banyak hal, adalah cermin karakter bangsa.
Kalau kita ingin tahu bagaimana pola pikir masyarakatnya, lihat saja bagaimana mereka mengelola sepak bola.
Bangsa yang sabar membangun sistem, seperti Jerman atau Jepang, akan punya tim nasional yang stabil.
Bangsa yang hanya ingin hasil cepat dan suka menyalahkan, akan punya tim yang emosional dan tidak konsisten.
Kita masih sering mencari kambing hitam setiap kali gagal: pelatih salah, federasi salah, wasit curang, bahkan cuaca disalahkan.
Padahal yang salah mungkin kita sendiri, karena tidak pernah sabar menunggu panen.