Ketika mendengar kalimat "Jika Indonesia lolos Piala Dunia 2026, aku akan...", sebagian orang mungkin akan menjawab spontan: pesta di jalan, masak tumpeng, sujud syukur di stadion, atau bahkan potong kambing guling di alun-alun.
Aku sendiri mungkin hanya akan diam. Karena buatku, kalau Indonesia sampai benar-benar lolos ke Piala Dunia, itu bukan hasil keajaiban semalam. Itu buah dari sesuatu yang selama ini tidak kita punya: proses.
Sayangnya, di negeri ini banyak orang ingin hasil cepat. Semua mau enak tanpa mau repot. Dalam hal sepak bola pun begitu. Kita sering memperlakukan sepak bola seperti mi instan --- tinggal seduh tiga menit, tambahkan bumbu, lalu siap disantap.
Atau kalau tidak, seperti rujak --- cari buah-buahan terbaik, campur seenaknya, kasih sambal, aduk, lalu jadi makanan lezat instan.
Padahal sepak bola bukan mi instan. Juga bukan rujak.
Sepak bola itu seperti menanam padi. Kau tak bisa menanam hari ini dan berharap panen besok. Butuh waktu, tanah subur, air cukup, dan perawatan terus-menerus.
Mental Instan dan Pola Pikir Rujak
Mari jujur. Kita ini punya mental cepat puas dan cepat kecewa. Ketika tim nasional menang dua pertandingan, semua orang jadi analis sepak bola, memuja pemain muda, memuji pelatih. Tapi ketika kalah sekali, semua langsung jadi hakim, mencaci, menyalahkan federasi, wasit, bahkan rumput stadion.
Kita tidak sabar dengan proses. Kita ingin tim nasional langsung juara tanpa mau membangun pondasinya dari bawah: dari sekolah, akademi, hingga klub.
Kita ingin hasil tanpa sistem.
Inilah yang kusebut pola pikir rujak.
Kita suka memetik yang terbaik dari mana-mana tanpa mau menanamnya sendiri.
Lihat pemain bagus di luar negeri, kita panggil. Ada pemain keturunan sedikit berdarah Indonesia, langsung digodok naturalisasi. Seolah-olah dengan menambah dua atau tiga nama dari luar, semua masalah selesai.
Seperti orang bikin rujak: cari mangga muda terbaik, nanas paling segar, kedondong yang renyah, lalu disambal biar sedap. Tapi kita lupa, rujak tidak akan pernah menumbuhkan buah baru. Ia cuma menyatukan hasil, bukan menanam bibit.
Ketika Sepak Bola Diperlakukan Seperti Produk, Bukan Proses
Indonesia bukan kekurangan bakat. Kita punya jutaan anak yang bermain bola di gang sempit, lapangan becek, atau pinggir sungai. Tapi sistem pembinaannya kacau. Banyak pemain muda berhenti di usia 17 karena tak ada jalur lanjut. Akademi hanya ada di kota besar, dan liga usia muda sering tidak jalan.
Masalah kita bukan di kaki pemain, tapi di kepala para pengelola.
Kita menganggap sepak bola sama seperti proyek infrastruktur: cepat jadi, cepat diresmikan, cepat masuk berita. Padahal sepak bola itu kerja lintas generasi.
Lihat Jepang. Mereka butuh lebih dari 30 tahun membangun sistem setelah kegagalan Olimpiade 1968. Mereka kirim pelatih ke Eropa, bentuk akademi, ubah kurikulum pendidikan olahraga, baru pada 1998 bisa tampil di Piala Dunia untuk pertama kalinya. Sekarang, mereka bukan cuma peserta --- mereka kompetitor sejati.
Kita sering lupa, Jepang dulu juga pernah seperti kita: kalah melulu, diejek tetangga, tidak punya stadion bagus. Tapi mereka tidak cari jalan pintas. Tidak pakai pola pikir rujak. Mereka menanam dari nol.
Sepak Bola Kita Masih Sibuk dengan Drama
Lihat liga kita. Masih sering ribut soal jadwal, lisensi stadion, suporter rusuh, gaji pemain terlambat. Padahal di balik itu ada ribuan anak muda yang bermimpi jadi pemain profesional tapi tak tahu jalannya ke mana.
Media sosial pun ikut memperkeruh. Setiap kali pelatih nasional kalah satu pertandingan, langsung banjir komentar: "Ganti pelatih!" atau "Kenapa mainin dia, bukan yang itu?"
Padahal pelatih bukan tukang sihir. Ia tidak bisa mengubah tim jadi kuat hanya dengan strategi di papan tulis. Ia butuh fondasi pemain yang matang dari bawah.
Kalau pondasinya rapuh, sehebat apa pun pelatihnya, hasilnya tetap goyah.
Kita seolah lupa bahwa kemenangan tidak dibangun di stadion, tapi di lapangan latihan yang sepi.
Sepak Bola Sebagai Cermin Bangsa
Sepak bola, dalam banyak hal, adalah cermin karakter bangsa.
Kalau kita ingin tahu bagaimana pola pikir masyarakatnya, lihat saja bagaimana mereka mengelola sepak bola.
Bangsa yang sabar membangun sistem, seperti Jerman atau Jepang, akan punya tim nasional yang stabil.
Bangsa yang hanya ingin hasil cepat dan suka menyalahkan, akan punya tim yang emosional dan tidak konsisten.
Kita masih sering mencari kambing hitam setiap kali gagal: pelatih salah, federasi salah, wasit curang, bahkan cuaca disalahkan.
Padahal yang salah mungkin kita sendiri, karena tidak pernah sabar menunggu panen.
Sepak bola tidak bisa dibangun dari ego, apalagi emosi. Ia hanya tumbuh dari disiplin, kesabaran, dan keberlanjutan.
Mengubah Cara Pandang: Dari Penonton Jadi Pelaku
Kalau Indonesia benar-benar ingin lolos ke Piala Dunia, kita harus berhenti jadi bangsa penonton.
Kita tidak bisa hanya memuja dari layar televisi sambil mengkritik di media sosial. Kita harus terlibat --- bukan dengan komentar, tapi dengan tindakan nyata.
Orang tua bisa mulai dari rumah: biarkan anak bermain bola di luar. Jangan larang karena takut kotor. Sekolah bisa membuka ruang olahraga lebih luas. Pemerintah daerah bisa memfasilitasi lapangan yang layak, bukan hanya proyek taman beton.
Federasi harus berani membangun sistem pembinaan jangka panjang, bukan program musiman yang habis di tahun anggaran. Klub harus serius menjalankan akademi, bukan cuma mengandalkan pemain impor atau naturalisasi.
Dan media, seharusnya tidak hanya memberitakan skor, tapi juga menyoroti proses pembinaan. Karena publik hanya akan belajar menghargai proses kalau proses itu terlihat.
Jika Indonesia Lolos Piala Dunia 2026
Kalau Indonesia benar-benar lolos ke Piala Dunia 2026, aku tidak akan euforia berlebihan. Aku hanya akan berdiri diam, mungkin meneteskan air mata, sambil berkata dalam hati:
Akhirnya, kita mulai menanam dengan benar.
Aku tidak akan menyebutnya keajaiban, karena lolos ke Piala Dunia bukan soal nasib baik, tapi soal kerja keras kolektif. Itu artinya kita sudah berani berubah --- meninggalkan pola pikir rujak dan mi instan, dan mulai berpikir seperti petani yang sabar menunggu padi menguning.
Mungkin itu juga akan menjadi titik balik bangsa ini: bahwa kita bisa menjadi besar bukan karena keberuntungan, tapi karena konsistensi dan disiplin.
Dan ketika bendera merah putih berkibar di panggung dunia, aku ingin semua orang sadar bahwa di balik itu ada ribuan pelatih kecil, akademi di pelosok, anak-anak kampung yang latihan dengan bola plastik, dan para orang tua yang setia mengantar anaknya ke lapangan tiap sore.
Mereka inilah akar sepak bola Indonesia yang sesungguhnya.
Penutup: Dari Rujak ke Rencana
Sepak bola bukan mi instan yang bisa diseduh tiga menit, bukan rujak yang tinggal campur buah dan sambal lalu jadi lezat.
Sepak bola adalah proses panjang yang kadang pahit di awal, tapi manis di akhir. Ia mengajarkan kesabaran, kerja tim, dan kejujuran --- tiga hal yang sering hilang dari karakter bangsa ini.
Kita harus berhenti berpikir bahwa prestasi bisa dibeli, disulap, atau dicampur seenaknya.
Kita perlu membangun rencana, bukan racikan.
Karena bangsa besar tidak lahir dari hasil instan, tapi dari proses panjang yang tidak lelah diperjuangkan.
Dan ketika hari itu tiba --- ketika Indonesia benar-benar melangkah ke Piala Dunia --- aku tidak akan berpesta, tidak akan euforia. Aku hanya akan berkata pelan:
"Akhirnya, kita berhenti bikin rujak. Kita mulai menanam."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI