Rasanya seperti dihantui oleh sesuatu yang kecil tapi licik.
Namun karena tubuhku sudah terbiasa, aku tidak pernah benar-benar memeriksakan diri. 16 tahun berlalu, dan aku bahkan sudah lupa kapan terakhir kali benar-benar merasa nyaman di rahang bawah.
Pemeriksaan ke Dokter Gigi: Antara Takut dan Takut Sekali
Suatu hari, aku memutuskan cukup sudah. Aku pergi ke dokter gigi di rumah sakit. Setelah diperiksa dan dilakukan foto panoramik, dokter menunjukkan hasilnya di layar komputer. Ia menunjuk dua titik di sisi kanan dan kiri bawah, lalu berkata dengan nada tenang tapi tegas:
“Ini geraham bungsu Anda tumbuh miring ke depan. Disebut impaksi. Sudah menekan gigi di depannya. Harus dioperasi.”
Aku menatap layar, melihat dua gigi yang tampak berbaring malas di bawah gigi lain. Seolah dua penghuni liar yang salah arah tumbuh di rahangku.
Kata “operasi” membuat tubuhku langsung tegang. Dokter menjelaskan prosedurnya: gusi akan disayat, sedikit tulang akan dibor agar gigi bisa dikeluarkan, lalu dijahit. Durasinya sekitar satu jam, dengan bius lokal.
Bayangan itu saja sudah cukup membuatku ingin mundur. Aku tidak pernah tahan dengan tindakan medis yang melibatkan darah dan pisau bedah. Aku mendengarkan dengan sopan, mengangguk, lalu menjawab pendek:
“Nanti saya pikir-pikir dulu, Dok.”
Dan benar saja. Aku tidak pernah kembali.
Hidup Bersama Nyeri yang Tak Dianggap Serius