Namun yang paling menusuk bukanlah jeruji, bukan pula dingin lantai semen. Yang paling menusuk adalah perlakuan petugas yang seakan menambah luka lama.
"Buruh tua! Kerjamu cuma bikin rusuh!" bentak salah seorang sipir, menendang kaleng makanannya hingga isinya tumpah ke lantai. Ia hanya diam, menatap bubur encer yang sekarang berbaur dengan debu.
Pukulan rotan kadang datang tiba-tiba, hanya karena ia lambat bergerak. Caci maki menjadi santapan sehari-hari. Di penjara itu, harga dirinya dilucuti sedikit demi sedikit. Tak ada yang peduli pada air mata lelaki tua, tak ada yang peduli bahwa ia hanya korban dari sebuah sistem yang menggilas.
Malam hari ia sering terjaga. Ia menatap langit-langit kusam dengan mata merah. Dari matanya mengalir cairan hangat---air mata bercampur luka, bercampur marah. "Sedaunau nanah dari matamu tak mampu jatuhkan hati mereka," begitu batinnya berbisik. Ia sadar, tangisan tak berarti apa-apa di sini.
Namun semakin ia mencoba tabah, semakin ia merasa ada hutan luka yang tumbuh di dalam jiwa. "Serimba luka," pikirnya, "yang tak seorang pun peduli."
Hari berganti, pekan berputar, bulan berjalan. Perlahan ia berubah. Jika dulu ia masih bisa menahan amarah dengan mengingat senyum anak dan istrinya, kini bayangan mereka pun terasa makin jauh. Dalam kesepian, pikiran gelap mulai akrab. "Hitam benak," katanya lirih. "Kini mulai isi hari-hariku."
Di jeruji pengap itu, ia mencoba tafakur. Ia mencoba melawan rasa putus asa, tapi jeritan batin kadang lebih kuat daripada doa. "Tuhan," rintihnya, "kenapa Engkau biarkan aku sampai ke sini?"
Namun jawaban tak pernah datang. Yang datang hanyalah teriakan sipir, deru langkah kasar, dan dinginnya rotan yang menghantam punggung.
Akhir yang Tak Berakhir
Ia tahu, suatu saat ia mungkin akan keluar dari jeruji ini. Tapi ia juga tahu, dirinya tak lagi sama. Hidupnya sudah diberi cap: kriminal. Dunia di luar mungkin tak akan menerima dengan tangan terbuka. Dan entah bagaimana anak-istrinya bertahan di rumah, dengan pesangon kecil yang dulu ia kantongi---yang kini tentu sudah habis.
Lelaki renta itu menutup mata. Nafasnya berat, dadanya naik-turun. Ada bara yang dulu pernah menyala, tapi kini hanya menyisakan arang. Namun arang itu tetap panas, tetap menyimpan jejak api yang pernah membakar.