Udara siang itu terasa menyengat, menusuk kepala seperti ribuan jarum yang ditancapkan tanpa ampun. Panas dari aspal jalan memantul ke wajah lelaki setengah baya yang duduk termangu di trotoar, seakan bumi ikut bersekongkol untuk menambah sesak napasnya. Keringatnya menetes deras, bukan hanya karena teriknya matahari, tetapi juga karena dada yang sesak oleh berita buruk yang baru saja ia terima.
Pabrik tempatnya bekerja selama lebih dari dua puluh tahun resmi menutup sebagian lini produksi. Dan ia, salah satu dari puluhan buruh tua yang dianggap tak lagi produktif, harus angkat kaki. Selembar kertas pemberitahuan di tangannya terasa lebih berat daripada karung beras lima puluh kilo yang dulu sering ia angkat di gudang. Pesangon yang dijanjikan tertera di angka yang menyakitkan---tak cukup untuk melunasi utang di warung, apalagi menghidupi anak-istri.
Di sekelilingnya, deru mesin pabrik masih terdengar. Ironis, suara itu dulu menjemukan, kini malah terasa seperti ejekan. "Kami masih berputar, kami masih berisik, tapi kau sudah tidak dibutuhkan," begitu kira-kira bisikan mesin-mesin itu di telinganya.
Ia menunduk. Dalam pikirannya muncul wajah istrinya yang sabar, yang selalu menyambutnya dengan senyum meski lauk di meja hanyalah ikan asin dan sambal. Ia juga teringat tawa kecil anak bungsunya yang baru masuk sekolah dasar. Tawa itu biasanya cukup untuk membuatnya bertahan, meski lelah dan luka menahun dari kerasnya hidup kerap menghantam. Tapi hari ini, semua tawa dan senyum itu terasa jauh. Seperti cahaya redup di ujung lorong gelap.
Ia mengepalkan tangan. Keras, begitu keras hingga urat-urat di pergelangan tangannya menegang. Ada bara yang menyala di dalam dirinya. Bara itu lama dipendam---selama bertahun-tahun ia menelan ketidakadilan, menahan perintah kasar mandor, memendam sakit hati karena gaji yang tak pernah cukup. Kini bara itu menemukan jalannya keluar.
"Cukup," gumamnya pelan, tapi lirih itu menggema di dadanya sendiri seperti gelegar.
Hari itu, amarahnya pecah. Gelap mata menguasai, logika runtuh. Entah siapa yang lebih dulu jadi sasaran---ada mandor yang ia dorong, ada meja kantor yang ia balikkan, bahkan ia mengangkat besi yang tergeletak dan melayangkannya. Jeritan pecah, orang-orang berlari, dan ia hanya bisa melihat warna merah di depan mata.
Tak lama, sirene meraung. Tangan-tangan kasar polisi menekannya ke tanah. Kepalan tangannya masih bergetar, tapi sudah tak berdaya melawan borgol besi yang dingin menggigit pergelangan. Ia ditarik, dibawa, dijebloskan. Semua secepat kilat.
Di Balik Jeruji
Hari-hari pertama di penjara terasa lebih panas daripada matahari terik di luar. Bau anyir keringat bercampur amis pesing memenuhi udara. Sel-sel sempit dijejali tubuh-tubuh lelah yang kehilangan martabat. Ia menjadi salah satunya, hanya nomor, hanya catatan di buku petugas.