Mohon tunggu...
Mbah Priyo
Mbah Priyo Mohon Tunggu... Engineer Kerasukan Filsafat

Priyono Mardisukismo - Seorang kakek yang suka menulis, karena menulis bukan sekadar hobi, melainkan vitamin untuk jiwa, olahraga untuk otak, dan terapi kewarasan paling murah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Maling Kondangan: Mencuri Baju Batik

21 Agustus 2025   21:00 Diperbarui: 21 Agustus 2025   09:13 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
mengejar pencuri - pngtree

Di sebuah kota yang tak pernah benar-benar tidur, dengan suara klakson yang bersahut-sahutan dan lampu jalanan yang menyala seakan tak pernah padam, hiduplah seorang pria bernama Riko. Ia dikenal dengan satu gelar sederhana tapi cukup menakutkan bagi para pedagang: pencuri kelas kakap. Namun, berbeda dari pencuri lain, Riko tak pernah meninggalkan jejak kekerasan. Ia licin, cepat, dan yang paling mengganggu: selalu berhasil kabur dengan senyum tipis di wajahnya.

Tapi pagi itu, misi Riko bukan seperti biasanya. Bukan untuk mengambil perhiasan, uang, atau barang elektronik mahal. Tidak. Kali ini targetnya... kebahagiaan sebuah kondangan.

Riko sudah mendengar kabar bahwa di sebuah gedung mewah di pusat kota akan digelar pesta pernikahan anak konglomerat terkenal. Undangan berlapis emas, dekorasi bunga impor, dan---yang paling penting---buffet makanan melimpah ruah. "Inilah waktunya aku berpesta," gumam Riko sambil membayangkan sate kambing, udang goreng tepung, hingga tumpukan kue manis.

Namun, masalah muncul ketika ia sadar: bajunya. Bagaimana ia bisa masuk ke pesta sekelas itu dengan kaos lusuh dan celana belel? Tak ada jalan lain, ia harus menyusup dengan penampilan meyakinkan.

Maka, Riko pun nekat mencuri baju batik dari sebuah toko terdekat. Ia masuk dengan gaya santai, mencoba satu batik, dan saat pemilik toko lengah, ia langsung kabur. Sayangnya, nasib kali ini tak sepenuhnya berpihak.

"HEI! Itu batikku!" teriak pemilik toko, setengah histeris.

Beberapa pejalan kaki ikut menoleh. "Maling! Tangkap maling!" teriak seorang bapak dengan nada kepahlawanan.

Riko panik. Batik yang baru setengah dipakainya masih menjuntai, kancing belum sempat dipasang. Sementara itu, suara sirene polisi mulai meraung. "Gawat, gawat, semua gara-gara batik!" ia menggerutu, berlari sekencang mungkin menuju gedung kondangan.

 

Sesampainya di gedung, suasana begitu meriah. Para tamu dengan jas rapi dan kebaya indah berjejer rapi di pintu masuk. Riko---dengan batik setengah terpasang dan napas ngos-ngosan---berusaha menembus kerumunan.

"Permisi, saya dari pihak catering!" serunya sambil melambaikan tangan seolah benar-benar sibuk.

Petugas keamanan menatapnya curiga. "Cepat sekali masuknya. Biasanya ada daftar nama---"

Namun, sebelum ia bisa menyelesaikan kalimatnya, Riko sudah melesat ke dalam. "Nanti aja tanda tangannya, Pak. Saya buru-buru!" katanya.

Di dalam, pemandangan membuat matanya hampir berair. Meja panjang penuh makanan: ayam pedas, sate kambing, rendang, udang goreng, sushi, bahkan fountain cokelat yang berkilauan. Riko, yang perutnya keroncongan setelah kejar-kejaran, langsung menyambar piring.

Sambil menyuap makanan dengan lahap, ia menoleh sekilas ke pintu masuk. Dari jauh, samar terdengar sirene polisi. "Tidak mungkin mereka sampai sini," katanya meyakinkan diri sendiri.

Namun, seorang tamu di sampingnya menoleh. "Wah, batik kamu unik sekali! Sobek-sobek, tapi keren. Lagi tren ya?"

Riko hampir tersedak sate. "Ah... iya. Batik edisi terbatas. Hanya ada satu di dunia," jawabnya dengan senyum kikuk. Tamu itu mengangguk serius, bahkan berfoto selfie bersamanya.

 

Ketenangan itu tak bertahan lama. Pintu masuk gedung mendadak terbuka lebar. Beberapa polisi berlari masuk, wajah penuh kewaspadaan. "Kami mencari pria dengan baju batik! Ia berbahaya!"

Tamu-tamu langsung berbisik panik. "Baju batik? Tapi di sini semua orang pakai batik..."

Riko menunduk, mencoba menyelinap, tapi seorang polisi menunjuk ke arahnya. "Itu dia!"

Hati Riko langsung serasa berhenti. Ia tahu tak ada waktu. Dalam sekejap, pikirannya mencari akal. Lalu ia melihat panggung besar di depan, tempat paduan suara bersiap menyanyi.

 

Tanpa pikir panjang, Riko melompat naik ke panggung. "Selamat malam semua!" serunya dengan suara lantang. Tamu-tamu langsung terdiam, bingung.

"Acara ini luar biasa, tapi jangan lupa: musik itu makanan jiwa! Mari kita nyanyi bersama!"

Polisi terhenti sejenak, bingung dengan keberanian itu. Beberapa tamu justru bertepuk tangan, mengira Riko bagian dari hiburan. "Wow, interaktif sekali," gumam seorang ibu.

Riko mulai bernyanyi lagu populer yang sering diputar di kondangan, suaranya sumbang tapi penuh percaya diri. Yang mengejutkan, beberapa tamu ikut bernyanyi, bahkan polisi yang semula hendak maju jadi ragu.

"Ini... pertunjukan?" bisik salah satu polisi.

Sementara perhatian semua orang teralihkan, Riko melangkah perlahan ke sisi panggung. Matanya menangkap sebuah pintu keluar darurat.

"Ini saatnya," pikirnya.

 

Saat lagu mencapai puncaknya, Riko melompat turun dari panggung dengan gaya dramatis. "Terima kasih, semua! Saya harus pergi!" serunya sambil meluncur ke pintu darurat.

"KEJAR DIA!" teriak polisi. Kerumunan tamu menjadi kacau, beberapa bahkan bersorak mendukung, mengira itu bagian dari atraksi komedi.

Riko berlari sekuat tenaga melewati lorong sempit, membuka pintu darurat, dan keluar ke jalan belakang gedung. Udara malam menyambutnya, segar sekaligus penuh ancaman.

Di kejauhan, ia melihat mobilnya terparkir. Dengan langkah cepat ia melompat masuk, menyalakan mesin, dan melaju kencang. Sirene polisi terdengar lagi, tapi semakin lama semakin jauh.

"HAHA! Berhasil!" Riko berteriak kegirangan, memukul setir sambil tertawa. Adrenalin masih memompa, tapi wajahnya penuh kepuasan.

 

Riko akhirnya berhenti di sebuah taman kota, tempat ia bisa bernapas lega. Ia duduk di dalam mobil, mengingat kembali momen-momen barusan: batik sobek yang dipuji, nyanyian sumbang yang disangka hiburan, dan piring-piring makanan lezat yang sempat ia cicipi.

"Ini gila... tapi juga luar biasa," gumamnya sambil terkekeh.

Ia sadar, malam itu ia tak hanya berhasil kabur dari polisi, tapi juga mencuri sesuatu yang lebih berharga dari sekadar makanan: perhatian publik. Besok, ia yakin, cerita tentang "penyanyi misterius di kondangan" akan tersebar di media sosial.

Riko tersenyum puas. "Mulai hari ini, aku bukan sekadar pencuri. Aku adalah... Maling Kondangan."

Dan di kejauhan, suara tertawa kecilnya bercampur dengan bunyi kota yang kembali sibuk.

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun