Aku menatapnya lama, menyadari ada beban yang tak kasat mata, yang tersimpan rapi di balik senyum sopan itu. Rasanya ingin aku berkata sesuatu, mengisi keheningan yang tiba-tiba terasa berat, tapi kata-kata terasa begitu kecil dan tak cukup.
Kereta terus melaju, suara derak rel menambah hening yang mendalam. Aku hanya bisa duduk di sebelahnya, membiarkan perasaan itu mengalir, mencoba menebak sedih yang tak diucapkan, kehilangan yang tak terlihat. Ia menekankan tangannya di pangkuan, perlahan menggenggam tas kecilnya, seolah itu memberi sedikit kekuatan.
“Maaf… saya terlalu larut dalam kesedihan sendiri,” ujarnya akhirnya, menoleh sebentar padaku, matanya berusaha tersenyum lagi. “Kadang saya masih merasa seperti harus berbagi semua ini, tapi tak ada orang di sisi yang bisa saya ajak bicara tentang hal-hal kecil… atau besar, sekalipun.”
Aku mengangguk, kata-kata tetap tersangkut di tenggorokan, tapi ada rasa hangat di hati. Kadang, hanya dengan mendengar dan hadir, itu sudah cukup untuk meringankan beban orang lain, walau hanya sedikit.
Wanita itu mengusap wajahnya yang mulai tampak letih. "Kadang, hidup ini terasa seperti berjalan di jalan penuh batu. Ada saat-saat aku merasa sendiri, benar-benar sendiri." Ia menunduk sejenak, lalu suaranya bergetar pelan saat melanjutkan, "Di rumah, rasanya kosong. Malam hari, hanya suara sepi yang menemani."
Aku menatapnya, terdiam sejenak, merasakan beban yang tak terucapkan di udara di antara kami. Rasanya ingin aku berkata sesuatu, tapi kata-kata terasa begitu kecil dibanding kesunyian yang ia bawa.
"Tetapi, Saya suka perjalanan ini," katanya lagi, matanya menatap ke luar jendela. "Karena bisa sedikit melupakan semua beban itu."
Ia menatap langit yang mulai cerah, cahaya pagi menembus jendela, menerpa wajahnya yang lelah namun masih memancarkan keteguhan. "Tapi, di balik itu semua, aku selalu berdoa agar nanti aku bisa kembali menemukan semangat itu lagi," katanya lirih.
Aku merasa tersentuh. Ada kekuatan luar biasa dalam dirinya, yang meski tampak rapuh, tetap berjuang menghadapi hidup. Aku menatapnya lagi, mencari kata-kata yang tepat, tapi rasanya semua kata itu tak sebanding dengan kedalaman rasa yang ia pancarkan.
Tiba-tiba, ia menguap pelan, lalu bersandar perlahan. "Aku capek banget, nak. Rasanya ingin tidur sebentar aja, lepas dari semua beban di kepala ini." Matanya tertutup, napasnya pelan dan stabil, wajahnya tampak tenang dan penuh kedamaian. Tanpa sadar, tubuhnya sedikit bersandar padaku.
Rasa hangat menjalar, membawa ketenangan, dan seiring ia semakin pulas, muncul senyum tipis di bibirnya—seolah dalam tidur, ia menemukan tempat aman yang selama ini dirindukannya. Aku tetap diam, membiarkan momen itu berlangsung, merasakan hening yang bukan sekadar keheningan, tapi kenyamanan yang hadir di antara dua orang asing yang tiba-tiba berbagi fragmen kehidupan.