Hari itu, aku duduk di beranda, menyandarkan tubuh di kursi kayu yang sudah mulai goyah. Udara pagi lembab, masih menyimpan sisa hujan semalam. Bau tanah basah menyusup pelan ke lubang hidung, membangkitkan kenangan yang tak kuminta.
Seekor burung kecil bertengger di ujung pagar. Ia berkicau pendek, lalu diam. Angin datang, menyapu rambutku, menyentuh wajahku, seolah ingin mengatakan sesuatu. Tak lama kemudian, anakku keluar dari rumah---dengan rambut berantakan dan piyama kusut. Ia berjalan ke arahku, lalu tersenyum sambil memeluk lututku.
"Ayah ngelamun?" tanyanya.
Aku menggeleng, meski sebenarnya iya. Tapi bukan lamunan yang kosong. Ada kedamaian aneh pagi itu. Sebentuk rasa syukur yang sulit dijelaskan, seperti genangan air yang tiba-tiba jernih setelah hujan.
Aku mengelus rambutnya, lalu berkata pelan, "Nggak. Ayah lagi ngerasain pagi."
Itu bukan pagi pertama yang indah, dan pasti bukan yang terakhir. Tapi ada sesuatu dalam momen itu yang membuatku merasa hadir sepenuhnya. Seolah waktu melambat, dan seluruh dunia mengecil hanya menjadi dua hal: aku dan kehadiranku di situ.
Biasanya, aku akan menyambar ponsel, mengecek email atau berita. Tapi pagi itu tidak. Aku hanya ingin diam. Melihat. Mengalami. Meresapi.
Kopi di tangan belum kuminum. Uapnya naik perlahan, seperti doa yang malu-malu. Bukan kopi yang istimewa. Tapi pagi itu, ia terasa berbeda. Seolah-olah, secangkir kopi itu membawa makna yang tidak bisa dijelaskan oleh siapapun --- selain oleh aku sendiri.
"Ayah," kata anakku lagi, "kenapa pelangi kadang kelihatan, kadang enggak?"
Aku menoleh. Di langit timur, memang ada lengkung samar --- pelangi yang belum sempurna. Masih malu-malu di balik awan tipis.
"Karena pelangi itu butuh cahaya dan hujan bersamaan," jawabku. Tapi setelah mengatakannya, aku merasa jawaban itu terlalu teknis. Terlalu... dangkal.
Lalu aku menambahkan, "Dan mungkin... karena tidak semua orang melihat pelangi yang sama."
Anakku memiringkan kepala, bingung. Tapi ia tidak bertanya lagi. Ia hanya duduk di sampingku, menatap langit.
Dan di situlah aku tersadar --- bahwa pengalaman itu tak pernah bisa dibagi utuh. Apa yang kurasakan saat melihat pelangi, belum tentu dirasakannya juga. Pelangi yang kulihat pagi ini bukan hanya cahaya yang dibiaskan hujan. Ia membawa kenangan akan ibuku, yang dulu selalu menunjuk pelangi sambil berkata, "Itu jembatan malaikat."
Pelangi itu bukan di langit. Ia hidup dalam mataku. Dalam ingatanku. Dalam rasa yang tak bisa dijelaskan dengan kata.
Setiap orang punya pelanginya sendiri. Kadang ia muncul di sore hari. Kadang di senyum anak. Kadang dalam secangkir kopi yang biasa. Tapi tak satu pun dari itu bisa dirasakan sepenuhnya oleh orang lain.
Dan mungkin... itu bukan kekurangan. Itu justru anugerah.
"Yuk, masuk," kataku. "Kita bikin sarapan."
Anakku mengangguk. Kami bangkit bersama. Burung kecil itu sudah pergi entah ke mana. Pelangi pun mulai memudar. Tapi ada sesuatu yang tersisa di dalam dada --- bukan pemandangan, bukan suara, tapi rasa.
Dan hari itu, aku tidak hanya menjalani hidup.
Aku mengalami hidup.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI