"Karena pelangi itu butuh cahaya dan hujan bersamaan," jawabku. Tapi setelah mengatakannya, aku merasa jawaban itu terlalu teknis. Terlalu... dangkal.
Lalu aku menambahkan, "Dan mungkin... karena tidak semua orang melihat pelangi yang sama."
Anakku memiringkan kepala, bingung. Tapi ia tidak bertanya lagi. Ia hanya duduk di sampingku, menatap langit.
Dan di situlah aku tersadar --- bahwa pengalaman itu tak pernah bisa dibagi utuh. Apa yang kurasakan saat melihat pelangi, belum tentu dirasakannya juga. Pelangi yang kulihat pagi ini bukan hanya cahaya yang dibiaskan hujan. Ia membawa kenangan akan ibuku, yang dulu selalu menunjuk pelangi sambil berkata, "Itu jembatan malaikat."
Pelangi itu bukan di langit. Ia hidup dalam mataku. Dalam ingatanku. Dalam rasa yang tak bisa dijelaskan dengan kata.
Setiap orang punya pelanginya sendiri. Kadang ia muncul di sore hari. Kadang di senyum anak. Kadang dalam secangkir kopi yang biasa. Tapi tak satu pun dari itu bisa dirasakan sepenuhnya oleh orang lain.
Dan mungkin... itu bukan kekurangan. Itu justru anugerah.
"Yuk, masuk," kataku. "Kita bikin sarapan."
Anakku mengangguk. Kami bangkit bersama. Burung kecil itu sudah pergi entah ke mana. Pelangi pun mulai memudar. Tapi ada sesuatu yang tersisa di dalam dada --- bukan pemandangan, bukan suara, tapi rasa.
Dan hari itu, aku tidak hanya menjalani hidup.
Aku mengalami hidup.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI