Hari itu, aku duduk di beranda, menyandarkan tubuh di kursi kayu yang sudah mulai goyah. Udara pagi lembab, masih menyimpan sisa hujan semalam. Bau tanah basah menyusup pelan ke lubang hidung, membangkitkan kenangan yang tak kuminta.
Seekor burung kecil bertengger di ujung pagar. Ia berkicau pendek, lalu diam. Angin datang, menyapu rambutku, menyentuh wajahku, seolah ingin mengatakan sesuatu. Tak lama kemudian, anakku keluar dari rumah---dengan rambut berantakan dan piyama kusut. Ia berjalan ke arahku, lalu tersenyum sambil memeluk lututku.
"Ayah ngelamun?" tanyanya.
Aku menggeleng, meski sebenarnya iya. Tapi bukan lamunan yang kosong. Ada kedamaian aneh pagi itu. Sebentuk rasa syukur yang sulit dijelaskan, seperti genangan air yang tiba-tiba jernih setelah hujan.
Aku mengelus rambutnya, lalu berkata pelan, "Nggak. Ayah lagi ngerasain pagi."
Itu bukan pagi pertama yang indah, dan pasti bukan yang terakhir. Tapi ada sesuatu dalam momen itu yang membuatku merasa hadir sepenuhnya. Seolah waktu melambat, dan seluruh dunia mengecil hanya menjadi dua hal: aku dan kehadiranku di situ.
Biasanya, aku akan menyambar ponsel, mengecek email atau berita. Tapi pagi itu tidak. Aku hanya ingin diam. Melihat. Mengalami. Meresapi.
Kopi di tangan belum kuminum. Uapnya naik perlahan, seperti doa yang malu-malu. Bukan kopi yang istimewa. Tapi pagi itu, ia terasa berbeda. Seolah-olah, secangkir kopi itu membawa makna yang tidak bisa dijelaskan oleh siapapun --- selain oleh aku sendiri.
"Ayah," kata anakku lagi, "kenapa pelangi kadang kelihatan, kadang enggak?"
Aku menoleh. Di langit timur, memang ada lengkung samar --- pelangi yang belum sempurna. Masih malu-malu di balik awan tipis.