Pagi ini, aku duduk diam di serambi rumah. Angin lembut membelai dedaunan, kabut perlahan-lahan terangkat dari punggung langit. Secangkir teh di tanganku sudah kehilangan hangatnya, tapi justru di sanalah pikiranku mulai menghangat, bahkan mendidih dalam diam.
Tiba-tiba, sebuah pertanyaan lama menyelinap dari sudut-sudut sunyi yang sudah lama tidak kukunjungi:
Apakah filsafat bertentangan dengan agama?
Pertanyaan ini dulu sering menghantui, saat saya masih mahasiswa, saat logika dan iman sering bertengkar dalam kepala yang sedang belajar tumbuh.
Dulu saya kira jawabannya mudah: ya.
Tapi sekarang, setelah bertahun-tahun berjalan di antara kepercayaan dan keraguan, saya tahu jawabannya tidak sesederhana itu.
Agama dan filsafat memang lahir dari ruang yang berbeda.
Agama bersandar pada wahyu—kebenaran yang turun dari langit, yang minta diterima dengan hati yang pasrah.
Filsafat bersandar pada akal—kebenaran yang harus digali dari kedalaman nalar dan keraguan.
Di sinilah mereka sering bersitegang.
Agama berkata, "Inilah kebenaran."
Filsafat bertanya, "Mengapa ini dianggap benar?"
Agama memeluk iman.
Filsafat mengundang tanya.
Dan manusia, di antara keduanya, sering terombang-ambing—tak tahu harus percaya sepenuhnya, atau justru bertanya terus tanpa henti.
Namun jika kita mau menggali lebih dalam, mungkin kita akan temukan bahwa keduanya sebenarnya mengejar hal yang sama: kebenaran, makna, dan arah hidup.