Di sebuah desa kecil bernama Bambali, jauh dari gemerlap stadion dan sorotan kamera, seorang anak berlari mengejar bola plastik. Ia tak punya sepatu. Tak ada rumput hijau, hanya tanah kering dan debu beterbangan. Tapi dari matanya memancar mimpi besar---dan nama anak itu adalah Sadio Man.
Tahun-tahun berlalu. Bocah tanpa sepatu itu kini menjadi bintang dunia. Gajinya miliaran. Namanya dielu-elukan jutaan fans. Ia merumput di stadion-stadion megah Eropa, mencetak gol demi gol untuk Liverpool, hingga pindah ke Bayern dan kini Al-Nassr. Tapi di balik kemilau prestasi itu, Man tetap lelaki yang sama: anak desa yang tak pernah melupakan asal-usulnya.
Saat banyak pesepakbola mengoleksi mobil sport, jam tangan langka, dan jet pribadi, Man malah membangun rumah sakit di desanya. Ia menyumbang lebih dari 8 miliar rupiah agar warga Bambali tak lagi harus berjalan jauh hanya untuk berobat.
Tak berhenti di situ, Man juga membangun sekolah. Ia tahu, pendidikan adalah tiket keluar dari kemiskinan. Dan karena ia juga pernah lapar, ia memberikan uang tunai 70 per bulan untuk semua keluarga di desanya---tanpa pamrih, tanpa kamera, hanya karena ia peduli.
Salah satu warga Bambali pernah berkata, "Dulu kami hanya berharap. Sekarang kami punya harapan nyata, berkat Sadio."
Ketika dunia memujanya, Man tetap rendah hati. Dalam satu wawancara, ia berkata dengan jujur:
"Mengapa saya harus punya 10 Ferrari? Saya lahir miskin. Saya pernah kelaparan. Sekarang saya punya uang, dan saya ingin membantu orang."
Kisah Sadio Man bukan sekadar cerita sukses dari nol. Ini adalah kisah tentang menjadi besar tanpa melupakan akar, tentang membagi rezeki tanpa pamer, dan tentang mengubah kemasyhuran menjadi berkah untuk banyak orang.
Ia bukan hanya pahlawan di lapangan, tapi juga di kehidupan nyata. Dan mungkin, dalam dunia yang penuh ego dan glamor, Sadio Man adalah pengingat bahwa menjadi manusia yang baik jauh lebih penting daripada menjadi orang yang terkenal.
Membangun Fasilitas untuk Kampung Halamannya