Di negeri ini, kata maaf kadang datang lebih dulu
Sebelum luka sempat berkata: "Aku belum sembuh."
Amnesti turun, bagai hujan di padang sengketa
Membasuh nama, meski tanah belum rela.
Dua nama diucap pelan dalam ruang sidang dalam
Tom dan Hasto, bukan sekadar orang,
Mereka adalah bab pada buku yang kita lupakan,
Lalu presiden, seperti penyair, memilih mengakhiri halaman.
Katanya demi kerukunan, demi damai yang diharap-harap,
Seperti lampu yang dinyalakan di tengah gelap
Tapi siapa yang benar, siapa yang salah
Kini tak lagi jadi perkara sejarah---
Tapi sekadar bisik di ruang tengah istana.
Bukankah adil itu seperti api?
Ia hangat jika dekat, tapi membakar jika dikhianati.
Dan amnesti, oh amnesti...
Kau bukan sekadar pengampunan,
Tapi kadang jembatan dari krisis ke kekuasaan.
Lalu rakyat bertanya, dalam hati yang redup:
Apakah damai harus dibeli dengan melupakan?
Apakah luka harus sembuh karena tak diberi pilihan?
Tapi negeri ini, oh negeri ini...
Sudah terlalu lama menyimpan dendam dalam museum
Dan terlalu sering menghapus catatan hanya dengan stempel.
Maka biarlah amnesti ini jadi puisi
Yang dibaca oleh generasi nanti---
Bukan sebagai jawaban,
Tapi sebagai tanya:
Apakah keadilan bisa dicapai tanpa pengadilan?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI