Namanya Reyhan. Umurnya 29. Jasnya selalu licin, sepatunya mengilap, dan senyumnya tak pernah salah arah. Di kementerian, ia dikenal sebagai rising star. Dikirim ke berbagai forum internasional, dipercaya menyusun pernyataan resmi negara, dan menjadi contoh "generasi muda berprestasi" yang sering dipamerkan menteri dalam pidato.
Tapi malam ini, Reyhan duduk sendirian di depan cermin hotel. Di hadapannya, pantulan wajah yang sudah terlalu lama memerankan peran yang tidak pernah ia tulis sendiri.
Ia menghela napas pelan.
Di sebelah cermin, secarik kertas kecil ia tempel seminggu lalu:
"You are enough. You are strong."
Ia menatap tulisan itu lama. Tapi malam ini, kata-kata itu tak terasa cukup.
Telepon genggamnya bergetar. Grup kantor mengirim stiker lucu dengan caption: "Good luck hari ini bro, tunjukin taringmu!"
Reyhan membalas dengan emoji api dan bendera.
Lalu diam lagi.
Tangannya refleks meraih dasi di kursi. Ia membawanya ke leher, tapi tidak langsung mengikat. Ia hanya menggantungkan seperti orang yang kehilangan arah. Matanya menatap jauh ke arah jendela. Kota di luar hotel gemerlap seperti biasa. Tapi Reyhan merasa gelap. Bukan karena lampu, tapi karena ia tak lagi melihat alasan.
Malam kian larut.
Ia berjalan pelan ke balkon. Udara dingin menyambut. Lampu-lampu kota seperti semesta yang tak peduli.
"Apa artinya semua ini kalau aku tak merasa hidup?" bisiknya dalam hati.
Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, Reyhan membiarkan air matanya jatuh. Tanpa suara. Tanpa saksi.
Hanya malam yang tahu, betapa hancurnya seorang Reyhan di balik topeng diplomatnya.
Lama ia berdiri dalam sunyi. Hanya deru angin dan detak jantung yang mengiringi. Sampai tiba-tiba, ia mendengar sesuatu yang kecil... suara lain dari dalam dirinya:
"Reyhan, kamu nggak harus begini terus. Pulanglah... bukan ke rumah. Tapi ke dirimu sendiri."
Ia menutup mata. Lalu mengambil ponselnya, membuka kontak yang sudah lama ia abaikan: Karla.