Menurut data WHO, bunuh diri adalah penyebab kematian nomor dua terbanyak di kalangan usia 15–29 tahun. Dan banyak di antaranya berasal dari mereka yang terlihat "baik-baik saja".
Tokoh psikologi humanistik Carl Rogers pernah berkata:
“The curious paradox is that when I accept myself just as I am, then I can change.”
Artinya, perubahan—dan penyembuhan—baru bisa terjadi jika seseorang diterima tanpa syarat. Tanpa harus memakai topeng. Tanpa harus terus "positif" padahal batinnya sedang berteriak.
Budaya Toxic Positivity dan Diam yang Membunuh
Di tengah budaya kerja yang menuntut pencitraan, dan lingkungan sosial yang cepat menilai, banyak dari kita terjebak dalam toxic positivity. Kalimat seperti “Kamu harus kuat!”, “Jangan mengeluh!”, atau “Bersyukur dong!” sering kali menjadi racun halus yang menutup pintu ekspresi emosi manusiawi.
Padahal, menangis itu sehat. Mengeluh itu manusiawi. Mengaku lelah bukan dosa.
Jika lingkungan kita tidak memberi ruang untuk emosi negatif—maka orang-orang yang sedang jatuh akan terus berpura-pura berdiri. Sampai akhirnya mereka jatuh untuk selamanya.
Penutup: Dengarkan, Jangan Hanya Menilai
Kita sering mengidolakan mereka yang selalu tampak kuat. Tapi mungkin yang mereka butuhkan bukan pujian, melainkan pelukan. Kita terlalu cepat berkata "semangat!" tapi terlalu pelit untuk bertanya, "Apa yang kamu rasakan sebenarnya?"
Barangkali kita tak bisa menyelamatkan semua orang. Tapi dengan menciptakan ruang aman untuk jujur, mendengar tanpa menghakimi, dan memberi izin untuk tidak baik-baik saja, kita bisa jadi satu alasan kenapa seseorang memilih bertahan.