— Ketika senyum tak lagi cukup untuk menyelamatkan jiwa.
Namanya R. Usianya belum genap 30. Seorang diplomat muda berbakat, cemerlang di atas kertas, dan bersinar di banyak forum internasional. Bahasa Inggrisnya fasih, etiketnya sempurna, dan senyumnya selalu mengundang kagum.
Setiap kali tampil di depan publik, ia seperti duta besar kesempurnaan. Tak pernah mengeluh, tak pernah terlihat lelah, apalagi marah. Ia adalah simbol anak muda berprestasi—perpaduan kerja keras dan dedikasi yang ideal.
Namun tak ada yang tahu bahwa di balik layar, ia mulai runtuh pelan-pelan.
Jam kerja panjang, tekanan politik, target-target diplomatik, hingga tuntutan untuk selalu relevan dan disukai mulai menggerogoti ruang batinnya. Ia merasa lelah, tapi tak tahu kepada siapa harus jujur. Bahkan menangis pun tak bisa.
Di grup kantor, ia tetap mengirim emoji semangat. Di media sosial, ia tetap berbagi kutipan inspiratif. Tapi malam-malamnya dilalui dengan hampa. Ia mulai bicara pada dirinya sendiri di cermin:
"Aku harus kuat. Aku harus baik-baik saja."
Dan saat suara hatinya menjawab, "Tapi aku tidak baik-baik saja..." — ia memilih mengabaikannya.
Ia mencoba meditasi. Ia coba berdoa. Ia coba tersenyum lebih banyak. Ia menghindari keluhan. Ia menulis jurnal syukur. Tapi seperti kata Viktor Frankl, “Ketika makna hidup memudar, penderitaan menjadi mutlak.”
Dan pada suatu pagi, ia tidak bangun lagi. Dunia diplomasi kehilangan salah satu anak muda terbaiknya. Tapi lebih dari itu, kita kehilangan sebuah jiwa yang terlalu terbungkam untuk minta tolong.
Burnout yang Tidak Terlihat
Banyak orang salah kaprah mengira burnout hanya kelelahan fisik. Padahal lebih dalam dari itu—burnout adalah kelelahan emosional yang kronis, kehilangan makna, dan rasa terasing dari hidup yang dijalani. Yang paling berbahaya dari burnout adalah saat ia tak tampak. Saat penderitanya masih bisa bercanda, bekerja, dan bersosialisasi—namun hancur perlahan dari dalam.