Mohon tunggu...
Priyasa Hevi Etikawan
Priyasa Hevi Etikawan Mohon Tunggu... Guru SD || Pecinta Anime Naruto dan One Piece

Penulis buku Asyiknya Menjadi Penulis Pemula (2023) | Antologi 1001 Kisah Guru (2023) | Antologi Dedikasi dan Cinta Sejati (2023)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Menakar Efektivitas Pendidikan Barak Militer ala Dedi Mulyadi

13 Mei 2025   13:21 Diperbarui: 14 Mei 2025   09:31 765
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi saat mengunjungi tempat pembinaan siswa bermasalah di barak militer di Resimen Artileri Medan 1 Sthira Yudha, Batalyon Artileri Medan 9, Purwakarta, Jawa Barat, Senin (5/5/2025) pagi. (Dok Dedi Mulyadi)

Menurut para kritikus, pendekatan disiplin keras tanpa memahami akar permasalahan psikologis dan sosial anak justru bisa menimbulkan trauma, stigma negatif, dan bahkan memperparah kondisi kejiwaan mereka. 

Setiap anak memiliki latar belakang dan permasalahan yang unik, sehingga penanganannya pun seharusnya bersifat individual dan melibatkan pendekatan psikologis, konseling, serta perbaikan lingkungan sosial dan keluarga, bukan semata-mata militerisasi. Muncul kekhawatiran bahwa pelabelan "anak nakal" dan pengalaman di barak militer justru bisa membentuk identitas negatif pada diri anak dan menyulitkan reintegrasi mereka ke lingkungan sekolah dan masyarakat.

Metode Tradisional Kerap Gagal dan Menjadi Sulit

Pendidikan barak militer ala Dedi Mulyadi sejatinya merupakan respons darurat terhadap kenakalan anak yang tidak terkendali. Dalam situasi darurat memang dibutuhkan solusi yang extra ordinary dan out of the box. 

Sekolah manapun pasti mengintegrasikan pendidikan karakter dalam sistem kurikulumnya. Misalnya dalam Kurikulum Merdeka dengan program P5 sebagai bagian dari kegiatan kokurikuler. Meskipun efektivitas dan keberhasilannya juga patut dipertanyakan. Penerapan disiplin positif yang ada juga kerap menghadapi tantangan serius.

Pendidikan hendaknya tidak hanya terjadi di sekolah semata. Pendidikan harus terjadi di mana saja termasuk di lingkungan keluarga dan masyarakat. Menjadi ironis jika masih banyak pihak berpikir bahwa pendidikan itu hanya identik dengan sekolah. Sementara lingkungan rumah dan masyarakat seakan terpisah dari semangat pendidikan itu sendiri. 

Banyak anak di zaman sekarang sedari kecil sudah terdidik oleh handphone dan konten-konten di sosial media. Orangtua sibuk bekerja mencari nafkah dan kurang kontrol terhadap perkembangan anaknya. 

Fenomena anak kecil mengalami gangguan mental kecanduan smartphone sekarang ini semakin marak. Orangtua kewalahan dalam mendidik dan mengasuh anak. Jadilah si anak diasuh oleh smartphone dan sosial media sejak kecil.

Sikap permisif masyarakat terhadap pendidikan juga semakin memperkeruh keadaan. Masyarakat luas dari level bawah hingga elit tidak sedikit yang mempertontonkan hal tidak mendidik. 

Banyak perilaku tidak mendidik terdokumentasi dan menyebar di dunia maya semacam kekerasan, pornografi, perjudian, dan perilaku menyimpang lain. Sehingga bisa diakses oleh siapapun dan kapanpun termasuk oleh anak-anak. 

Jadilah anak-anak menjadi generasi yang sulit mencari teladan. Di era keterbukaan informasi seperti sekarang ini terkadang anak justru lebih mahir berselancar di dunia maya daripada orangtuanya sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun