Tanggal 2 Mei 2025 terasa sangat istimewa. Tanggal lahir Ki Hajar Dewantara ini diperingati setiap tahunnya sebagai Hari Pendidikan Nasional. Dimana guru dan insan pendidikan di seluruh nusantara merayakannya dengan penuh gegap gempita.Â
Upacara dilaksanakan di setiap sekolah, dilanjutkan dengan kegiatan lomba, atau acara ramah tamah antara dewan guru dengan siswanya. Itu pemandangan yang kerap terlihat setiap tahunnya dalam peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas).
Tetapi ada yang berbeda di tahun ini. Salah satu berita menarik dan viral menyebar di berbagai media. Yaitu tentang kebijakan "Pendidikan Barak Militer" ala gubernur Provinsi Jawa Barat, Dedi Mulyadi.Â
Kebijakan ini juga mulai diterapkan di tanggal 2 Mei 2025 bersamaan dengan peringatan Hardiknas tahun 2025. Secara resmi program itu diberi nama Pendidikan Karakter, Disiplin, dan Bela Negara Kekhususan.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat, di bawah kepemimpinan Gubernur Dedi Mulyadi, menerapkan kebijakan baru untuk menangani siswa yang terlibat kenakalan remaja berat, terutama yang sudah mengarah pada tindakan kriminal seperti tawuran bersenjata tajam. Kebijakan ini mulai diterapkan pada 1-2 Mei 2025 di Purwakarta dan Bandung sebagai respons atas meningkatnya kasus kenakalan remaja yang sulit ditangani oleh keluarga dan sekolah.
Tujuan utama program ini adalah membentuk karakter, kedisiplinan, dan pola hidup yang lebih baik bagi siswa bermasalah, sekaligus menjadi bagian dari upaya pendidikan karakter di Jawa Barat. Program ini juga dimaksudkan sebagai solusi ketika orang tua dan guru sudah tidak mampu lagi membina anak-anak tersebut di lingkungan rumah maupun sekolah.
Dalam pelaksanaannya, program ini melibatkan pengiriman siswa yang teridentifikasi nakal ke markas TNI untuk menjalani pembinaan karakter dan disiplin ala militer dalam rentang waktu tertentu (antara 3 sampai dengan 6 bulan), dengan persetujuan dari orang tua. Purwakarta dan Bandung menjadi wilayah pertama yang menerapkan program percontohan ini, menyasar siswa mulai dari jenjang SMP.
Kebijakan ini sontak menuai pro dan kontra di tengah masyarakat. Pihak pendukung berpendapat bahwa pendekatan disiplin ketat ala militer dapat membantu membentuk karakter, menanamkan rasa tanggung jawab, dan nasionalisme pada remaja yang perilakunya sudah sulit dikendalikan melalui metode konvensional. Mereka melihatnya sebagai upaya terakhir untuk menyelamatkan anak-anak dari jurang kriminalitas.
Namun, tidak sedikit pula kritik tajam dialamatkan pada kebijakan ini. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyuarakan keprihatinan mendalam, menilai pendekatan semi militer berpotensi melanggar hak-hak anak dan tidak memiliki dasar hukum yang kuat jika tidak terkait dengan proses peradilan pidana anak. Para psikolog dan pakar pendidikan juga banyak yang menentang, berargumen bahwa pendidikan semi militer bukanlah solusi yang tepat untuk mengatasi kenakalan remaja.