“Wahai Rasulullah!” kata orang yang melihat itu, “itu ada seorang laki-laki berjalan seorang diri!” Ujar Rasulullah saw.: “Mudah-mudahan orang itu Abu Dzar … !” Mereka melanjutkan pembicaraan sambil menunggu pendatang itu selesai menempuh jarak yang memisahkan mereka, di saat mana mereka akan mengetahui siapa dia.
Musafir mulia itu mendekati mereka secara lambat, langkahnya bagai disentakkan dari pasir lembut yang membara, sementara beban di punggung bagai menggantungi tubuhnya. Namun ia tetap gembira penuh harapan, karena berhasil menyusul kafilah yang dilingkungi barkah, dan tidak ketinggalan dari Rasulullah saw. dan saudara-saudaranya seperjuangan ….
Setelah ia sampai dekat rombongan, seorang berseru: “Wahai Rasulullah! demi Allah ia Abu Dzar”. Sementara itu Abu Dzar menujukan langkahnya ke arah Rasulullah. Dan demi Rasulullah melihatnya, tersungginglah senyuman di kedua bibir beliau, sebuah senyuman yang penuh santun dan belas kasihan, sabdanya:
“Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya
kepada Abu Dzar … !
Ia berjalan sebatang kara ….
Meninggal sebatang kara ….
Dan dibangkitkan nanti sebatang kara ….
Setelah berlalu masa dua puluh tahun atau lebih dari hari yang kits sebutkan tadi, Abu Dzar wafat di padang pasir Rabadzah sebatang kara . . . , Setelah sebatang kara pula ia menempuh hidup yang luar biasa yang tak seorang pun dapat menyamainya. Dan dalam lembaran sejarah, ia muncul sebatang kara — yakni orang satu-satunya — baik dalam keagungan zuhud maupun keluhuran cita . . . , dan kemudian di sisi Allah ia akan dibangkitkan nanti sebagai tokoh satu-satunya pula, karena dengan tumpukan jasa-jasanya yang tidak terpemadai banyaknya, tak ada lowongan bagi orang lain untuk berdampingan …