Sebelum kita memasuki pembahasan lebih lanjut, dan sebelum saya dihujat karena judul yang terkesan nyeleneh, saya ingin terlebih dahulu meluruskan atau mengklarifikasi maksud dari 'nilai Marxis' yang dibahas dalam tulisan ini. Â Nilai Marxis ini adalah mengenai Imajinasi sosialisme Marx untuk mewujudkan masyarakat tanpa kelas, tanpa penindasan, dan tanpa alienasi (Anna : 2013). Selain itu 'Marxis' di sini bukan berarti ideologis, tapi dalam konteks nilai-nilai kesetaraan dan keadilan sosial dan tulisan ini tidak sedang membandingkan agama dan ideologi secara setara, tapi membandingkan nilai perjuangan sosial dari perspektif historis dan praksis. Sampai di sini kemungkinan semoga dapat dipahami dan semoga tidak gagal paham. Hal yang mencolok dan alasan mengapa hari ini bagi saya Nabi Muhammad sallallahu alaihi wasallam ("SAW") lebih 'Marxis' daripada Karl Marx itu sendiri adalah beliau punya impelementasi mengenai nilai-nilai kesetaraan untuk kaumnya pada masa itu.
Karl Marx hanya membuat teori tanpa adanya upaya menginfiltrasi langsung sebagai pemimpin sejarah itu sendiri. Secara sederhana dia hanya membangun kesadaran tanpa memimpin langsung. Namun, sebagai bentuk objektivitas intelektual, penting untuk mengakui bahwa Karl Marx bukan hanya pemikir yang duduk di meja teori. Ia juga terlibat langsung dalam upaya membangun kesadaran kolektif kelas pekerja. Salah satu kontribusi nyata Marx adalah pembentukan Internasional Pertama (International Workingmen's Association/IWA) pada tahun 1864 di London. Organisasi ini menjadi wadah internasional pertama yang menghimpun berbagai kelompok pekerja, sosialis, dan komunis dari berbagai negara. Marx memainkan peran sentral dalam organisasi tersebut, duduk di Dewan Umum, menulis dokumen-dokumen kunci seperti Address of the International Working Men's Association dan Statuta Umum organisasi.
Melalui IWA, Marx mendorong perjuangan nyata buruh, mulai dari kampanye jam kerja 8 jam, hingga solidaritas internasional lintas bangsa dalam menghadapi kapitalisme industri. Ia juga menghadapi pertentangan keras dari tokoh anarkis seperti Mikhail Bakunin, yang akhirnya menyebabkan perpecahan dalam tubuh organisasi. Meski Internasional Pertama tidak bertahan lama, ia tetap menjadi catatan penting bahwa Marx memiliki andil dalam perjuangan buruh secara nyata, bukan semata-mata sebagai filsuf di menara gading.
Namun demikian, di atas semua itu, Nabi Muhammad SAW tetaplah sosok yang lebih besar dari Karl Marx, baik secara spiritual, sosial, maupun historis. Jika Marx membangun kesadaran kelas melalui teori dan organisasi, maka Nabi Muhammad SAW membentuk masyarakat tanpa kelas secara langsung melalui praktik hidup, keteladanan, dan tatanan hukum yang aplikatif, jauh sebelum konsep-konsep tersebut dirumuskan oleh pemikir manapun di dunia Barat.
Nabi Muhammad SAW tidak hanya membayangkan masyarakat egaliter---beliau mewujudkannya di tengah gurun patriarki dan struktur sosial yang timpang. Ia membebaskan budak, memuliakan kaum miskin, menghapus stratifikasi sosial berdasarkan garis keturunan, dan menjamin hak-hak minoritas dalam Piagam Madinah. Kesadaran sosial Islam yang dibawa Muhammad bukanlah ide di atas kertas, tetapi perjuangan konkret yang melahirkan peradaban. Dengan kata lain, jika Marx menginspirasi revolusi, maka Nabi Muhammad SAW memimpin revolusi itu sendiri---dengan spiritualitas, kasih sayang, dan keteguhan nilai.
Pemikiran Melampaui Zaman
Nabi Muhammad SAW kemudian membuktikan bahwa beliau melakukan jauh sebelum Marx memikirkan gagasannya. Sejarah Islam menyebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW telah melakukan pendekatan dan memberi pengetahuan bahwa islam sebagai sebuah ajaran perjuangan. Perjuangan tersebut untuk melawan penindasan. Nabi Muhammad SAW hadir di tengah masyarakat yang dijuluki "ummi" dalam Al-Quran. Kata Ummi menurut Ali Syari'ati berarti beliau merupakan seseorang yang berada pada kelas proletar, kalau kita pinjam istilah Marx, Masyarakat tersebut antara lain terdiri dari orang awam yang buta huruf, para budak, anak yatim, janda serta orang-orang miskin yang menderita. Pada kalangan tersebutlah Nabi Muhammad SAW memulai ajarannya. Wujud lainnya bahwa Nabi Muhammad SAW lebih 'Marxis' daripada Karl Marx itu sendiri adalah ajarannya yang menginginkan masyarakat tanpa kelas.
Menurut Ahmad Syalaba terdapat 5 Faktor mengapa ajaran Nabi Muhammad SAW ditolak oleh kafir quraisy. Hal tersebut antara lain: Pertama, Para pemimpin Quraisy tidak dapat menerima ajaran tentang kebangkitan kembali dan pembalasan di akhirat; Kedua, Mereka tidak dapat membedakan antara kenabian dan kekuasaan. Mereka mengira bahwa tunduk kepada seruan Nabi Muhammad SAW berarti tunduk kepada kepemimpinan Bani Abdul Muthalib; Ketiga, Takut kehilangan mata pencaharian karena pemahat dan penjual patung memandang Islam sebagai penghalang rezeki mereka. Keempat, Nabi Muhammad SAW menyerukan persamaan hak antara hamba sahaya dan bangsawan. Hal ini tidak disetujui oleh kelas bangsawan Quraisy. Kelima, Taklid kepada nenek moyang adalah kebiasaan yang berurat berakar pada bangsa Arab (Syalabi : 1983). Wujud implementasi dari Nabi Muhammad SAW melakukan persamaan Hak terhadap hamba sahaya adalah mengangkat Zaid Bin Haritsah dari kalangan budak menjadi anak angkat beliau. Hal tersebut juga diamini dengan adanya ayat dalam Al-Quran bahwasannya Islam sebagai ajaran menyatakan penghapusan kelas superioritas sosial karena yang terpenting adalah keshalihan dalam bentuk peribadatan Tuhan dan Keshalihan dalam bentuk sosial. Surat Al-Maidah ayat 8 menyebutkan: "Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu berdiri karena Allah, menjadi saksi dengan keadilan. Janganlah karena kebencianmu kepada suatu kaum, sehingga kamu tidak berlaku adil. Berlaku adillah, karena keadilan itu lebih dekat kepada taqwa dan takutlah kepada Allah..."
Jauh sebelum Marx memikirkan perihal Revolusi besar-besaran, Nabi Muhammad SAW sebagai penerima wahyu justru telah lebih dahulu memimpin sebuah transformasi sosial besar di masyarakat Arab. Jika Marx mengusulkan perubahan lewat teori dan agitasi kelas, Nabi Muhammad langsung memimpin perubahan itu dengan strategi kenabian, spiritualitas, dan nilai-nilai keadilan sosial.
Salah satu bukti konkret transformasi tersebut adalah terbentuknya masyarakat Madani di Madinah. Tatanan sosial ini dibangun di atas nilai-nilai inklusif seperti keadilan, kesetaraan, penegakan hukum, dan perlindungan terhadap golongan lemah dan minoritas. Semua ini termanifestasi dalam Piagam Madinah yang menjadi fondasi sistem sosial multikultural pertama di dunia Islam. Masyarakat Madani bukan hanya gagasan utopis, tapi struktur yang dijalankan dalam realitas keseharian umat Islam di masa awal. Wujud masyarakat yang ideal yang terbangun oleh Nabi Muhammad SAW.
Nabi Muhammad SAW juga menolak praktik-praktik kapitalistik yang dilakukan oleh pihak-pihak. Salah satu praktik kapitalistik yang ditolak Nabi adalah riba. Praktik ini dianggap menghisap harta dari kaum tertindas dan memperparah ketimpangan sosial. Sebaliknya Nabi Muhammad SAW mengajarkan untuk berzakat agar harta tidak hanya berputar di oligarki. Ayat Al-Quran juga memvalidasi hal tersebut yang mana harta kekayaan yang hanya berputar pada individu atau kelompok itu saja, nyatanya harus diberikan kepada anak yatim, janda-janda dan Fakir miskin.