Dampaknya terhadap Indonesia
Indonesia, meskipun bukan mitra dagang utama Amerika dalam skala global, tetap terkena imbas dari kebijakan tarif tersebut. Pertama, sebagai bagian dari rantai pasok global, perusahaan Indonesia yang memproduksi komponen untuk diekspor ke China atau Jepang akan terdampak ketika permintaan ekspor menurun. Kedua, ketidakpastian ekonomi global membuat investor internasional menahan investasi jangka panjang, yang bisa memperlambat arus modal masuk ke Indonesia.
OECD mencatat bahwa negara-negara berkembang seperti Indonesia akan menghadapi risiko tambahan berupa pelemahan nilai tukar, penurunan harga komoditas, dan capital flight jika ketegangan dagang ini terus bereskalasi. Rupiah sudah mulai melemah terhadap dolar AS dalam beberapa pekan terakhir, dan pasar modal domestik menunjukkan volatilitas tinggi. Inflasi bisa meningkat seiring kenaikan harga barang impor akibat depresiasi mata uang.
Selain itu, sektor ekspor unggulan Indonesia seperti tekstil, karet, dan komoditas pertanian dapat terganggu apabila mitra dagang utama terkena perlambatan ekonomi. Jika China atau Jepang mengalami penurunan pertumbuhan, maka permintaan mereka terhadap bahan baku dari Indonesia juga akan turun.
Akankah Terjadi Resesi atau Depresi Global?
Kemungkinan resesi global memang mulai muncul dalam radar sejumlah lembaga internasional. Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia telah memberi peringatan mengenai potensi perlambatan ekonomi global apabila perang dagang terus berlangsung. Resesi bisa terjadi jika tiga blok ekonomi besar, Amerika Serikat, Uni Eropa, dan China, secara bersamaan mengalami penurunan pertumbuhan. Sejauh ini, semua indikator makro mengarah ke arah tersebut.
Namun, depresi global seperti era 1930-an masih dianggap skenario ekstrem yang kecil kemungkinannya. Sistem keuangan global kini jauh lebih solid dan terkoordinasi dibanding masa lalu. Tetapi krisis likuiditas dan penurunan produktivitas secara global bukan hal yang mustahil. Jika investor global mulai kehilangan kepercayaan dan memilih menarik investasi dari pasar berkembang, hal itu bisa memperburuk situasi.
Apa yang Harus Dilakukan Warga Indonesia?
Bagi warga negara Indonesia, langkah-langkah antisipatif bisa dilakukan baik secara individu maupun kolektif. Pemerintah harus mengambil kebijakan fiskal dan moneter yang responsif, seperti memperluas basis pajak dalam negeri, mempercepat belanja infrastruktur yang bersifat counter-cyclical, dan memastikan bahwa nilai tukar tidak bergejolak terlalu tajam. Bank Indonesia juga perlu bersiap untuk intervensi pasar valuta asing dan menjaga stabilitas suku bunga.
Bagi masyarakat, penting untuk mempersiapkan diri menghadapi ketidakpastian ekonomi. Menghindari konsumsi berlebihan, memperkuat tabungan, dan memperluas keterampilan kerja menjadi penting di tengah potensi pelemahan pasar tenaga kerja. Pelaku usaha kecil dan menengah harus mulai mendiversifikasi pasar, tidak hanya bergantung pada pasar ekspor besar, tapi mulai menjajaki kawasan Asia Selatan, Timur Tengah, dan Afrika.
Di tingkat strategis, Indonesia bisa memainkan peran sebagai kekuatan diplomatik regional yang mendorong pemulihan tatanan perdagangan internasional berbasis WTO (Organisasi Perdagangan Dunia), serta membangun aliansi dagang baru di luar kutub dominan Amerika Serikat-China. Hal ini sesuai dengan visi ekonomi hijau dan inklusif yang digaungkan dalam berbagai forum global, termasuk G20 dan ASEAN.