Dalam setiap keluarga Jawa, tumpeng adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan. Tumpeng selalu hadir dalam acara-acara penting, khususnya acara yang sarat dengan adat istiadat, baik acara keluarga, acara adat, maupun acara warga. Hal ini juga berlaku bagi keluarga Penulis, sekalipun mayoritas dari kami mengenyam pendidikan di negara-negara barat (di Eropa, Australia dan sebagainya).
Acara Keluarga
Pada acara Mitoni/Tingkeban (7 Bulan Kehamilan), tumpeng hadir sebagai simbol doa agar bayi lahir sehat dan selamat. Biasanya tumpeng dihias tujuh lauk.
Pada acara Aqiqah, tumpeng digunakan sebagai bentuk syukur atas kelahiran anak, dan boasanya dikombinasikan dengan nasi kebuli atau nasi putih biasa, tapi tumpeng kuning juga populer.
Pada acara Ulang Tahun, terutama untuk ulang tahun anak-anak, orang tua, atau usia "keramat" seperti 17, 40, 50 tahun, tumpeng juga hadir dan lazimnya puncak tumpeng diberikan kepada orang tua atau anak sebagai tanda restu.
Pada acara Lamaran dan Pernikahan, tumpeng menjadi simbol restu leluhur dan berkah dalam memulai hidup baru. Dalam lamaran, tumpeng kadang dibawa pihak pria sebagai bagian dari seserahan.
Selain itu, tumpeng juga hadir dalam acara khitanan, saat anak gadis akil balig, dan sebagainya.
Acara Adat atau Ritus Kehidupan
Pada acara Selapanan (35 hari setelah kelahiran bayi), tumpeng disajikan sebagai simbol terima kasih atas perkembangan awal bayi.
Pada acara Tingkeban (Mitoni -- lihat di atas) dan Tedhak Siten (turun tanah, ketika bayi berusia 7 (tujuh) atau 8 (delapan) bulan, di mana bayi mulai belajar berjalan), tumpeng hadir sebagai bagian dari rangkaian prosesi.