Secara filosofis dan teologis kekristenan, menjadi pertanyaan, apakah hukum buatan manusia (Hukum Positif) dapat mengalahkan hukum Ilahi (Hukum Kanon/Hukum Gereja)?
Ini adalah pertanyaan filosofis dan teologis yang sangat mendalam dan penting, yang telah diperdebatkan selama berabad-abad. Penerimaan hukum buatan manusia (Hukum Positif) yang lebih diutamakan daripada Hukum Ilahi, seperti Hukum Kanon dalam agama Kristen, bergantung pada kerangka filosofis, teologis, dan politik yang diterapkan. Berikut adalah uraian perspektif utama yang Penulis coba berikan.
Pandangan Teistik/Hukum Alam Klasik (misalnya, Thomas Aquinas)
Hukum Ilahi adalah yang tertinggi. Dari sudut pandang ini, Hukum Ilahi (baik yang diwahyukan melalui Kitab Suci atau dipahami melalui hukum alam) lebih tinggi daripada hukum manusia (Hukum Positif).
Hukum manusia hanya berlaku jika sesuai dengan Hukum Ilahi atau Hukum Alam: Aquinas dengan terkenal berkata, "Hukum yang tidak adil bukanlah hukum sama sekali" (lex iniusta non est lex).
Hukum Kanon, dalam kerangka ini, adalah bentuk hukum gerejawi yang berasal dari Hukum Ilahi. Jika hukum negara bertentangan dengannya, hukum negara akan dianggap tidak sah menurut hati nurani, meskipun dapat ditegakkan.
Dalam pandangan ini, Hukum Ilahi tidak boleh dilanggar oleh hukum negara.
Positivisme Hukum Sekuler (misalnya, Thomas Hobbes, John Austin)
Hukum negara adalah yang tertinggi: Penganut positivis hukum berpendapat bahwa satu-satunya hukum yang sah adalah hukum yang dibuat dan ditegakkan oleh negara. Moralitas atau teologi dapat menginspirasi hukum, tetapi hukum tersebut tidak mengikat kecuali dikodifikasikan oleh negara.
- Hukum Kanon tidak mengikat dari sudut pandang hukum publik kecuali diadopsi ke dalam sistem hukum suatu negara.
- Pendekatan ini memungkinkan pemisahan gereja dan negara.
- Dalam pandangan ini, hukum buatan manusia/negara memiliki prioritas dalam mengatur masyarakat.
Pendekatan Otoritas Ganda (misalnya, Augustinus, Luther, beberapa negara demokrasi modern)
Pendekatan ini mengakui dua ranah otoritas: spiritual dan temporal.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!