Hukum Kanon vs. Hukum Negara
Hukum Kanon mengatur kehidupan internal Gereja Katolik. Hukum ini mengikat umat Katolik, khususnya para imam dan anggota Gereja, dalam hal-hal seperti sakramen, properti Gereja, dan doktrin.
Namun, Hukum Kanon tidak mengesampingkan hukum positif di pengadilan sekuler --- kecuali negara mengakuinya secara sukarela (misalnya, di Italia atau Filipina, untuk beberapa hukum perkawinan).
Akan tetapi, dalam hal kesadaran moral, Hukum Kanon dan Hukum Ilahi lebih unggul. Seorang Katolik yang taat akan mengutamakan ketaatan kepada hukum Tuhan daripada perintah negara, bahkan dengan mengorbankan diri sendiri (mati sebagai martir, dipenjara, dan lain-lain).
Jadi, dari sudut pandang filsafat Katolik, tidak dapat diterima jika hukum buatan manusia merendahkan Hukum Ilahi. Hukum Positif harus sesuai dengan tatanan moral yang lebih tinggi yang berakar pada kehendak Tuhan.
Penutup
Yang menjadi pertanyaan untuk menutup artikel ini adalah:
Jika umat yang melakukan pengakuan dosa tidak melihat wajah pastor dan pastor tidak melihat wajah umat, dan yang didengar hanya suara masing-masing saja, bagaimana seorang pastor dapat mengetahui orang yang sedang mengaku dosa untuk dilaporkan kepada pihak yang berwenang jika ia mengaku berdosa melakukan kekerasan dan penganiayaan terhadap anaknya?
Lagipula, bagi umat yang mengaku dosa, tidak ada kewajiban mengungkap identitasnya (nama (lengkap), alamat dan sebagainya).
Kalau umat yang mengaku dosa tersebut dalam kesehariannya memang bergaul akrab dengan sang pastor, dan sang pastor juga mengetahui identitas lengkapnya, sehingga dari suaranya saja akan ketahuan siapa orangnya, maka kewajiban untuk melaporkan umat tersebut kepada pihak yang berwenang sesuai Hukum Positif, yang akan diberlakukan di Negara Bagian Washington, dapat dipenuhi.
Sebagaimana dilaporkan oleh The Catholic Herald, saat ini US Justice Department sedang memeriksa dan mengkaji hukum negara bagian yang memaksa para pastor untuk melanggar sumpah kerahasiaan pengakuan dosa (confession seal).