Kita hidup di era digital---sebuah periode yang tak terbantahkan membawa kemudahan, percepatan, dan interkonektivitas global. Namun, di balik kemudahannya, era ini juga melahirkan tantangan eksistensial: identitas, pekerjaan, dan masa depan individu kini menjadi semakin cair, tidak pasti, dan rentan.
Perubahan ini, yang bertindak sebagai katalisator, mengaburkan batas-batas realitas dan mempercepat fluiditas dalam berbagai aspek kehidupan. Akibatnya, muncul kecemasan baru yang lebih mendalam dan menyebar luas.
Tulisan ini mencoba menguraikan bagaimana era digital memperparah kecemasan dan ketidakpastian yang telah diwariskan dari era "modernitas cair" (liquid modernity), sekaligus menimbang: haruskah kita melawan fluiditas ini atau justru memeluknya secara adaptif dan inovatif?
Modernitas Cair: Fondasi Ketidakpastian Baru
Era digital memiliki kemiripan yang kuat dengan gagasan "modernitas cair" dari Zygmunt Bauman. Dalam bukunya Liquid Modernity (2000), Bauman menggambarkan masyarakat kontemporer sebagai dunia yang kehilangan struktur tetap---segalanya mengalir, berubah cepat, dan sulit digenggam.
Berbeda dari "modernitas padat" (solid modernity), yang ditandai oleh stabilitas, institusi yang kokoh, dan struktur sosial yang jelas, "modernitas cair" menyuguhkan kondisi sosial yang serba fleksibel namun rapuh. Nilai-nilai kekeluargaan, pekerjaan tetap, bahkan identitas nasional yang dulunya menjadi jangkar kini mulai luntur. Dunia menjadi seperti air: mengalir, sulit dibentuk, dan terus bergerak.
Teknologi, globalisasi, dan kapitalisme konsumen mempercepat proses ini. Bauman telah memperingatkan: pekerjaan, identitas, bahkan masa depan kini bersifat sementara. Dan era digital datang bukan untuk menyembuhkan keresahan itu, tetapi justru mempercepatnya.
Dampak Fluiditas
Hari ini, pekerjaan tidak lagi menjadi jangkar kehidupan. Model kontrak jangka pendek, ekonomi gig, hingga startup yang muncul dan hilang dengan cepat adalah norma baru. Laporan World Economic Forum (2025) memperkirakan hilangnya beberapa jenis pekerjaan dalam lima tahun ke depan, seperti teller bank, kasir, petugas layanan pos, dan bahkan desainer grafis.
Di sisi lain, identitas pun menjadi labil. Media sosial memungkinkan seseorang memamerkan persona berbeda di tiap platform: profesional di LinkedIn, hedonis di Instagram, dan kritis di X. Identitas bukan lagi tunggal dan statis, melainkan multifaset dan berubah tergantung konteks.
Era digital bukan sekadar fenomena baru---ia adalah akselerator dari modernitas cair. Kecemasan yang dulunya samar kini menjelma nyata dan konkret.