Mohon tunggu...
Pormadi Simbolon
Pormadi Simbolon Mohon Tunggu... Pecinta Filsafat

Alumnus STFT Widya Sasana Malang dan STF Driyarkara

Selanjutnya

Tutup

New World

Bertahan dan Bertumbuh di Era Digital yang Makin Cair

6 Juni 2025   12:16 Diperbarui: 6 Juni 2025   12:16 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Foto: https://www.institutefordigitaltransformation.org/)

Manifestasi Konkret di Era Digital

Pertama, media sosial menjadi arena utama pembentukan identitas yang cair. Momen-momen yang dikurasi menciptakan tekanan untuk terus tampil sempurna, memunculkan fenomena FOMO (fear of missing out), dan memperkuat rasa "tidak cukup." Kita hidup dalam masyarakat konsumen yang menuntut pencitraan terus-menerus.

Penelitian Arum Ratna Dewi (BMC Public Health, 2021) mengungkapkan dampak jangka panjang dari keterpaparan anak-anak terhadap standar sukses "semu" di internet---sebuah kecemasan yang berakar sejak usia dini.

Kedua, banjir informasi hiper-cepat memicu kebingungan dan kegelisahan. Siklus berita tanpa henti, sering kali bombastis tanpa verifikasi, menimbulkan ketidakpastian akan kebenaran. Contohnya: hoaks penghapusan pelajaran agama sempat menimbulkan kepanikan publik.

Ketiga, budaya kerja always-on menimbulkan kelelahan mental (burnout). Batas antara pekerjaan dan kehidupan personal makin kabur. Survei Lembaga Penelitian Kesehatan Mental (rri.co.id, 30 Desember 2024) menyebutkan 60% pekerja Indonesia mengalami gejala burnout, seperti depersonalisasi dan kelelahan emosional.

Keempat, budaya cancel menciptakan ketidakamanan eksistensial. Satu pernyataan bisa menghancurkan reputasi yang dibangun bertahun-tahun. Figur publik seperti Deddy Corbuzier dan Rachel Vennya pernah mengalaminya. Solidaritas digital bisa hadir sekejap, lalu menghilang, meninggalkan kehampaan bagi korban.

Strategi Bertahan

Menolak fluiditas adalah hal yang sia-sia. Yang bisa kita lakukan adalah menyikapinya secara bijak, adaptif, dan inovatif.

Pertama, pembatasan dan pendampingan penggunaan media sosial. Pemerintah perlu mendorong pembatasan usia, dan orang tua harus menjadi pendamping aktif. Orang tua perlu mengajak anak unfollow akun-akun yang memberi pengaruh negatif, dan ajarkan selektivitas digital.

Kedua, digital detox. Kita perlu mengambil jeda dari layar. Lebih baik berinteraksi secara langsung dengan keluarga dan teman. Mari menikmati dunia nyata. Mari rekatkan kembali koneksi sosial yang sejati.

Ketiga, peningkatan literasi digital. Pendidikan dan kampanye publik harus menanamkan pemahaman etis dan kritis dalam penggunaan teknologi. Literasi digital bukan sekadar keterampilan teknis, tetapi juga kesadaran sosial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten New World Selengkapnya
Lihat New World Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun