Mohon tunggu...
David Olin
David Olin Mohon Tunggu... Pustakawan - Belum terlambat aku mencintai-Mu

Setiap kali menatap mentari, bulan selalu mendapat cahaya baru (IG: @david.usolin.sdb) Note: Semua tulisan dalam platform ini dibuat atas nama pribadi.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Pemikiran Teologi dan Politik Spinoza

21 November 2019   21:04 Diperbarui: 21 November 2019   21:00 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Benedict de Spinoza -- A Theologico-Political Treatise Part I

 Baruch Spinoza (kemudian dikenal dengan nama Benedict de Spinoza) lahir pada tanggal 24 November 1632 di Amsterdam. Kaumnya disebut Sephardim (keturunan Yahudi Spanyol dan Portugis). Ia merupakan satu-satunya orang Yahudi sebelum Karl Marx yang menempati jajaran terdepan filsuf barat. 

Ia dikutuk di sinagoga pada tahun 1656. Setelah diusir dari komunitasnya, ia bekerja sebagai pengrajin lensa, suatu profesi yang terbilang baru pada saat itu. Ia menolak tawaran mengajar di Universitas Heidelberg pada tahun 1673 karena ingin bebas berfilsafat secara bebas. Ia meninggal dunia pada tahun 1677.

Pada tahun 1663, Spinoza pindah ke Voorburg (dekat Hague). Ia berkenalan dengan Johan DeWitt, PensionarisAgung Belanda.[1] Pada bulan Juni 1665, ia hampir menyelesaikan bagian ke-3 dan ke-4 dari karyanya yang termashyur, yaitu Etika. 

Akan tetapi, karena gejala politik yang terjadi secara tiba-tiba, Spinoza menunda penyelesaian karya itu. Sebagai gantinya, ia mengerjakan Tractatus Theologico-Politicus.[2]

 Penulis tidak akan membahas seluruh bab dalam TTP. Penulis akan memfokuskan diri pada bagian pertama yang terdiri atas lima bab. Tulisan ini dibagi menjadi tiga bagian. 

Pertama, penulis akan memberikan gambaran umum mengenai inti pemikiran Spinoza terhadap Kitab Suci maupun masalah politik. Tulisan-tulisannya dalam TTP mendukung prinsip-prinsip demokrasi modern yang kita kenal saat ini. Kedua, penulis akan memaparkan kelima bab itu satu demi satu. Ketiga, penulis akan memberikan kesimpulan dan tanggapan pribadi tentang pemikiran Spinoza.

Situasi Belanda saat itu

             Republik Belanda (Dutch Republic) - dengan pusat pemerintahan saat itu berada di Hague - merupakan suatu "federasi longgar" dari tujuh provinsi. Salah satu provinsi yang paling kaya dan berpengaruh di kancah dunia adalah Holland. Johan DeWitt mempertahankan toleransi beragama dan kebebasan berkspresi. Lawannya adalah para pemuka agama Kalvinis dan oknum lain yang ingin mendirikan sebuah negara agama (teokrasi) yang didukung oleh Dinasti Orange.[3]

             Pergulatan di antara dua kubu ini diperburuk dengan kekalahan Belanda dalam perang melawan Inggris dan Swedia (1665-1667), kemudian dengan Inggris dan Prancis (1672). Spinoza menjadi sahabat dan pendukung DeWitt. Dalam surat-menyuratnya, Spinoza menyatakan bahwa tujuannya menulis TTP adalah: 

  • memaparkan asumsi-asumsi para teolog
  • membuktikan bahwa dirinya tidak terlibat dalam kasus ateisme
  • membela kebebasan, khususnya kebebasan berpikir. 

Saat dipublikasikan pada tahun 1670, situasi saat itu amat berbahaya. Karena itu, ia mempublikasikan karyanya ini secara anonim dan berkala, kendati publikasinya berada di bawah perlindungan DeWitt. Risalah ini secara keseluruhan terdiri dari 20 bab yang dibagi dalam empat bagian. Metode yang digunakan oleh Spinoza adalah kajian rasional terhadap klaim-klaim teologis dan politis. Ia mengajukan argumen-argumen yang didukung dengan teks-teks Kitab Suci (textual evidence). 

Pemikiran Spinoza mengandung tendensi naturalisme dan monisme. Yang pertama dapat dilihat dari pandangannya tentang pengetahuan. Baginya, pikiran manusia bukanlah suatu ciptaan Allah yang istimewa. Pengetahuan adalah fungsi alamiah, bukannya rahmat yang bersifat supranantural. Selain itu, ia menolak analisis Descartes mengenai peran Tuhan terhadap pengetahuan manusia. 

Tentang substansi, Spinoza menekankan kesatuan (monisme). Yang ada hanyalah satu substansi. Pikiran dan tubuh manusia adalah perluasan (dalam istilah Descartes) dari substansi yang satu itu, yaitu Allah. Dalam TTP, Spinoza menulis: 

"Semakin kita tahu benda-benda alamiah, semakin besar dan semakin sempurna pula pengetahuan yang kita miliki tentang Allah. Semakin kita mengetahui benda-benda alam, semakin sempurna kita mengetahui esensi Allah, yang merupakan penyebab segala sesuatu" (TTP, Bab 4, bagian II: 60).

  Spinoza mengkritisi sikap superstitious alias kepercayaan pada takhayul.[4] Hanya dalam suasana yang bebas sajalah kesalehan akan tumbuh dan kedamaian bersama akan terjamin. Dengan kata lain, Spinoza berpendapat bahwa bukan dengan percaya kepada takhayul yang membawa kedamaian, melainkan dengan kebebasan dalam berpikir. 

 Sikap agama yang picik dan tidak sejati dapat terlihat apabila apa iman dan keyakinan seseorang tidak sesuai dengan praksis hidupnya. Seorang penyembah Allah yang sekaligus penumpah darah orang yang tak bersalah bukanlah penyembah yang benar. Orang diakui beragama secara sejati ketika perbuatannya sejalan dengan pikirannya dan perkataannya. 

Selain dalam bidang filsafat, Spinoza mengemuka sebagai cendekiawan pertama yang mempelajari Kitab Suci sebagai tulisan historis. Konsekuensinya, Kitab Suci dapat dikaji secara rasional. Ia menyelidiki tiga hal utama tentang Kitab Suci, yaitu struktur sastra, tanggal penulisan, dan pengarangnya. Berkat usahanya mempelajari Kitab Suci secara rasional (baik yang kanonik maupun tidak), Spinoza dipandang sebagai pelopor kritik Kitab Suci. Ia -- seperti halnya Moses Maimonides -- berhasrat mempelajari Kitab Suci untuk menemukan pesan-pesan rasional daripadanya.[5]

 Ia mengkritik penafsiran harfiah terhadap Sabda Tuhan, ketika orang menganggap bahwa setiap kata dalam Kitab Suci itu "tidak terbantahkan, tidak dapat salah, ilahi". Jika seseorang konsisten dengan keyakinan ini, maka perbuatannya juga harus dapat dipertanggungjawabkan secara rasional. Kepercayaan buta hanya membawa orang pada semacam agama formal, dan bukan iman yang dihidupi.

 

Pemikiran Spinoza tentang Politik 

Politik tidak bisa lepas dari pemerintah. Bagi Spinoza, kekuasaan bisa dipegang baik oleh individu tertentu maupun oleh kelompok. Entah kekuasaan itu dipegang oleh satu atau beberapa orang, tugasnya tetap sama, yaitu untuk menjamin perdamaian dan keamanan. Hal ini bisa terwujud apabila setiap pemegang kekuasaan mematuhi hukum, termasuk di saat mereka sedang mengatasi kejahatan. Dengan kata lain, penegakan keadilan tidak boleh sampai melanggar hukum. 

Lebih lanjut, pemerintah mengemban tanggung jawab untuk menjamin struktur pemerintahan yang legal dan menyediakan suatu visi hidup bersama yang mampu mendamaikan perbedaan-perbedaan antar individu dan menjamin keharmonisan serta kerja sama di dalam suatu negara. Kebebasan individu jangan sampai merusak keamanan hidup bersama. Maka, tidak heran apabilan Jonathan Israel menyebut Spinoza sebagai "pemikir besar Eropa pertama dalam zaman modern yang mengangkat republikanisme demokratis sebagai bentuk organisasi politik yang paling tinggi dan hampir sepenuhnya rasional."[6] 

Di lain pihak, Spinoza menekankan ketaatan (obedience) kepada penguasa yang sah, sekalipun penguasa itu jahat. Dari sudut pandang ini, pemikiran politiknya lebih "otoritatif" dibandingkan dengan Leviatan-nya Thomas Hobbes. Hobbes masih membenarkan pemberontakan rakyat terhadap penguasa yang menciptakan ketakutan, atau yang membuat suatu negara mundur menuju kondisi alamiah (state of nature: homo homini lupus). Spinoza melarang hal itu.

 

Bab Satu: Menggugat Warta Kenabian

 Pada Bab I (On Prophecy), Spinoza mengatakan bahwa para nabi memiliki banyak sekali imajinasi luar biasa yang aneh, tetapi tidak mempunyai pikiran yang sempurna. Contoh konkretnya ada pada Salomo. Ia merupakan orang yang paling bijak tetapi tidak masuk dalam kalangan para nabi. Dengan kata lain, nabi itu belum tentu cemerlang pikirannya. Sebaliknya, orang yang cerdas belum tentu adalah nabi.

 Warta kenabian adalah pengetahuan yang benar yang disingkapkan Allah kepada manusia. Seorang nabi merupakan penafsir pewahyuan (yang ia terima dalam bentuk insight) bagi mereka yang belum memahami secara jelas pesan tersebut. Orang-orang biasa tidak dapat mencapai pengetahuan itu secara pasti. Mereka paling banter bisa mendekati pengetahuan itu dengan iman yang sederhana.

 Dalam uraiannya tentang kenabian, Spinoza menyatakan bahwa pewahyuan mencakup dua hal sekaligus, yakni: pengetahuan yang mengatasi akal manusia, maupun pengetahuan biasa/imanen (ordinary). Bagi dirinya, mustahil jika Allah berkomunikasi dengan manusia tanpa menggunakan hal-hal yang telah kita ketahui dengan nalar sehat.

 Untuk menjelaskan tentang pengetahuan, Spinoza menggunakan argumen metafisis. Salah satunya adalah dengan menggunakan terminologi causa prima. Menurutnya, kodrat pikiran manusia merupakan causa prima dari pewahyuan Yang Ilahi. Hal ini mungkin terjadi karena pikiran kita secara subjektif mengandung dalam dirinya sendiri hakikat Allah. Penjelasan mengenai hal-hal ini dengan merujuk pada Kitab Suci dalam terang akal budi dinilainya cukup memadai. Cukuplah akal budi saja yang diperlukan untuk membahasnya.

 Pertanyaan Spinoza adalah: apakah pengetahuan transendental dalam Kitab Suci itu mungkin? Argumennya sebagai berikut: Kitab Suci banyak menggunakan metafora. Sementara itu, untuk mengetahui arti sesungguhnya yang hendak dikatakan oleh penulis, mustahil untuk menarik kesimpulan dari pernyataan metaforis. Apalagi, bagi orang Yahudi, tidak ada penyebab kedua atau partikular. Bagi mereka, semua kebaikan merujuk pada keilahian, termasuk kebutuhan-kebutuhan mereka.

 Lebih jauh, Spinoza merumuskan dua unsur utama yang membentuk pewahyuan dalam Kitab Suci yaitu sabda dan penampakan. Pewahyuan sendiri bisa berisikan entah sabda saja, atau penampakan saja, atau gabungan keduanya. Ada dua jenis untuk gabungan keduanya yaitu: 1) riil, nyata, ketika hal itu berada di luar pikiran nabi yang melihat atau mendengarnya, 2) imajinatif, ketika imajinasi sang nabi berada pada tingkat yang benar-benar mengarahkannya seolah-olah ia mendengar atau melihatnya. Salah satu contoh suara yang riil adalah suara Tuhan kepada Musa di Kel 25:22. Menurut Spinoza, tidak ada suara riil lainnya kecuali suara ketika Allah berbicara dengan Musa seperti dua orang sahabat.

 Bandingkan dengan panggilan Samuel sebagai contoh kedua. Ketika Samuel mendengar suara panggilan itu untuk ketiga kalinya, ia mengira suara itu berasal dari Eli. Yang didengar oleh Samuel itu adalah suara imajinatif, karena pada saat itu Samuel sedang dibiasakan untuk mendengarkan (sebagai pelayan di Bait Allah). Contoh ketiga sebagai pembanding adalah suara yang didengar oleh Abimelekh (Kej 20:6). Mimpi merupakan imajinasi dalam arti yang paling aktif dan paling tidak dapat dikontrol.

 Karena itulah, Allah menggunakan sarana komunikasi yang dapat diakses oleh manusia. Hal ini terlihat paling jelas ketika Ia mengatakan, "Akulah Tuhan Allahmu". Manusia secara pribadi adalah satu-satunya makhluk yang secara verbal dapat mengatakan atau mengekspresikan kodrat Allah (yang juga adalah pribadi). Ketika seseorang mengatakan "Saya mengerti", ungkapan ini tidak diatribusikan pada mulut yang mengucapkannya, melainkan pada pikiran si pengucap.

 Salah satu isi pewahyuan yang paling penting adalah perintah. Sepuluh Perintah Allah di Gunung Sinai bersifat preskriptif dan mengandung tuntutan tindakan. Perintah ini menjadi standar kebenaran bagi seluruh bangsa. Perintah yang sama melarang orang Israel mencari figur lain selain Allah sendiri. Sementara itu, Allah sendiri tidak kelihatan.

 Spinoza menunjukkan ayat-ayat Kitab Suci yang menggambarkan sarana-sarana pewahyukan hukum Allah kepada manusia. Dalam 1 Tawarikh 22, Allah menunjukkan murka-Nya kepada Daud melalui malaikat yang membawa sebilah pedang. Hal yang sama juga dapat kita temui dalam kisah Bileam (Bil 22:21-35). Figur malaikat ini tidak hadir secara riil, tetapi eksistensinya hanya ada dalam imajinasi nabi. Imajinasi termasuk dalam daya inteligensi manusia.

 Melalui tanda-tanda dan penampakan, Allah menyatakan diri-Nya (bdk Bil 12:6- 7). Keduanya hanyalah sarana komunikasi antara Allah dengan manusia. Sangat sulit membayangkan seseorang yang dengan intuisi murninya mampu memahami ide-ide yang tidak terdapat dalam pikirannya sendiri (secara deduktif). Dengan demikian, pengetahuan dalam Kitab Suci tidak melampaui akal budi manusia alias tidak bersifat transendental.

  

Yesus Kristus dan Roh Tuhan

 Dalam Kristus, pemahaman ini berubah secara total. Melalui Kristus, Allah mewahyukan diri-Nya secara langsung. Suara Kristus (dalam kaitan dengan suara yang didengar oleh Musa) dapat disebut suara Tuhan, hikmat Allah. Dengan begitu, kita dapat menyimpulkan bahwa tidak ada seorangpun selain Kristus yang menerima pewahyuan tanpa bantuan imajinasi, entah dalam kata-kata maupun penglihatan. Spinoza tidak mengakui atau menyangkalnya, tetapi dengan bebas ia mengakui bahwa ia tidak mengerti doktrin-doktrin Gereja tersebut.

 Setelah "mengadili" pewahyuan dengan akal budi, Spinoza melangkah lebih jauh. Ia menganalisis tentang Roh yang dihembuskan kepada para nabi. Ia merujuk pada kata Ibrani, roo'-akh, yang umumnya diterjemahkan sebagai roh.

 Secara harfiah, kata ini berarti angin, tetapi juga menjadi tanda bagi hal yang lain. Misalnya, nafas, keberanian dan kekuatan, kebajikan, sifat pikiran, kehendak, tujuan, hasrat, dan rangsangan. Orang Yahudi menggunakan kata benda untuk menunjukkan sifat-sifat tertentu. Maka, tidak heran bahwa ketika mereka tidak mampu memahami fenomena tertetu atau gagal memahami penyebabnya, mereka merujuk hal-hal itu pada Tuhan.

 Dengan demikian, kita dapat memahami dan menjelaskan ayat-ayat Kitab Suci yang berbicara tentang Roh Tuhan. Misalnya, setiap kekuatan atau kebajikan yang tidak terpahami disebut Roh atau Kebajikan Tuhan (bdk Kel 31:3). Para nabi yang katanya "dihinggapi Roh" ternyata dihinggapi oleh suatu daya yang langka dan luar biasa. Atas dorongan itu, mereka menyerahkan diri mereka sendiri kepada sebentuk laku saleh dengan ketetapan hati yang khusus. Mereka membuat jarak antara diri mereka sendiri dengan orang-orang biasa yang tidak memiliki "karunia" semacam itu.[7] 

 Para nabi mengungkapkan segala insight yang telah mereka peroleh dalam bentuk perumpamaan dan alegori-alegori. Mereka membungkus kebenaran spiritual dalam rupa "badani", sama seperti metode yang biasa dilalui oleh imajinasi. Jadi, jangan heran bila Kitab Suci berbicara dengan sangat aneh dan kabur tentang Roh Allah (Bil 11:17, 1 Raj 22:21).

 Semua ungkapan ini jelas sekali selaras dengan pemahaman yang sudah dijelaskan di atas tentang roh. Selanjutnya, kita tahu bahwa daya kenabian tidak bertahan lama dan tidak stabil, sama seperti daya imajinasi. Sebaliknya, hal-hal itu sangat jarang terjadi dan hanya termanifestasikan pada segelintir orang saja. Kita bisa menyelidiki lebih lanjut alasan mengapa para nabi begitu yakin akan pewahyuan eksklusif yang telah mereka terima.

 

Bab Dua: Menggugat Para Nabi

 Dalam bab ini, Spinoza ingin menunjukkan bahwa seruan kenabian itu berbeda-beda, tergantung dari imajinasi, tabiat dari nabi yang bersangkutan, serta yang paling penting, opini-opini partikular dari sang nabi itu sendiri. Lebih jauh lagi, seruan kenabian itu tidak pernah membuat nabi yang bersangkutan menjadi lebih bijaksana. Yang dimiliki oleh sang nabi itu merupakan imajinasi, bukannya pikiran sempurna yang luar biasa.

 Spinoza mempertanyakan jaminan kebenaran yang diterima oleh para nabi, sebab ini akan berkaitan langsung dengan masalah yang akan dibahas dalam bab ini. Selain itu, jaminan ini akan membantu pemahaman kita tentang persoalan kenabian.

 

Imajinasi

 Sudah dikatakan dalam bab sebelumnya, bahwa pada dasarnya, imajinasi tidak memiliki kepastian kebenaran. Dalam arti tertentu, pengetahuan kenabian itu lebih rendah (inferior) daripada pengetahuan alamiah (kodrati). Pengetahuan natural tidak membutuhkan tanda apapun dan dalam dirinya sendiri mengandung kepastian.

 Lebih jauh lagi, kepastian pengetahuan kenabian itu bukan bersifat matematis, melainkan hanya menyangkut moral. Karena itu, dapat dikatakan bahwa pewahyuan itu bersifat terbuka terhadap keragu-raguan. Namun, Allah tidak mungkin menipu orang-orang pilihan-Nya sendiri. Pewahyuan memang mungkin diragukan, tetapi pada saat yang sama mengandung kepastian juga. Allah menggunakan benda/hal yang baik sebagai instrumen kebaikan, tetapi orang yang congkak dijadikan sasaran kemurkaan-Nya.

 Ada tiga hal yang menjadi jaminan kepastian suatu warta kenabian yakni: 1) Hal yang diwahyukan itu diimajinasikan secara cepat, sedemikian cepat sehingga membuat para nabi melihat hal itu secara sangat jelas seperti saat terjaga; 2) adanya suatu tanda; dan 3) pikiran nabi itu ada dalam keadaan yang utuh, artinya terarah pada apa yang benar dan baik.

 Melalui tanda-tanda, para nabi berusaha memberi jaminan kepastian yang bersifat moral. Seandainya tanda-tanda itu dapat dijamin secara matematis, tentu tanda-tanda itu bisa meyakinkan orang lain yang tidak sependapat dengan sang nabi. Dalam kenyataannya, tanda-tanda itu diberikan sesuai dengan pendapat masing-masing nabi. Itulah sebabnya suatu tanda yang diperoleh seorang nabi sangat seringkali gagal meyakinkan orang lain (dalam hal ini umat Israel) yang berbeda pandangan. Selain itu, tanda-tanda yang diberikan juga bervariasi, tergantung pada masing-masing nabi.

 

Disposisi 

Apabila seorang nabi memiliki sifat ceria, cinta damai, optimis, ia akan dengan mudah menerima pewahyuan yang menyenangkan hati, sebab secara alamiah ia lebih mudah membayangkan hal-hal semacam itu. Di lain pihak, apabila seorang nabi memiliki sifat melankolis, suka kekerasan, pembunuhan, perang, gampang marah, maka ia lebih cocok untuk jenis pewahyuan yang lain. Apabila seorang nabi merupakan orang terdidik, ia menerima pewahyuan dengan cara yang terdidik pula. Sebaliknya, tingkat pemahamannya masih rendah, ia akan menerima pewahyuan secara kabur.

 Hal ini berlaku pula untuk vision. Jika seorang nabi adalah seorang petani desa, maka apa yang ia lihat adalah sapi, kerbau, domba, dsb. Jika ia adalah seorang prajurit, ia melihat pasukan-pasukan perang. Bila ia adalah seorang pengawal istana, ia akan menerima gambaran kursi kerajaan. Dalam cerita Tiga Majus dari timur, mereka yakin pada ramalan bintang. Kelahiran Yesus diketahui dengan melihat sebuah bintang di Timur.

 Mengenai penglihatan-penglihatan, Spinoza menunjukkan dengan teks-teks Kitab Suci bahwa setiap nabi memiliki penglihatan yang berbeda-beda, tergantung dari bentuk (form) apa yang sering dibayangkan. Sebagai contoh, Yesaya melihat kemuliaan Allah secara berbeda dari penglihatan Yehezkiel. Spinoza mengkritik para Rabbi Yahudi yang bersikukuh menyatakan bahwa keduanya sama. Yesaya melihat seraphim bersayap enam, sedangkan makhluk yang dilihat Yehezkiel bersayap empat; Yesaya melihat Allah mengenakan mantol dan duduk di atas takhta, sedangkan Yehezkiel melihat Allah itu serupa api.

 Daftar ini bisa dibuat lebih panjang. Semuanya ingin menunjukkan bahwa suatu "penglihatan" amat bergantung pada hal-hal yang ada dalam akal budi nabi yang bersangkutan.

 

Opini-opini 

Teori atau ajaran yang mengatakan bahwa "tidak mungkin Allah mewahyukan diri kepada seseorang saat orang itu sedang dalam keadaaan marah" tidak dapat diterima lagi. Kitab Suci membuktikan yang sebaliknya.

 Musa menerima pewahyuan pembunuhan anak sulung Mesir dalam keadaan marah; Kain dalam panas amarahnya juga menerima gugatan Allah atas darah adiknya; Yeremia yang sedang bersusah hati menubuatkan bencana yang akan menimpa orang Ibrani. Daftar ini bisa dibuat lebih panjang. Namun, contoh-contoh di atas hanya ingin membuktikan bahwa setiap nabi lebih cocok menerima satu jenis pewahyuan (entah penghukuman, pemulihan, janji keselamatan) berdasarkan temperamen yang mereka miliki.

 Gaya (style) setiap nabi dalam menyampaikan pesan mereka amat tergantung dari kefasihan tiap-tiap orang. Gaya penulisan Yehezkiel dan Amos lebih "mentah" bila dibandingkan dengan gaya penulisan Yesaya dan Nahum. Para ahli Kitab Suci pasti bisa menemukan perbedaan gaya penulisan yang amat mencolok di dalamnya.

 Hal ini menunjukkan secara jelas bahwa Allah tidak memiliki gaya berbicara tertentu. Sebaliknya, nada (tone) pesan-pewahuan Allah amat ditentukan oleh tingkat pendidikan dan kapasitas setiap nabi: entah hukuman dahsyat, menyenangkan, menekan, tidak resmi, membosankan karena banyak kata-kata, atau bahkan membingungkan.

 Apa yang hendak disoroti oleh Spinoza secara panjang lebar dalam bab ini adalah kaitan antara intelek dan nabi. Ia keberatan terhadap pandangan yang mengatakan bahwa para nabi mengetahui segala sesuatu yang ada dalam cakupan intelek manusia. Spinoza menyimpulkan bahwa pewahyuan tidak menuntut seorang nabi untuk menjadi orang yang lebih terpelajar. Biarlah mereka (para nabi) bertahan dalam opini yang telah mereka ajukan sejak awal. Yang penting, kita (para pembaca) tidak harus mempercayai mereka dalam hal-hal yang berkaitan degan intelek.

 Satu hal penting yang menguatkan pendirian Spinoza adalah Teori Copernicus mengenai heliosentris. Spinoza amat heran dengan pihak yang bersikukuh dengan pendirian bahwa matahari bergerak mengitari bumi. Mereka mendasarkan diri pada Kitab Yosua. Dengan begitu, tidak ada halangan untuk mengatakan bahwa para nabi itu tetaplah manusia biasa yang tidak lepas dari keterbatasan. Sebagai nabi, mereka juga manusia dan bukan yang lain.  

 Dalam pewahyuan yang diterima oleh Musa, kita dapat menemukan bahwa pesan-pesan tersebut termaktub dalam opini-opini berikut: Ia percaya bahwa kodrat keilahian (Divine Nature) merupakan subjek alias pelaku terhadap kondisi-kondisi semisal belas kasihan, kemurahan hati, dan sebagainya. Karena itu, Allah mewahyukan diri berdasarkan ide-ide Musa sendiri dan berdasarkan atribut-atribut ini.

 Musa tidak membentuk gambaran mental tertentu tentang Allah, sehingga Allah tidak menyatakan diri dalam bentuk apapun. Di lain pihak, nampaknya ada kontradiksi, sebab Musa bercakap-cakap dengan Allah sama seperti dua orang sahabat. Musa juga percaya bahwa kepada Allah, manusia dapat mengarahkan pandangan-Nya.

 Bangsa Israel sendiri tidak mengenal apa itu kebajikan tertinggi dan kebahagiaan sejati. Sepanjang perjalanan di padang gurun, mereka masih menganggap aturan-aturan yang diberikan oleh Musa itu sebagai suatu belenggu daripada kebebasan yang sejati. Hal ini akan berbeda apabila mereka melihatnya sebagai karunia dari Allah sendiri. Musa memberi hukum untuk mencintai Allah dan menjaga ketetapan-ketetapan-Nya karena ia sendiri sudah mengalami "manfaat" dari Allah (pembebasan dari Mesir).

 

Sikap terhadap pesan-pesan kenabian 

Spinoza membela kebebasan manusia di hadapan pesan kenabian. Setiap orang boleh percaya atau tidak.  Setiap orang hanya bisa percaya terhadap suatu pesan sejauh akal budinya memungkinkan. 

Hal ini berlaku juga dalam Perjanjian Baru. Dalam Mat 12:26, Yesus hanya ingin meyakinkan orang-orang Farisi dengan bertolak dari prisip-prinsip mereka sendiri. Yesus tentu tidak bermaksud mengajarkan bahwa ada kerajaan setan atau hal-hal semacam itu. Juga dalam Mat 8:10, ia ingin mengingatkan para murid agar waspada terhadap kesombongan dan kebencian terhadap sesama.

 Akhirnya, Spinoza mengatakan bahwa ketiga usur yang ada dalam pewahyuan (imajinasi, disposisi, dan opini) dapat ditemukan juga dalam surat-surat apostolik. Pembahasannya mengenai para nabi dan pesan kenabian adalah satu-satunya hal yang memiliki akibat langsung terhadap pemisahan filsafat dan teologi. 

Dalam bagian ketiga nanti, Spinoza akan mengadili di hadapan akal budi, apakah warta kenabian itu secara khusus hanya ada pada orang-orang Ibrani saja, ataukah gejala ini umum bagi semua bangsa? Hal ini akan bersentuhan langsung dengan panggilan orang-orang Israel.

 

Bab tiga: Menggugat Panggilan Orang Ibrani 

Kebahagiaan dan kesejahteraan setiap orang secara khusus ada dalam "mengalami apa yang baik" dan bukan pada kesombongannya sendiri. Seseorang disebut bahagia dan sejahtera apabila ia tidak menyingkirkan orang lain demi kepentingannya sendiri. Orang yang merasa dirinya lebih terberkati, sementara orang lain tidak terberkati, sebenarnya mengabaikan kebahagiaan sejati. Pada kenyataannya, kebahagiaan semacam ini amat kekanak-kanakan dan serakah.

             Hal yang sama terjadi pula ketika seseorang menyebut diri bahagia ketika dirinya bijaksana dan memiliki pengetahuan tentang kebenaran. Namun dalam kenyataannya, ia tidak lebih bijaksana dari orang lain dalam segala hal. Sebaliknya, kesadaran bahwa orang lain tidak sebijaksana dirinya tidak akan menambah kebijaksanaan maupun kebahagiaannya.

             Apabila Israel mengkalim diri sebagai bangsa terpilih, hal ini bisa terjadi karena pengaruh Musa sebagai pemimpin mereka. Musa memperkenalkan suatu agama dimana orang-orang bisa melaksanakan tugas sebagai ibadah dan bukan atas dasar ketakutan. Kemudian, ia memberikan kepada mereka pengharapan, seperangkat "Hukum Allah", dan banyak janji yang katanya akan terpenuhi di masa depan.

 

Bab empat: Hukum Allah 

             Hukum verbal, bila diabstraksikan, bisa berarti seperangkat aturan bertindak seseorang atau sekelompok orang. Aturan-aturan itu tergantung pada kepastian alamiah maupun oleh penetapan manusia. Suatu hukum yang tergantung pada kepastian alamiah merupakan hukum yang diturunkan dari hukum-hukum alam. Sedangkan, hukum berdasarkan penetapan manusiawi (bisa disebut perintah) diperoleh dari kemauan setiap individu untuk tunduk padanya sehingga semua orang bisa hidup dengan aman, rukun, atau alasan lain yang serupa.

             Hukum sebagai suatu tata aturan kehidupan dapat dibedakan menjadi hukum manusiawi (hukum yang menjamin kehidupan dalam suatu negara) dan hukum ilahi (yang mendasarkan diri pada kebaikan tertinggi, kebenaran yang paling pasti, dan cinta kasih).

 Spinoza merumuskan ciri-ciri hukum ilahi sebagai berikut:

 

  • bersifat universal dan umum bagi semua orang, sebab hukum itu diperoleh melalui deduksi dari kodrat universal manusia,
  • tidak tergantung dari kebenaran narasi historis apapun (entah Taurat, kitab para nabi, dsb). Sebaliknya, hukum itu ada (exist) dalam setiap manusia. 

Hukum ilahi yang dimaksud dapat kita temukan dalam Kitab Suci. Pada bab selanjutnya, Spinoza akan menunjukkan bahwa Kitab Suci secara literer mengakui baik cahaya akal budi manusia dan hukum Allah. (TTP, Part I, Bab 4:100)

 

Bab Lima: Hukum Seremonial  

Setelah kita mengetahui bahwa hukum Allah itu bersifat universal bagi setiap orang, maka implikasinya pada pemikiran dan kehidupan bersama menjadi sangat penting. Ibadah kepada Allah sebenarnya ditujukan demi kebahagiaan temporal, kestabilan bangsa, dan hanya bisa dijalankan selama bangsa Israel masih ada. 

            Ibadah merupakan sarana pemersatu yang paling manjur, jika dibandingkan dengan kekuasaan absolut yang menindas. Supaya menjaga agar suatu negara tidak runtuh akibat tekanan berlebihan dari penguasa, maka suatu sistem pemerintah yang baik itu memiliki ciri:

 

  • Pemegang kuasa itu harus ada pada tangan rakyat, sehingga semua orang merasa terikat untuk mengabdi bangsanya. Tidak ada orang yang lebih rendah dari sesamanya.
  • Hukum mesti diatur sedemikian rupa sehingga ada landasan bagi masyarakat untuk berharap bahwa kebaikan dalam negara tersebut terjamin. Orang tidak boleh hidup dalam ketakutan, supaya setiap orang bisa sungguh-sungguh melakukan tugasnya.
  • Dalam masyarakat semacam ini, manusia akan tetap bebas, entah hukum itu ditambahkan ataupun dikurangi, karena hukum didasarkan pada konsensus bersama dan bukan bergantung pada otoritas eksternal.

  

Sebagai kesimpulan dari bab ini, Spinoza mengatakan bahwa kebenaran dari narasi-narasi Kitab Suci sama sekali ada kaitannya dengan hukum Allah. Narasi-narasi itu hanya bertujuan untuk menjamin bahwa doktrin-doktrin agama tetap dihormati. Itulah sebabnya, sejarah suatu bangsa bisa dianggap lebih baik dari yang lain. Orang Yahudi beruntung memiliki Kitab Suci yang mengandung di dalamya visi hidup "penuh berkat" alias blessedness.

             Pada akhirnya, seseorang hanya dapat dihakimi menurut perbuatannya. Jika seseorang mengaku diri berlimpah dalam buah-buah roh, "kasih, sukacita, damai-sejahtera, sesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri (Gal 5:22), tetapi hidupnya berlawanan hal-hal itu, maka tidak ada hukum, entah yang ilahi maupun kodrati yang bisa menjamin bahwa orang itu hidupnya terberkati.

 

Kesimpulan

             Dalam kelima bab dari bagian pertama TTP, Spinoza tetap konsisten dalam analisisnya mengenai Kitab Suci, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Ia menunjukkan bahwa tidak ada satupun persoalan dalam Kitab Suci yang tidak bisa lolos dari penyelidikan akal budi. Ia tidak takut mengkritik klaim-klaim teologis yang menjadi penopang rezim monarki di zaman itu.

 TTP mencoba membela pandangan bahwa penguasa dalam sistem monarki maupun aristokrasi tidak perlu menindas rakyatnya. Sebaliknya, penguasa seyogyanya memberi -- dalam arti tertentu -- sebanyak mungkin kebebasan dan keamanan dalam suatu negara.[8] Bagi Spinoza, kebebasan dan keamanan yang ingin diwujudkan dalam negara-negara tergantung pada pemahaman dan imajinasi dari komunitas-komunitas partikular yang menopang kehidupan demokrasi, meski tidak sepenuhnya. Kebebasan berpikir dan berbicara tidak mengganggu ketertiban umum, bahkan justru diperlukan untuk mewujudkannya.

 Kebebasan menjadi pusat pemikiran filosofisnya tentang teologi dan politik. Kebebasan merupakan kodrat universal manusia. Semua orang harus bebas untuk memilih dasar iman-kepercayaan bagi dirinya sendiri dan iman itu hanya bisa dilihat dari buahnya. Dengan begitu, setiap orang akan taat kepada Allah secara bebas dan sepenuh hati. Tidak akan ada orang yang membanggakan dirinya karena telah bertindak adil dan melakukan cinta kasih.

 Kebebasan yang sama juga harus selaras dengan keamanan negara dan wewenang pemerintah. Setiap orang adalah penjamin kebebasannya sendiri. Negara tidak lagi menjadi satu-satunya penafsir yang mendiktekan baik aturan agama maupun aturan sipil. Biarkanlah setiap orang berpikir dan berbicara sesuai kemauannya sendiri.

 Dengan demikian, ia menyimpulkan bahwa "Tidak ada seorangpun yang dapat dirampas dari hak-hak kodratinya secara mutlak."[9] Tetapi seorang warga negara tunduk, entah secara diam-diam maupun lewat kontrak sosial, kepada penguasa yang sah, tanpa menimbulkan kekacauan pada negara itu. 

 Ia adalah filsuf besar pertama yang merumuskan dasar perlunya kebebasan berbicara. Ia mendahului satu generasi, sebelum John Locke menyatakannya. Bertrand Russel menulis tentang Spinoza sebagai "filsuf besar yang paling luhur dan paling dicintai. Secara intelektual memang banyak orang yang mengunggulinya, tetapi secara etis dialah yang terbesar."[10]

 Di akhir tulisannya, ia sadar bahwa karyanya ini akan mengguncang para teolog, pemimpin agama, maupun pemerintah. Ia mengatakan bahwa ia rela mengubah seluruh isi tulisannya jika negara menghendakinya. Hal ini tidak akan pernah dilakukan sampai akhir hayatnya.

  

DAFTAR PUSTAKA

 De Spinoza, Benedict. A Theologico-Political Treatise Part I. Diakses dari LibGen. http://gen.lib.rus.ec/book/index.php?md5=7202C0DC134E100C599DED71C0DCCB99 pada tanggal 10 Oktober 2019 pukul 11.35

James, Susan. "Democracy and The Good Life in Spinoza's Philosophy". Dalam Interpreting Spinoza: Critical Essays. Editor: Charlie Huenemann. New York: Cambridge University, 2008

Lembaga Biblika Indonesia. Kitab Suci Katolik. Ende: Nusa Indah, 2011

Magee, Bryan. The Story of Philosophy. London: Dorling Kindersley, 2001. Diterjemahkan oleh Marcus Widodo dan Hardono Hadi. Edisi Indonesia: Yogyakarta: Kanisius, 2008

Steinberg, Diane. On Spinoza. Belmont: Wadsworth, 2000

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun