Pengantar
Saudara-saudari terkasih dalam Kristus,
Bulan September ini Gereja mengajak kita merenungkan tema Solidaritas dalam Pengharapan: Migran dan Orang Miskin. Tema ini lahir dari panggilan mendalam untuk menaruh hati pada mereka yang sering kali dilupakan, terpinggirkan, atau bahkan ditolak oleh dunia. Mereka adalah saudara-saudari kita yang mencari penghiburan, keadilan, dan uluran tangan kasih. Paus Fransiskus, dalam Spes Non Confundit artikel 13, mengingatkan bahwa wajah para migran dan orang miskin adalah cermin wajah Kristus yang hadir di tengah dunia, menanti untuk kita sambut dengan cinta.
Dalam Kitab Suci, Yesus sendiri memberikan teladan bagaimana memperhatikan yang kecil dan tertindas. Ia berkata:
“Sebab Aku lapar dan kamu memberi Aku makan; Aku haus dan kamu memberi Aku minum; Aku seorang asing dan kamu memberi Aku tumpangan; Aku telanjang dan kamu memberi Aku pakaian; Aku sakit dan kamu melawat Aku; Aku di dalam penjara dan kamu mengunjungi Aku. Maka orang-orang benar itu akan bertanya kepada-Nya: Tuhan, bilamanakah kami melihat Engkau lapar dan kami memberi Engkau makan, atau haus dan kami memberi Engkau minum? Bilamanakah kami melihat Engkau sebagai orang asing dan kami memberi Engkau tumpangan, atau telanjang dan kami memberi Engkau pakaian? Bilamanakah kami melihat Engkau sakit atau dalam penjara dan kami mengunjungi Engkau? Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” (Mat 25:35-40).
Sering kali, kita hanya memandang migran dan orang miskin sebatas angka statistik atau sekadar fenomena sosial. Namun Gereja mengingatkan bahwa mereka adalah pribadi, manusia utuh dengan martabat yang sama seperti kita. Mereka adalah “sakramen Kristus yang hidup,” menghadirkan misteri kasih Allah yang menantang kita untuk keluar dari zona nyaman, melampaui indiferen, dan menghidupi iman dengan nyata.
Dengan demikian, sapaan kasih ini bukan sekadar panggilan moral belaka, tetapi sebuah wujud iman yang konkret. Solidaritas menjadi jembatan yang menghubungkan kita dengan pengharapan yang sejati. Ketika kita bersedia berbagi roti, menyediakan tumpangan, mendengarkan kisah duka, atau sekadar hadir menemani, saat itu pula kita sedang membangun peradaban kasih yang dikehendaki Allah.
Mari kita membuka hati dalam permenungan kali ini. Biarlah Roh Kudus menuntun kita agar mampu melihat wajah Kristus yang tersembunyi di balik wajah-wajah migran, orang miskin, dan mereka yang tersisih, sehingga katekese ini menjadi jalan transformasi hidup kita.
Katekese Pendalaman Iman
Solidaritas bukan sekadar sikap sosial, melainkan ungkapan iman yang hidup. Paus Fransiskus dalam Spes Non Confundit artikel 15 menegaskan bahwa menghadirkan harapan bagi orang miskin berarti menjaga martabat manusia yang kerap dirampas oleh ketidakadilan sosial dan ekonomi. Harapan ini bukan janji kosong, melainkan cerminan Injil yang menuntun dunia menuju Kerajaan Allah.
Gereja juga menaruh perhatian istimewa kepada para migran. Mereka meninggalkan tanah air, budaya, dan bahasa demi mencari kehidupan yang lebih layak. Namun sering kali yang mereka temukan justru diskriminasi, eksploitasi, dan keterasingan. Dalam situasi ini, kita dipanggil untuk menjadi tanda belas kasih Allah, yang tidak hanya memberikan bantuan materi, tetapi juga menyambut, mendengarkan, dan mengintegrasikan mereka dalam komunitas.
Menghidupi solidaritas berarti melihat yang miskin dan migran bukan sebagai “objek belas kasihan,” melainkan sebagai “subjek harapan.” Mereka adalah saudara seiman yang memperkaya iman kita dengan pengalaman, budaya, dan keteguhan mereka dalam menghadapi penderitaan. Kehadiran mereka mengingatkan kita akan Injil yang senantiasa berpihak kepada yang kecil dan tersisih.
Marilah kita simak kisah nyata berikut ini:
Pada suatu malam hujan deras, seorang ibu muda asal desa berdiri di depan gereja dengan dua anak kecil yang menggigil kedinginan. Suaminya, seorang pekerja migran, baru saja di-PHK karena pandemi. Tanpa sanak keluarga, tanpa tempat tinggal, mereka hanya membawa tas kecil berisi pakaian seadanya. Tatapan mata sang ibu penuh ketakutan, namun juga ada secercah harapan ketika ia melihat pintu gereja terbuka dan cahaya lilin Ekaristi masih menyala dari altar.
Pastor paroki yang kebetulan baru selesai doa brevir menyambut mereka. Ia tidak bertanya panjang lebar tentang identitas atau asal-usul, tetapi hanya berkata lembut: “Masuklah, di sini kalian tidak sendirian. Ini rumah kalian juga.” Kalimat sederhana itu bagai embun penyejuk, menghapus rasa asing yang mereka rasakan di kota besar. Dari situlah benih kecil sebuah rumah singgah lahir, dimulai bukan dari gedung megah, tetapi dari hati yang terbuka.
Komunitas umat perlahan ikut terlibat. Seorang bapak menyediakan tikar dan selimut, seorang ibu lingkungan memasak nasi hangat, anak-anak remaja gereja mengumpulkan buku dan mainan untuk anak-anak migran. Keterbatasan ruang bukan penghalang; cinta yang dibagi membuat ruangan kecil itu seolah menjadi luas. Migran yang awalnya merasa “orang asing” kini menemukan keluarga baru yang memanggil mereka dengan nama, bukan sekadar label “pendatang.”
Hari-hari berlalu, rumah singgah itu berubah menjadi tempat perjumpaan kasih. Setiap malam, doa Rosario sederhana dipanjatkan, diikuti sharing pengalaman hidup. Dari sana muncul tawa, tangis, dan doa-doa tulus yang menguatkan. Seorang migran bercerita bagaimana ia menemukan kembali martabatnya, bukan karena uang atau status, melainkan karena ada orang-orang yang sudi mendengarkan dan menghargainya. Gereja menjadi saksi bagaimana kasih Kristus mengubah luka menjadi berkat.