Mohon tunggu...
Pius Rengka
Pius Rengka Mohon Tunggu... Pemulung Kata -

Artikel kebudayaan, politik, sosial, budaya, sastra dan olahraga. Facebook:piusrengka. Surel:piusrengka@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Victor Jos Dikepung Rezim Jaringan Lama, "Human Trafficking", Holocaust Versi NTT

3 Januari 2019   17:58 Diperbarui: 3 Januari 2019   19:10 838
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Derita Manusia dan Duhka Kemanusiaan. Sumber Gambar:sofisrael.com

Tak sepotong jua pun tindakan mengejar dan memutus mata rantai pelaku Human Trafficking di NTT dan jaringannya. Mengapa? Diduga kuat, jaringan itu justru terdiri  dari orang-orang kalangan "dalam" yang bergaul saban waktu dengan orang berkuasa sambil menikmati untung dibagi rata dari bisnis tenaga kerja ini.

Perdebatan di antara mereka, biasanya seputar cara membagi dan jumlah hasil bagian. Mereka biasanya berlindung di balik pasal-pasal hukum, aturan main, dan main-main di aturan itu sambil menenggak wine yang didambakan sejak masa miskin dahulu kala tatkala masih remaja. Mereka ahli bisnis jabatan, bisnis wewenang. Brengsek.

Pernah satu waktu. Polisi Rudy Soik, namanya. Dia membongkar jaringan mafioso ini. Tetapi apa lacur. Rudy Soik dianggap salah. Dia nyaris dibunuh dan dipecat. Untunglah jaringan LSM di Jakarta dan Kupang serta jaringan internasional memperjuangkan nasib Rudy. Rudy Soik batal dipecat.

Sekali lagi, seruan internasional dilakukan, gerakan membela Rudy Soik mengalami scaling up. Rudy Soik memang luput dari pemecatan, tetapi dia dipindahtugaskan. Kini Rudy Soik bertugas di luar Kupang. Tetapi, Rudy tahu nama para mafioso itu. Nama mereka telah disebar di sejumlah NGO's di tanah air dan juga di kawasan Asia dan Asia Tenggara.

Nama para penjahat itu jadi buah bibir tatkala diskusi di kalangan aktivis. Apakah mereka masih hidup? Masih. Sehat pula. Pakaiannya necis nian. Senyumnya pun ranum sekali. Mereka adalah jaringan rejim lama, pemain lama dan membangun jebakan lama dengan sering menukar gaun permainan.  Bahkan ada di antaranya calon legislatif. Luar biasa.

Ada juga kesan lain. Keterangan pers pemerintah, semacam ritual adat. Kesannya, imbauan untuk rakyat seperti mengandung tudingan. Seolah-olah rakyat nan jelata itu, tak tertib, tak patuh aturan main, urusan legal dan tidak legal tidak dimengerti, prosedural dan non prosedural sama saja. Buta tuli atau dalam bahasa Manggarai, Flores,  buta sempula culit buta bapa bengot. Tetapi, soalnya persis bukan terletak di situ.


Jika postur  struktural jejaringan kejahatan ini diperiksa serius, ditemui profil seperti ini. Rakyat miskin bukan lantaran karena mereka malas, bodoh dan tidak peduli pada nasib hidupnya. Mereka miskin karena rejim pemerintah itu tak sanggup mengurangi derita rakyatnya sendiri. Rejim memangsai rakyatnya sendiri. Sesungguhnya kemiskinan rakyat NTT sebagai tampilan paling transparan dari rejim gagal, rejim tak berdaya bahkan rejim serakah. Kemiskinan rakyat merupakan tampilan paling sahih atas ketakberdayaan rejim yang sedang berkuasa. Mereka tak sanggup memecahkan masalah rakyat. Maka rejim itu sendiri adalah rejim bermasalah. Selain membawa masalah, dia pun menciptakan masalah, dan sering hidup dalam masalah. Karenanya, sejumlah aktivis selalu berujar: hindarilah memilih pemimpin bermasalah, karena pemimpin bermasalah akan membawa masalah selama kepemimpinannya. Bahkan tidak hanya membawa masalah, rejim itu pun tak sanggup keluar dari masalah.

Narasi pendek profil struktural itu tentu memiliki pendasaran teoretis.  Narasi itu dibenarkan teori-teori ilmu sosial terkait nasib petani, peternak, sebagaimana ditulis James Scott, Popkin, Johan Galtung, Wolf, Migdal dan lain-lain ahli.

Ada yang menyindir retorika dengan menggunakan teori-teori cara perolehan kekuasaan. Bukankah negara (pemerintah) diperlukan untuk mengurangi derita rakyat? Bukankah negara diperlukan untuk meniadakan kemiskinan itu? Untuk apa rakyat terlibat dalam serial pemilu jika hasil akhir rakyat pemilih itu tetap hidup dalam belenggu rantai kemiskinan, keterbelakangan dan kebodohan?

Kata mereka, harusnya pemerintah merasa bersalah, merasa berdosa. Tetapi di NTT,  tidak begitu. Malah Pemerintah tertawa di atas tumpukan derita rakyatnya sendiri. Buktinya?

Setelah serial jumpa pers, biasanya senyap.  Tak ada solusi dan tindakan konkrit. Para penjemput mayat di bandara, biasanya orang yang sama, itu-itu saja. Andaikan  para mayat itu sanggup bersaksi, mungkin mereka kenal sangat baik Pendeta Emmy Sahertian dari GMIT, para Suster SSpS dari kelompok Justice and Peace, Truk-F, dan para aktivis lain (nasional pun internasional) yang setia berkenalan dengan petugas cargo Bandara El Tari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun