Mohon tunggu...
Pirlo Luron
Pirlo Luron Mohon Tunggu... Kuli Tinta

Menolak Lupa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ketika Rakyat Miskin,DPRD Kaya. Potret Kesenjangan di Flores Timur

9 September 2025   21:06 Diperbarui: 9 September 2025   21:06 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana sepi di Kantor Balai Gelekat 

Di Flores Timur hari ini, fakta sosial tidak bisa lagi dipungkiri. Lebih dari 30 ribu jiwa masih hidup di bawah garis kemiskinan. Sekitar 14 persen anak-anak tumbuh dalam kondisi stunting, sementara pertumbuhan ekonomi daerah hanya mencapai 2,69 persen salah satu yang terendah di Nusa Tenggara Timur. Statistik ini bukan sekadar angka; ini adalah cermin kehidupan rakyat di desa-desa yang setiap hari bergulat dengan keterbatasan.

Di tengah kondisi yang memprihatinkan ini, para anggota DPRD menerima penghasilan dan tunjangan antara Rp 22--45 juta per bulan. Secara hukum, hal ini sah. Namun, pertanyaan mendasar tetap muncul: apakah ini adil? Apakah pantas di tengah kesenjangan sosial yang begitu tajam?

Legalitas dan Dimensi Sosial

Undang-Undang No. 23 Tahun 2014, PP No. 18 Tahun 2017, hingga Permendagri No. 62 Tahun 2017 memberi dasar hukum bagi gaji, tunjangan, rumah dinas, dan fasilitas transportasi bagi anggota DPRD. Tetapi, apakah legalitas formal sudah cukup?

Pasal 298 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2014 menegaskan bahwa belanja daerah harus diprioritaskan untuk pelayanan dasar: pendidikan, kesehatan, perumahan, air bersih, dan perlindungan sosial. Pertanyaannya, apakah orientasi tersebut benar-benar terwujud di Flores Timur, atau justru tersingkir oleh belanja birokrasi demi kenyamanan elit politik?

Potret Komparatif

Fenomena serupa terjadi di kabupaten lain, seperti Sikka, Lembata, dan Manggarai Timur. Tingkat kemiskinan masih di atas 11 persen, angka stunting berkisar belasan hingga 20 persen, tetapi tunjangan DPRD relatif sama, mengacu pada PP 18/2017.

Di Sikka, kemiskinan tercatat 12,17 persen; Lembata 15,36 persen; dan Manggarai Timur 13,10 persen. Meski demikian, anggota DPRD di daerah-daerah tersebut tetap menerima Rp 22--47 juta per bulan. Pertanyaannya: apakah rakyat yang bergulat dengan air bersih, infrastruktur dasar, dan gizi buruk benar-benar merasakan manfaat dari "investasi" negara terhadap wakil mereka?

Perspektif Ekonomi Politik

Melihat dari teori keuangan publik Musgrave, belanja daerah memiliki tiga fungsi utama: alokasi, distribusi, dan stabilisasi. Praktik di lapangan menunjukkan sebaliknya. Tunjangan DPRD justru tidak menyentuh fungsi-fungsi ini, bahkan memperlebar kesenjangan.

John Rawls, melalui prinsip keadilan (difference principle), menegaskan bahwa ketidaksetaraan hanya dapat dibenarkan jika memberi manfaat terbesar bagi mereka yang paling lemah. Realitas di Flores Timur menunjukkan sebaliknya: ketidaksetaraan semakin dipelihara. Amartya Sen, lewat teori kapabilitas, menekankan pentingnya kemampuan dasar rakyat untuk hidup layak. Namun APBD lebih diarahkan untuk kenyamanan elit ketimbang memperkuat kapasitas rakyat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun