Mohon tunggu...
Subhan Riyadi
Subhan Riyadi Mohon Tunggu... Lainnya - Abdi Negara Citizen Jurnalis

Stop! Rasialisme anti minoritas apa pun harus tak terjadi lagi di Indonesia. Sungguh suatu aib yang memalukan. Dalam lebih setengah abad dan ber-Pancasila, bisa terjadi kebiadaban ini kalau bukan karena hipokrisi pada kekuasaan (Pramoedya Ananta Toer). Portal berita: publiksulsel.com

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Kesakralan Sepakbola Sepatutnya Dimainkan di Lapangan Hijau Bukan di Meja Hijau

13 Maret 2016   15:14 Diperbarui: 14 Maret 2016   08:22 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Hemm.....Jan tegelan!
Sepertinya saya mulai bosan sendiri dengan kebisingan artikel perseteruan sepakbola berlarut-larut. Kapan meraih prestasi kalau pemegang kebijakan selalu saja mengklaim “reformasi” wajah sepakbola indonesia, terus-terusan ribut merasa paling benar mencari kesalahan-kesalahan masa lalu tanpa akhiran.

Keliatan banget anak-anaknya bapak-bapak ini, dendam pribadi dibawa-bawa keranah politik menjual “tranparansi” bola, apa nggak pada capek ngeributin hal-hal yang seharusnya bisa dimediasi secara cerdas, tanpa harus merugikan pemain serta insan pecinta sepakbola.

Saya malu sendiri dengan polah tingkah pemangku kepentingan terobsesi terhadap isu bola, sandiwara memuakkan apa lagi buat menjegal aktifitas pemain bola, kok tidak bosan-bosannya merusak kompetisi. Ujung tanduk merupakan alasan mutlak sebuah kepesimisan. Suka cita pemain bola seketika bertranformasi duka cita.

Duel syarat gengsi kegaduhan nan melelahkan dualisme lembaga pemerintah dalam hal ini Kemenpora versus kubu Federasi sepakbola PSSI tak kunjung usai. Prestasi adalah relatif pembekuan adalah mutlak tak tertolak, kesakralan sepakbola hanya sebuah mimpi di siang bolong. Sekarang ini kita disiksa dan dimanja pemerintahan totalitarian absolut pembekuan “harga mati” memundurkan prestasi, di lain sisi dituntut juara, tanpa kompetisi resmi mana bisa!!!

Rupanya Kemenpora belum “legowo” menerima kekalahan telak untuk ke tiga kalinya atau hattrick PSSI. Berbagai alasan mengulur waktu dengan segala tetek bengek atas ditolaknya kasasi Kemenpora terhadap PSSI oleh Mahkamah Agung. Belum menerima salinan/petikan penolakan kasasi langsung dari MA alasan Menpora enggan mencairkan suasana, atas dasar tersebut Menpora tidak bergeming mengintervensi negara demokrasi, pejabat publik seperti ini relatif belum dewasa, sepertinya sepakbola indonesia menjadi korban intimidasi manusia-manusia ortodoks haus akan kekuasaan, perlahan tapi pasti berniat memporak-porandakan sepakbola, bagaimana nasib cabang olahraga lain?

Tak ayal ultimatum mundur dari masyarakat pecinta bola nasional pun mencuat ke permukaan seiring tertundanya pencabutan surat keputusan pembekuan PSSI oleh Menpora. 

Kegeraman juga terlontar dari artis yang juga merupakan praktisi hukum Gusti Randa “kalau tidak paham masalah hukum jangan komentar hukum. Pejabat publik yang tidak paham hukum berkomentar hukum kelihatan bodohnya,” tegasnya. Tidak seperti biasanya semua binasa dan menakutkan, putus sudah urat kemaluannya suka sekali memberi harapan palsu, termasuk ketua Ad Hoc PSSI Agum Gumelar salah satu korban dari PHP Menpora.

Negara kita adalah negara hukum, taatilah hukum secara baik dan benar. Berkaitan dengan putusan Mahkamah Agung (MA) sebagai warga negara yang baik seperti Menpora serta jajaran Kemenpora tentu bukanlah anak kemarin sore, sebaiknya semua pihak menaatinya, walaupun dia Pejabat. Hukum bukanlah sesuatu yang bisa ditawar-tawar apalagi dikompromikan tapi di implementasikan.

Peninjauan kembali Kemenpora terhadap penolakan kasasi MA tentu sangat merugikan indonesia, akan menambah daftar panjang sanksi PSSI oleh FIFA, mengatasnamakan "reformasi" sepakbola bukan dengan cara menghancurkan seperti ini, masyarakat tentunya juga sudah capek disuguhi tontonan tidak menuntun, tetap saja beku seperti dulu. Sangat disayangkan suguhan berkualitas rumput hijau harus disusupi intimidasi dualisme lembaga berbau politik, jauh melenceng diluar substansi reformasi sepakbola hanya retorika. Tournamen demi tournamen belakangan berlangsung tak ubahnya hanya sebuah atraktifitas profesionalitas pemain bola bernilai “prestise bukan prestasi” pelepas dahaga di padang tandus.

Hal ini sangat mengendurkan kualitas produktifitas membunuh karir dalam kandang sendiri. PSSI terbengkalai oleh kekolotan pihak Kemenpora untuk mencabut surat pembekuan, tak ayal polemik sepakbola tanah air makin meruncing, sedangkan kegiatan kompetisi resmi dibawah naungan FIFA mati suri. Bukankah orang seperti Labora Sitorus notabene anggota polisi dikatakan makar melawan negara, nah! Jika pembekuan kompetisi pantasnya dikatakan apa ya?

Sebenarnya pelaku pembekuan sudah lama paham hal tersebut salah. Hanya saja kepala batu lebih mendominasi menjaga image sebagai pejabat yang diberi amanah presiden, mencari moment tepat dihadapan orang nomor satu di indonesia. Sejak dulu orang bijak juga sudah mengingatkan tentang manusia “serigala berbulu domba” jadi kita waspada tidak boleh tertipu penampilan yang tertata, oleh sikap lemah lembut dan kehalusan berbahasa yang menggambarkan keluhuran budi pekerti. Bukan saja mengecoh kesadaran kita, melainkan ia berbahaya. Ia musuh dalam selimut yang bisa membunuh kita semua, tanpa diduga-duga keserakahan raja rimba yang ganas masih ada batasnya. Tapi keserakahan manusia-selembut apapun penampilan luarnya-siapa yang tahu, pepatah bijak mengatakan “Dalamnya lautan masih dapat kita ukur, dalamnya hati manusia siapa yang tahu.”

Terkutuklah penampilan pejabat publik yang menipu bangsa sendiri. Ada benarnya kata orang buta dan tuli "hanya orang tidak bisa melihat, hanya orang-orang yang tidak bisa mendengar yang memiliki kepekaan jiwa." Ini bercerita sesuai realita bukan bersilat lidah atau “panggung” sandiwara. Skenario apa lagi pak Menpora??

Sebenarnya simple kok! Demi Rio saja Menpora sesumbar sudi melepas gaji, lakukan langkah serupa terhadap sepakbola dong pak?. Buat apa merisaukan sebuah pemikiran berbelit-belit. Jawabannya mudah, cabut surat pembekuan Federasi PSSI atau teken kontrak baru PEMBEKUAN.

Mari kembali ke sistem sepakbola yang sportif, jauh dari kepentingan ego pribadi dan sektoral. Apapun hasil keputusannya harus dipenuhi pak Menteri. Ini adalah peristiwa bersejarah untuk fokus pada tujuan strategis pembinaan sepakbola generasi “garuda muda” indonesia.

Gitu aja kok rempong!!!

Makassar, 12 Maret 2016

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun