Siapa sangka, aplikasi yang katanya "paling profesional" justru bisa jadi sumber tekanan mental? Di LinkedIn, semua orang tampak luar biasa: promosi, kuliah S2 ke luar negeri, proyek besar, hingga networking dengan tokoh ternama. Walau bisa memotivasi, namun secara tidak sadar ini menimbulkan "toxic productivity", di mana seseorang merasa dirinya tidak cukup, meski sudah bekerja keras. Akhirnya, waktu istirahat terasa seperti kegagalan, dan pencapaian orang lain menjadi cermin atas ketidakmampuan pribadi.
Kita tidak harus menghapus semua aplikasi ini, karena nyatanya banyak manfaat juga yang mereka bawa. Namun, menjadi sadar bahwa energi emosional kita bukan sumber daya yang tak terbatas adalah kunci penting. Bijak dalam menggunakan, menyeleksi konten, mengatur waktu, dan menetapkan batasan digital bisa menjadi langkah awal untuk tetap waras di tengah hiruk-pikuk informasi.
Di era digital, higienitas emosional sama pentingnya dengan kebersihan fisik. Kita boleh terkoneksi, tapi jangan sampai kehilangan kendali atas kedamaian batin sendiri. Karena kadang, bentuk perawatan diri paling esensial bukanlah masker wajah atau pijat refleksi, tapi log out dari dunia yang terlalu bising.
Referensi:
Royal Society for Public Health (2017). Status of Mind: Social media and young people's mental health and wellbeing.
Journal of Behavioral Addictions (2022). "Short-Form Video Platforms and the Attention Economy."
Pew Research Center (2021). The Emotional Toll of Social Media Use.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI