Dalam dunia digital yang serba terhubung ini, hampir semua aktivitas harian kita terhubung dengan aplikasi. Mulai dari bangun tidur hingga menjelang tidur kembali, jari-jemari kita tak lepas dari layar smartphone. Namun, di balik kemudahan yang ditawarkan, ada sisi lain yang sering kita abaikan: bagaimana beberapa aplikasi justru menyedot energi emosional kita secara diam-diam. Bukan karena aplikasinya jahat, tapi karena cara kita menggunakannya -Â dan bagaimana algoritmanya bekerja - kerap tidak disadari memberi beban mental, tekanan sosial, bahkan krisis identitas.
1. Instagram - Estetika yang Menghimpit Diri Sendiri
Instagram bukan hanya tentang berbagi foto, tapi kini sudah menjadi panggung untuk eksistensi dan validasi sosial. Fitur-fitur seperti story, reels, hingga explore mendorong pengguna untuk terus membandingkan diri dengan orang lain. Feed yang dipenuhi dengan gaya hidup "sempurna", tubuh ideal, dan pencapaian gemilang bisa membuat seseorang merasa tertinggal, bahkan gagal. Sebuah studi oleh Royal Society for Public Health (UK) tahun 2017 menyebutkan bahwa Instagram adalah media sosial dengan dampak paling negatif terhadap kesehatan mental remaja, karena meningkatkan rasa cemas, depresi, dan citra tubuh yang buruk.
2. TikTok - Hiburan yang Menjadi Kebisingan Mental
TikTok mungkin tampak menyenangkan di awal, dengan video lucu dan informatif berdurasi pendek. Tapi algoritmanya yang sangat pintar membuat pengguna betah berlama-lama, bahkan tanpa sadar menghabiskan berjam-jam hanya dengan scroll. Ironisnya, setelah tertawa atau terinspirasi, banyak orang merasa lelah secara emosional. Otak yang terus-menerus menerima konten cepat mengalami "overload stimulus" yang dapat mengganggu kemampuan fokus dan menyebabkan kelelahan mental, sebagaimana dikaji dalam Journal of Behavioral Addictions (2022).
3. WhatsApp - Tekanan Respons dan Kelelahan Sosial
Meskipun WhatsApp adalah aplikasi komunikasi yang paling umum digunakan, tekanan untuk segera merespons pesan - baik dari atasan, keluarga, maupun grup tak dikenal - bisa memicu stres tersendiri. Notifikasi yang tak berhenti, pesan beruntun, hingga budaya "centang biru harus langsung dibalas" menambah beban sosial. Belum lagi grup keluarga atau kantor yang ramai tanpa henti, sering membuat individu merasa kehilangan ruang tenang. Banyak yang merasa bersalah hanya karena ingin disconnect, padahal batas sehat itu perlu.
4. Twitter (X) - Arena Opini yang Melelahkan
Twitter bisa jadi medan tempur opini. Banyak yang merasa terinformasi, namun tak sedikit pula yang merasa kewalahan. Setiap hari ada isu baru, trending topic baru, dan debat tanpa ujung. Bahkan ketika hanya menjadi pembaca pasif, kita tetap terpapar gelombang emosi kolektif: amarah, cemas, frustasi, atau sinis. Emosi tersebut menular, dan perlahan-lahan bisa membentuk sudut pandang negatif terhadap kehidupan. Studi dari Pew Research Center (2021) menyebutkan bahwa pengguna aktif Twitter lebih rentan mengalami "emosional exhaustion" dibanding pengguna media sosial lain.
5. LinkedIn - Ajang Profesional yang Penuh Tekanan