Mohon tunggu...
Pipit Indah Oktavia
Pipit Indah Oktavia Mohon Tunggu... Fresh Graduate dari Fakultas Hukum Universitas Jember

Menulis bukan karena tahu segalanya, tapi karena ingin belajar lebih banyak. Lulusan Fakultas Hukum Universitas Jember yang percaya bahwa perspektif bisa tumbuh dari cerita sederhana. Di Kompasiana, saya ingin berbagi, bukan menggurui.

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal

Bertahan Hidup di Tengah Kota yang Tak Pernah Tidur

18 Juni 2025   12:34 Diperbarui: 18 Juni 2025   12:34 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kota besar seringkali dikagumi karena gemerlapnya, karena langitnya tak pernah benar-benar gelap, karena hiruk-pikuknya yang seolah menunjukkan kehidupan tak pernah berhenti. Namun di balik megahnya gedung pencakar langit dan kesibukan yang tak pernah surut, terdapat kenyataan yang sering luput dari perhatian, bagaimana mereka yang tinggal di dalamnya bertahan hidup. Kota yang tak pernah tidur bukan hanya tentang peluang tanpa batas, tetapi juga tentang tekanan konstan, persaingan brutal, dan perjuangan yang terus berlangsung bahkan ketika malam telah larut.

Bagi sebagian orang, hidup di kota besar adalah impian: akses terhadap pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan hiburan tersedia melimpah. Namun, bagi mereka yang berada di garis bawah, kota bisa menjadi labirin tanpa pintu keluar. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, sekitar 16% penduduk perkotaan di Indonesia berada dalam kategori rentan miskin. Artinya, meski mereka memiliki pekerjaan, pendapatan yang diterima tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar ketika harga sewa, bahan pokok, dan transportasi terus merangkak naik.

Pagi hari di kota tidak dimulai dengan alarm, melainkan dengan deru motor ojek online yang mengejar waktu, pedagang kaki lima yang bersiap sebelum fajar, dan petugas kebersihan yang sudah berjibaku dengan sisa semalam. Mereka adalah wajah dari kota yang hidup 24 jam, namun tak pernah diberi cukup waktu untuk benar-benar beristirahat. Ironisnya, justru mereka yang menggerakkan denyut nadi kota adalah yang paling rentan tergerus oleh sistem. Kota tidak pernah tidur, tapi para penghuninya sering kelelahan dalam diam.

Di sisi lain, tekanan untuk tampil, berhasil, dan mengikuti ritme kota bisa berdampak besar pada kesehatan mental. Survei Jakarta Mental Health Index tahun 2022 menunjukkan bahwa lebih dari 40% responden usia produktif di kota metropolitan mengalami gejala gangguan kecemasan, dan 28% lainnya mengaku merasa tertekan oleh ekspektasi sosial dan pekerjaan. Di tengah gedung tinggi dan jalanan padat, banyak yang merasa sendirian, meski selalu dikelilingi keramaian. Kesepian di kota tidak selalu terlihat, tetapi sangat nyata.

Lalu, bagaimana cara bertahan hidup di kota yang seolah tak memberi ruang untuk berhenti? Bagi sebagian orang, jawabannya adalah adaptasi. Menyusun strategi untuk hidup 'cukup' tanpa harus selalu 'menang'. Komunitas berbasis solidaritas seperti urban farming, co-living space, dan kolektif kreatif menjadi alternatif dalam menghadapi tekanan hidup kota. Di balik individualisme yang kerap melekat pada citra kota, ada gerakan akar rumput yang perlahan tumbuh dan menawarkan harapan.

Menariknya, fenomena "urban burnout" kini tak hanya menjadi topik psikologis, tetapi juga ekonomi. Banyak generasi muda yang memilih kembali ke daerah asal, menjalani hidup lebih tenang dan berkelanjutan. Mereka menyadari bahwa kecepatan bukan segalanya. Kota yang tak pernah tidur memang penuh peluang, tapi juga menuntut bayaran yang tak sedikit: waktu, energi, bahkan kesehatan jiwa. Mempertanyakan apakah semua itu layak dikejar bukanlah tanda kelemahan, melainkan bentuk kesadaran.

Artikel ini tidak hendak mengecilkan semangat urbanisasi atau menolak modernitas. Justru sebaliknya, ini adalah ajakan untuk melihat kota dengan lebih jujur. Kota bukan sekadar tempat tinggal, melainkan medan hidup yang perlu dipetakan dengan bijak. Bertahan hidup di dalamnya bukan hanya soal bertahan fisik, tetapi juga bertahan secara emosi dan spiritual. Dan terkadang, cara terbaik untuk bertahan bukanlah terus berlari, melainkan tahu kapan harus berhenti dan bernapas sejenak.

Referensi:
Badan Pusat Statistik (2023). Kemiskinan Perkotaan dan Ketimpangan Sosial di Indonesia.

Jakarta Mental Health Index 2022, Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta.

Wicaksono, A. (2023). "Kota, Kerja, dan Kecemasan Kolektif", Jurnal Urban & Social Studies, Vol. 5 No. 2.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun